Membawa Tanah

Oleh: All Amin
MASA bakti Pak Asnawi menjabat kepala sekolah tersisa tiga tahun lagi. Ia berencana nak membuat peninggalan berkesan menjelang pensiun. Yang nanti bisa dikenang setelah ia pergi dari sekolah itu.
Pak Asnawi ini sosok guru kampung sederhana. Ia dulu ke sekolah hanya mengayuh sepeda ontel. Serupa guru Umar Bakri yang dalam lagu terkenal itu. Setelah tahunan mengajar baru sepedanya berganti motor Honda CB-100. Terus naik kelas sedikit ke Honda GL warna merah. Sekarang Pak Asnawi sudah pakai mobil. Terbeli mobil sejak anak sulungnya Rasyid Asnawi sukses berbisnis katering. Mobilnya Kijang keluaran tahun 90-an. Yang bangku baris belakangnya menyamping.
Siang itu Pak Asnawi memanggil beberapa guru datang ke ruangannya. Guna mendiskusikan rencananya itu.
"Saya mau mengubah tanah kosong di pojok pekarangan sekolah itu menjadi taman yang indah. Untuk kenang-kenangan esok setelah saya pergi." Ujar Pak Asnawi. Sambil menunjuk ke salah satu area di pekarangan sekolah.
Area yang ditunjuk Pak Asnawi posisinya di pojok kanan depan pekarangan sekolah.
Di sebelah kanan area itu mengalir sebuah sungai yang airnya keruh. Sungai itu sekaligus menjadi batas tanah milik sekolah. Di seberang sungai terdapat pasar yang ramainya sepekan sekali.
Dulu air sungai itu jernih. Biasa dijadikan tempat mandi-mandi oleh anak-anak kampung. Semenjak ada penambangan tanah galian di hulu sungai, warna airnya berubah menjadi coklat. Seperti kopi susu. Sungai itu kini telah berubah fungsi, tempat menghanyutkan sampah. Sesekali tampak mengapung anjing mati.
Penduduk kampung tak ada yang berani komplain. Sebab tambang itu milik Pung Kumis. Sang penguasa kampung. Para centeng Pung Kumis tak segan-segan memukuli siapa saja yang berani mengusik-usik tambangnya. Pejabat setempat pun enggan berurusan dengannya. Sebab banyak di antara mereka yang berutang budi kepada Pung Kumis.
Nama aslinya Murad Pungin Warsidi. Pensiunan tentara. Bekas tertembak di kaki waktu mengikuti operasi seroja membuat jalannya pincang.
Pung Kumis ini model tentara yang lihai memanfaatkan pengistimewaan rezim orde baru untuk kepentingan pribadinya. Ia sudah preman dari mudanya. Dulu segala bentuk kegiatan ilegal; judi togel, sabung ayam, penebangan liar, akan berjalan aman bila dikaitkan dengan nama Pung Kumis. Sandi operasinya TST. Tahu sama tahu.
Pada masa itu pula, ia dapat menyertifikatkan tanah bukit di hulu sungai itu. Diubah menjadi hak miliknya. Sekarang tiap hari puluhan mobil truk milik Pung Kumis wara wiri membawa tanah untuk menimbun lahan persawahan yang akan dijadikan kawasan hunian. Truk-truk itu lewat di jalan raya di depan sekolah Pak Asnawi.
Pung Kumis kini menjadi orang terkaya seantero kampung, walaupun pensiun hanya dengan tanda pangkat berwarna merah.
Pada area yang dimaksud Pak Asnawi itu, dulu sempat mau dibagun gedung sekolah baru. Tapi proyeknya mangkrak. Baru selesai fondasi dan tiang-tiangnya saja. Proyek itu mengantarkan kepala sekolah yang digantikan oleh Pak Asnawi ke penjara. Sebab perkara rasuah.
Rencana Pak Asnawi, area dalam fondasi yang terbengkalai itu akan diisi tanah. Lalu ditanami dengan beragam bunga dan tumbuhannya lainya. Akan diubah menjadi indah.
Kalau tanah untuk pengisinya mesti dibeli, tentulah butuh uang banyak. Sekolah tak punya anggaran. Pak Asnawi pantang pula mengutang untuk pengerjaan taman itu. Pak Asnawi tak mau dikenang sebagai pemimpin yang mewariskan utang.
