Pemutus Jembatan
Oleh: All Amin
SEJATINYA petrikor itu menyegarkan. Di area itu sebaliknya, aroma sampah basah seperti hidup, menusuk hidung. Masker Covid pun tak mampu membendung bau busuknya.
Hari baru lepas senja di situ sudah gelap. Tak ada lampu. Barisan gerobak sampah serupa angkot mangkal di stoplet. Berjejer menghadap pagar seng--menutup bekas jalan.
Tadinya jalan itu ramai. Sejak ditutup berubah jadi kumuh. Telah berubah menjadi tempat sampah.
Rasanya mangkel. Ngedumel dalam hati.
Setiap kali jalan di dekat situ. Bila ingat jembatan itu. Jembatan penyeberangan yang diabaikan begitu saja, setelah diputus sekian lama.
Ditutup sejak pertengahan 2021. Dijanjikan selesai akhir tahunnya. Bisa dilalui kembali.
Nyatanya, sampai saat ini, sudah akhir Februari 2022. Jembatan penyeberangan itu belum diapa-apain.
Saya mulanya mau bersabar saja, seperti yang diajarkan di Masjid. Diam, menanti, sambil berharap; semoga entar disambungkan kembali.
Namun entah kapan. Skeptisisme mendominasi setiap obrolan terkait jembatan itu. Mungkin nanti sesudah lebaran mulai dikerjakan. Lebaran kuda.
Memutus akses lalu-lalang orang banyak, lalu membiarkannya begitu saja, pantas disebut; zalim. Dan kezaliman tak baik didiamkan.
Bila bersua dengan para pemutus jembatan yang terhormat itu, saya mau turut membisikkan "Antum telah menzalimi banyak orang, Bos."
Sebab, itu tak sekadar hanya memutus jalan. Tapi juga memutus jalan rezeki banyak orang. Di antara yang saya lihat:
Mang Umar. Pria tua yang telah puluhan tahun berjualan batagor di sekolahan sekitar area Kodam. Terakhir--sebelum jembatan diputus--Mang Umar mangkal di komplek sekolah JISc. Setiap subuh Mang Umar mendorong gerobak batagornya menyeberangi jembatan itu. Kini Mang Umar tak bisa lagi balik ke tempat mangkalnya.
Dulu tiap malam di mulut gang depan rumah ada Supri, penjual nasi goreng gerobak. Lebih dulu Supri berjualan dibandingkan saya yang sudah 14 tahun tinggal sini. Supri tinggalnya di seberang sana, anaknya sekolah di sebelah sini. Istrinya kerja di seberang. Supri belanja di pasar yang di sini. Rumit, ya? Jauh lebih rumit beban pikiran Supri ketika ia tahu kalau jembatan akan diputus. Mata pencarian Supri dimatikan oleh jembatan.
Sepertinya para pemutus jembatan tidak tahu hal itu. Atau, mereka tidak peduli. Entah mana yang lebih tepat.
Di seberang sana juga ada Cak Sanjaya arek Malang penjual soto ayam. Pelanggannya banyak yang dari seberang sini. Kalau jumatan Cak Sanjaya sering ke Masjid yang sini.
Jemaah rutin Masjid tempat saya salat banyak yang tinggal dari seberang sana. Bertahun-tahun kami berjemaah bareng. Kini tak satu pun pun lagi yang tampak. Gegara jembatan diputus.
Sekarang ketika mengorder apa pun via aplikasi daring, seringkali mesti mengabarkan ke pengemudi ojol-nya agar mereka tidak terlanjur mengarah ke jembatan itu. Sebab aplikasi peta online pun sepertinya belum tahu kalau jembatan itu sudah diputus.
Itu baru beberapa. Pasti banyak lagi yang dibuat sulit oleh putusnya jembatan itu.
Setiap hari ratusan kendaraan, mobil, motor, sepeda, pejalan kaki yang menggunakan jembatan penyeberangan itu. Untuk beragam keperluan. Fungsi jembatan itu vital.
Makanya dulu proyek tol Jakarta-Cikampek tetap menjaga keberadaan jembatan itu. Lain dengan proyek yang baru datang ini. Main putus saja. Dan setelah itu tak jelas lagi kabarnya. Pongah.
Katanya proyek besar. Beritanya proyek prestisius. Kereta Cepat Indonesia Cina.
Saya bergumam dalam hati: "Proyek prestisius apaan, urusan jembatan kecil saja, sudah hampir dua tahun, belum juga kelar."
Saya turut jengkel melihat pengabaian ini.
Sekarang rasa itu jadi lebih sering tersulut, sejak anak sekolah mulai tatap muka. Mengantar ke sekolahan yang dulu cuma sepuluh menitan, kini bisa tiga kali lipatnya. Itu pun kalau enggak macet.
Jangan ditanya berapa tambahan jarak tempuhnya. Berputar sangat jauh. Supri dan Mang Umar enggak akan kuat mendorong gerobak jualan mereka sejauh itu.
Saya sedang berpikir, bagaimana cara berkomunikasi dengan para pemutus jembatan itu. Para pengambil kebijakannya.
Mau turut menyampaikan, "Agar jembatan penyeberangan itu segera kembali disambungkan. Tak berlarut-larut. Sebab, makin lama, makin banyak orang yang dibuat susah."
Tentu, bisa saja nanti suara saya tak akan digubris. Sebab datangnya bukan dari siapa-siapa.
Namun, saya akan sampaikan juga suatu hal yang saya yakini. Semoga bisa sama keyakinannya.
"Bahwa semua kezaliman itu akan berbalik kepada para pelakunya. Rupanya bisa saja berbeda-beda.
Bila Tuhan mengumpulkan segala kesusahan yang dirasakan oleh semua orang akibat diputusnya jembatan itu. Lalu beragam kesulitan itu ditimpakan kepada para memutus jembatan itu. Mereka tanggung renteng. Maka beragam kesulitan itu akan dapat membuat dada mereka terasa sesak." (Jaticempaka, Februari 2022)