News Breaking
Live
update

Breaking News

Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kebutuhan Rakyat

Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kebutuhan Rakyat



oleh : Indra Gusnady


ADA dua tahapan yang penting dalam penyusunan sebuah APBD,  yaitu perencanaan dan penganggaran. Pada praktiknya di daerah, dilaksanakan oleh dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yakni, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Keuangan Daerah (BKD).


Meskipun perencanaan dan penganggaran secara prinsip terintegrasi dan berkesinambungan, namun berbeda dalam proses dan regulasi yang menjadi payungnya.


Bappeda dalam melakukan perencanaan mengacu kepada Permendagri No.86 tahun 2019. Sedangkan, BKD berpedoman kepada  Permendagri No. 77 Tahun 2020.


Dibutuhkan waktu lebih kurang 1 tahun untuk melahirkan Perda APBD kabupaten/kota. Tahapan perencanaan efektif dimulai Januari  sampai Juni. Sedangkan untuk tahapan penganggaran sampai penetapan hasil review R-APBD oleh provinsi  dilakukan dari Juli sampai Desember tahun berjalan.


Penyusunan sebuah dokumen perencanaan pembangunan daerah, secara konseptual merupakan perpaduan antara top-down dan bottom-up planning.


Dalam Permendagri 86 Tahun 2017,  proses penyusunan Perencanaan Tahunan Daerah  (dengan sebutan RKPD), diawali dengan rancangan awal RKPD yang disusun Bappeda (top-down planning), dilanjutkan pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah pada berbagai tingkatan (bottom-up planning) dan menampung Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD. Terakhir, pelaksanaan Musrenbangda  untuk penetapan.


Masyarakat sebagai objek pembangunan, sejatinya perlu mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pembagian 'kue' pembangunan. Artinya,  usulan masyarakat melalui mekanisme musrenbang atau pengajuan langsung yang sejalan tema pembangunan tahunan daerah, semaksimal mungkin dipenuhi.


Praktiknya di kabupaten/kota sangat bervariasi. Jika suatu daerah  mempunyai kebijakan mengoptimalkan musrenbang, maka tingkat pemenuhan usulan masyarakat menjadi lebih besar. Demikian yang terjadi sebaliknya.

Fenomena yang terjadi, tingkat partisipasi  masyarakat dan kualitas musrenbang mulai berkurang. Mekanisme musrenbang kadang hanya sebagai bagian dari menjalankan tahapan perencanaan. Antusias masyarakat dalam mengikuti musrenbang serta tingkat prosentase usulan musrenbang yang dianggarkan, bisa dijadikan indikator penilaian.


Persoalan lain yang sering ditemukan, tidak sejalannya RKPD (produk perencanaan) dengan KUA-PPAS (produk penganggaran) karena perbedaan nomenklatur serta aplikasi perencanaan dan penganggaran yang belum terintegrasi.


Langkah terobosan telah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri mengatasi kondisi ini, dengan mengeluarkan aplikasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SiPD).


Aplikasi ini diyakini akan memecahkan persoalan 'bottleneck' yang terjadi antara perencanaan dan penganggaran yang selama ini di daerah, di samping memenuhi kebutuhan pemerintah pusat terhadap pemantauan keuangan daerah.


Aplikasi berbasis web ini, wajib diterapkan oleh seluruh provinsi dan kabupaten/kota mulai penyusunan APBD tahun 2021, tahap perencanaan dan penganggaran. Secara bertahap, dikembangkan sampai pada penatausahaan, akuntansi dan pelaporan. Sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dari daerah sampai ke pusat.


Pertanyaannya kemudian, apa kaitannya dengan perencanaan dan anggaran berbasis kebutuhan rakyat?


Dengan sistem informasi ini, maka setiap usulan musrenbang akan bisa terekam dengan baik. Ketika memasuki tahapan penganggaran dia akan terintegrasi secara otomatis. Sehingga, kecil kemungkinan usulan masyarakat yang ditampung di RKPD akan 'hilang di tengah jalan'. Jikapun dihilangkan, akan ada 'history' dan alasan yang bisa menjelaskan.


Pada prinsipnya sistem aplikasi hanya sebuah tools. Keberpihakan kepada anggaran berbasis kebutuhan masyarakat, berpulang kepada komitmen kepala daerah.


Resesi ekonomi tahun 1998 dan pandemi Covid-19 yang kita alami, membukakan mata kita bahwa kerentanan perekonomian daerah terhadap faktor ekternalitas, ya sangatlah tinggi. Meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian.


Sebagian besar aktifitas ekonomi masyarakat Indonesia berada pada sektor informal sangatlah rentan. Namun demikian, sektor informal ini pulalah yang terbukti bisa menjadi dan penopang perekonomian daerah dan nasional, supaya tidak semakin terperosok. Daya tahan dan flexibilitas pekerja di sektor informal menjadi  sebuah keunggulan.


Refleksi dari beberapa kali pertukaran kepala daerah di era otonomi daerah hasil pemilihan langsung, seringkali terlihat menyisakan persoalan.  Tidak tuntasnya pelaksanaan  target-target RPJM yang telah disusun. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang lebih bersifat 'prestisius' dan 'seremonialisme'.  Pembangunan yang tidak berkelanjutan dari satu periode kepala daerah ke periode lainnya dan seringkali menyisakan monumen-monumen yang terbengkalai. Merupakan gambaran umum yang bisa terlihat secara kasat mata di daerah.


Berkaca dari kondisi itu semua, sudah saatnya komitmen perencanaan dan penganggaran yang berbasis kebutuhan rakyat kembali untuk dicanangkan.


Setidaknya, ketika pasangan kepala daerah kabupaten/kota terpilih mengakhiri jabatannya, sedangkan janji-janji politik semasa kampanye belum tertuntaskan, ada kerja-kerja yang dikenang oleh masyarakat atau legacy (warisan). Secara politis-pun tidak merugikan, memberikan daya jual bagi 'petahana' yang ingin melanjutkan periode pengabdian (*)


Editor: Oce Satria

Tags