Usulan Pak Asnawi, para siswa sekolah saja yang diminta membawa tanah dari rumah mereka masing-masing. "Rasanya itu lebih baik daripada kita mengutip sumbangan kepada anak-anak." Ujarnya.
Pak Asnawi meminta masukan dari guru-guru atas usulannya itu.
Noni Sumantri yang pertama kali menanggapi.
Noni guru paling muda di sekolah itu. Ia baru selesai kuliah. Jurusan Noni sastra Inggris, tapi ia ditugaskan mengajar sejarah. Sebenarnya Noni ingin merantau, tapi orang tuanya tak mengizinkan. Jadilah Noni guru honor di sekolah itu. Dengan gaji sebulan yang hanya cukup untuk pembeli bensin motor. Apa mungkin serupa dengan istilah yang populer di Jakarta itu, "Mbak-mbak SCBD." Penghasilan kepayahan mengejar penampilan.
Ia sering dipanggil Noni Belanda. Kalau Noni yang mengajar, tetiba para siswa cowok pada gandrung belajar sejarah. Tak ada yang membolos. Topik kesukaan mereka adalah ketika Noni menceritakan sejarah hidupnya.
"That's a good idea Pak. Bila Bapak berhasil mewujudkan taman yang indah di situ, tentu akan menjadi sejarah baru di sekolah kita. Bapak successfully meninggalkan legacy yang akan dikenang sepanjang masa. Ayo, Pak. Kita harus melakukan somethink different, bla, bla, bla." Noni Sumantri terlihat semangat beretorika.
Pak Asnawi menyimak. Tapi, tampaknya ia lebih memperhatikan kebiasaan Noni yang suka membasahi bibir dengan lidahnya ketika sedang berbicara.
Selanjutnya Pak Asnawi mempersilakan Ibu Senti Nezer yang menyampaikan pendapat.
Ibu Senti Nezer guru matematika. Usianya menjelang setengah abad. Romannya selalu serius. Seserius rumus-rumus yang diajarkannya. Bingkai kaca matanya tebal.
Memakai jilbab dengan model langsung ditarik lurus dari atas lalu disematkan pas di bawah dagu. Sebagian pipinya tertutup jilbab. Keningnya terbuka dan menampakkan sedikit rambut di atasnya. Mungkin bertujuan agar sirkulasi udaranya cukup. Sebagai sistem pendingin, ketika kepala panas karena kepadatan angka-angka.
Bagi mayoritas siswa di sekolah itu, masa-masa tersulit adalah ketika menghadapi ujian yang diberikan oleh Ibu Senti Nezer. Soal-soalnya rumit setengah mati. Serumit membagi habis bilangan ganjil.
Bu Senti langsung membacakan catatan yang dari tadi sudah ia siapkan. "Pak Kepsek. Lebar fondasi itu 8 meter, panjangnya 9 meter, tingginya setengah meter. Kalau mau diisi tanah sampai sejajar dengan tinggi pondasi, dibutuhkan tanah 36 kubik. Karena itu ada dua fondasi kosong, jadi butuhnya 72 kubik. Satu kubik tanah basah beratnya sekitar 2 ton. Maka kita butuh tanah sekitar 144 ton, Pak Kepsek."
Pak Asnawi tampak mulai mengelap peluh.
Bu Senti Nezer terus saja fokus pada catatanya. Ia sama sekali tak melirik ke Pak Asnawi.
"Itu artinya 144.000 kilo tanah. Kalau satu kantong kresek bisa membawa 10 kilo. Diperlukan 14.400 kantong kresek. Bila itu dibagi habis untuk semua murid, guru dan pegawai. Termasuk Pak Kepsek. Yang jumlahnya sekitar 700 orang. Berarti setiap orang mesti membawa 20 kantong yang berisi 10 kilo tanah. Begitu, Pak Kepsek." Bu Senti berhenti membaca, sambil memperbaiki kaca matanya.
Pak Asnawi merasa kerongkongannya kering. Lalu ia menghabiskan sisa kopinya yang telah dingin.
Lalu Pak Asnawi melirik ke Ustaz Parlindungan bin Sumiran. Yang akrab dipanggil Ustaz Parlin.
