Jokowi Sudah Jarang Bermalam di Sumatera
Perkuat Ekonomi Sumatera!:
Perintah Pertama Presiden Jokowi
(Part 1)
oleh Indra Jaya Piliang
Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara
SAYA tidak suka ekonomi, walau hidup saya susah. Namun, saya pernah dididik oleh ekonom-ekonom terbaik di negeri ini. Sebut saja Faisal Basri, Arif Arryman, Nawir Messy, Hadi Soesastro, Tubagus Ferydanu Setyawan, Pande Radja Silalahi. Bahkan, saya sempat berkantor di Sekretariat Negara RI, yakni menjadi Asisten dari Tim Asisten Ekonomi Presiden Abdurrahman Wahid. Saya mengenal baik semua ekonom terbaik, termasuk Marie Pangestu, Sri Mulyani Indrawati, Mohammad Ikhsan, dan Iman Sugema.
Di dalam kancah politik, saya mengenal para pengusaha nasional yang memilih menjadi politisi, sebut saja Muhammad Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan para tokoh pengusaha dari angkatan 66. Bukan saja kenal, tetapi saya sering berdebat dengan mereka. Pernah, beberapa tahun, saya selalu mengisi acara outlook akhir tahun di sejumlah bank pemerintah, pun proyeksi awal tahun.
Setahu saya, para pengusaha terjun ke dunia politik guna menghindari politik biaya tinggi.
“Lu kan tahu, uang gue lebih banyak habis untuk kegiatan kongkow dengan politisi,” begitu ‘curhat’ seorang pengusaha nasional, ketika menyatakan ketidak-pahaman mereka dengan pengusaha-pengusaha nasional muda baru yang masuk dalam jajaran orang-orang terkaya, tetapi paling ‘takut’ memberi sumbangan kepada politisi.
Tentu, jenis politisi yang mereka sumbang adalah kelompok yang dikenal memiliki watak aktivisme yang kuat, garis ideologi yang tebal, petarung yang membelah diri kepada kelompok liberal dan libertarian melawan kelompok sosialis yang sering berlindung dengan adagium nasionalisme, pun nasionalisasi. Kelompok politisi yang kini hampir tak terlihat lagi, berhubung segala sesuatu yang ada di benak politisi sudah ‘ditakar’ sebagai buzzer kelompok tertentu. Atau, mereka ikut dihumbalang oleh perangkat super canggih dengan bungkus manusia setengah dewa, padahal cuma bagian dari merkantilisme, yakni komisi pemberantasan korupsi.
Bisa jadi, saya belajar secara otodidak terkait ekonomi dari buku “Sang Gerilya” atau lebih dikenal sebagai Gerilya Politik dan Ekonomi Ibrahim Gelar Tan Malaka. Di luar itu, saya belajar dari dan kepada buku Andrinof A Chaniago: Gagalnya Pembangunan. Dengan buku Andrinof, saya menjangkau buku-buku Peter L Berger, Johan Galtung, sampai tentu saja Max Weber dan Karl Marx.
Nah, bayangkan betapa saya menjadi amat sangat kesulitan, ketika mengikuti penjelasan-penjelasan dari seorang Airlangga Hartarto. Detil, teknis, dan ekonometri. Sejak awal saya sudah tahu, betapa orang ini akan sangat sulit sekali dihadapi oleh orang yang ilmunya serba makro seperti saya. Betapa tidak, jangankan harga minyak bumi, seorang Airlangga tahu betul berapa harga kertas koran dan buku yang saya cetak. Sebab Airlangga adalah generasi ketiga di keluarganya yang terbiasa dengan koran dan buku. Bersama Bambang Soesatyo, Airlangga bersitungkin menghidupkan koran Suara Karya yang high cost itu. Tetapi siapa sangka, Suara Karya-lah yang menjadi medium pertempuran nalar dari sosok-sosok yang kemudian menjadi tokoh-tokoh Partai Golkar, termasuk Ade Komaruddin. Jika Pos Kota punya tulisan epik dari Harmoko, maka Suara Karya berisi tulisan terbaru dari Haryono Suryono, sosok yang lebih dikenal sebagai “Dua Anak Cukup” atau Kepala BKKBN yang tak tergantikan.
Namun, ketika suatu hari sebelum setahun usia pemerintahan Jokowi Widodo – Maruf Amin, Airlangga menceritakan kepada saya di rumah pribadinya bahwa perintah pertama Presiden Joko Widodo adalah kuatkan (lagi) ekonomi Sumatera, saya sadar bahwa tidak berhadapan dengan seorang pendiri dari perusahaan emiten di Indonesia. Jokowi, saking khawatirnya dengan ekonomi Sumatera, pernah berkali-kali berkunjung dan bermalam di Sumatera Barat. Tukang kayu yang pernah menaklukkan puncak gunung tertinggi di Sumatera itu, Gunung Kerinci, memang “menghilang” di hutan Aceh, sebagai pertaruhan seorang insinyur kehutanan.
Tentu kekalahan telak yang dialami pasangan Jokowi – Maruf – Amin juga menjadi salah satu pemicu. Kekalahan itu didapatkan, ketika ekonomi Sumatera sedang sakit, gelar tikar pemilihan presiden dan wakil presiden dihamparkan. Jambi, misalnya, pernah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 14%.
Akibat sembelitnya kondisi ekonomi Sumatera, para pedagang asal Sumatera merajalela, terutama mereka yang terjun ke ranah politik. Ekonomi rantau mengambil kendali. Bertumbukanlah Kaum Kelelawar versus Kaum Katak di media sosial, pun dalam aksi demonstrasi berhari-hari, kata ‘kadrun’ – dan bukan Qorun – menjadi top of mind. Bukan, bukan emak, etek, atau adik perempuan saya yang memproduksi, tetapi mereka mengiyakan saja apa yang dipercakapkan dalam media sosial mereka, sambil meringis dengan kondisi ekonomi yang lumpuh.
Saya – Partai Golkar -- dan kakak kandung saya – Partai Keadilan Sejahtera – “memanfaatkan” kondisi itu dengan mengeluarkan maklumat masing-masing: “Jika ingin dapat kiriman baju lebaran lebih hangat, ya, pilih Partai Golkar atau PKS.” Dan kami berdebat di grup keluarga kami, dengan ponakan-ponakan sebagai tukang sorak.
Nah, kembali kepada judul, benarkah ekonomi Sumatera sekarang sangat kuat?
Yang saya tahu, Presiden Joko Widodo makin jarang menampakkan diri di Sumatera, apatah lagi sampai dua-tiga hari berada di Bukittinggi.
Saya kudu baca data dulu. Nanti saya selesaikan tulisan ini… Biasa, saya gantung dulu….
22.02.2022 pukul 02.22