Ustaz Parlin ini guru agama. Usianya dua tahun lebih muda dari Pak Asnawi. Di kampung Ustaz Parlin pengurus masjid. Ia pun kerap diundang ceramah di sekitaran kampung.
Di masjid ia terkenal galak. Anak-anak mengaji kalau melihat Ustaz Parlin datang, persis seperti pedagang kaki lima yang melihat Satpol PP datang.
Sebelum bicara Ustaz Parlin biasanya selalu mengawalinya dengan mukadimah. Mungkin ia kira semua diskusi serupa dengan tausiah. Dan mukadimahnya panjang. Kadang bisa sama panjangnya dengan poin yang ia bahas.
"Katakan ke anak-anak, kalau membawa tanah ke sekolah, bawalah tanah dari rumah orang tua sendiri. Jangan ambik tanah dari ladang orang. Mencuri itu namanya. Jangan pulak ambik tanah dari proyek si Pung Kumis itu. Tanah dapat menyerobot saja-nya itu. Ndak jelas dari siapa ia beli tanah seluas itu. Tak berkahnya itu."
Pak Asnawi mengangguk-angguk. Bukan karena paham. Tapi, karena rencananya serasa makin menjauh.
Harapan Pak Asnawi sisa satu, mendengar pendapat dari Udin Badir. Guru olah raga yang biasanya banyak menyimpan ide-ide cemerlang.
"Udin, apa usulan mu," ucap Pak Asnawi.
Udin Badir ini duda muda beranak satu. Usianya baru tiga puluhan. Istrinya meninggal dua tahun silam karena demam berdarah. Udin Badir berwajah tampan dan berbadan atletis.
Udin sebenarnya menaruh hati pada Noni. Udin selalu mencari cara untuk mendekati Noni. Ia pandai sekali mencari topik pembicaraan yang disukai Noni. Ia sering mengait-ngaitkan tema olah raga dengan sejarah. Tentang sejarah olimpiade-lah. Tentang sejarah sepak bola-lah. Udin tak pernah kehabisan topik.
Dan, benar Noni bisa asyik bila bercerita dengan Udin Badir. Mereka tampak sering bersama-sama. Kalau dilihat sepintas mereka berdua serupa Rangga dengan Cinta.
Tapi, peluang Udin mendapatkan Noni sepertinya kecil. Kemungkinannya tersisa sepuluh persen.
Sebab Noni sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Niko Tomas. Putra Ko Apau pemilik toko material. Niko tamatan Sekolah Tinggi Pelayaran. Kini ia bekerja di kapal. Sedang berlayar.
Ayah Noni dan Ko Apau telah berteman lama. Ko Apau dulu yang membantu ayah Noni ketika membangun rumah. Kedua orang tua itu telah bersepakat akan menikahkan anak-anak mereka. Tinggal menunggu Niko menghabiskan masa ikatan dinasnya yang tak genap lagi setahun.
"Pak Kepsek, tak perlulah kita memaksa semua anak-anak membawa tanah ke sekolah. Kita minta siapa yang berkenan saja. Dan yang disuruh bawa bukan sekadar tanah, tapi sudah berupa tanaman di dalam bag. Jadi lebih efisien." Udin Badir mulai berbicara.
"Nanti kita rawat bersama-sama dengan siswa yang membawa tanaman itu. Pas pelajaran olah raga, saya akan mengajak mereka turut menyirami, memberi pupuk."
Pak Asnawi mulai tertarik dengan pemaparan Udin Badir.
"Nanti, kalau bunga-bunga itu sudah pada bermekaran, semua sudah tampak indah, pagar di depan pondasi itu kita bongkar. Dibuatkan gerbang agar ada akses langsung ke jalan raya. Di depan pagar itu kita pasang plang besar. Tulisannya: Taman Asnawi, Menjual Beragam Bunga."
Pak Asnawi terkesiap. Ia baru menyadari kalau Udin Badir, guru olah raga muda itu rupanya orang Padang.
Tetiba pandangan Pak Asnawi nanar. Vertigo-nya kumat. Bunga-bunga kecil seperti berterbangan di depan matanya. Pembicaraan tentang urusan membawa tanah tampaknya mesti dihentikan. (All Amin)