News Breaking
Live
update

Breaking News

IJP: Langkah Kuda Misi Negeri Atas Angin

IJP: Langkah Kuda Misi Negeri Atas Angin

Indra Jaya Piliang

Indra Jaya Piliang
Ketua Umum Perhimpunan
Sang Gerilyawan Nusantara

SETELAH lawatan bersejarah ke Kyiv dan Moskow, dua negeri yang dikenal sebagai Negara Atas Angin, agenda apa yang patut dilakukan oleh Presiden Joko Widodo? 

Sudah cukupkah menerima komitmen dari Vladimir Putin, yaitu Russia bakal menjamin kelancaran pasokan pupuk dan pangan dunia. Produk pertanian, perkebunan, dan agro industri Ukraina tidak akan menghadapi serangan rudal jarak jauh Russia yang mematikan, terutama di Laut Hitam. Russia tak bakal memblokade  ekspor pupuk yang digunakan untuk menyuburkan lahan-lahan pertanian di luar Ukraina.

Dunia sedang menghadapi krisis energi, yakni pasokan minyak dan terutama gas dari Russia, terutama ke negara-negara Eropa. Bagi negara agraris lain lagi, menghadapi keterbatasan persediaan pupuk dan pakan ternak. Ukraina bukan saja the Motherland of Bread, tetapi sekaligus penghasil gandum dan produk turunannya, termasuk pupuk dan pakan. Alat-alat pertanian bisa saja didapatkan dari China atau India, namun bahan baku berupa pupuk, tidak semua negara punya. 

Merasa sebagai negara raksasa, Putin tidak lupa menyelipkan catatan sejarah kepada Jokowi, terkait dukungan Russia dalam kemerdekaan Indonesia. Saya tidak tahu, tangkisan apa yang diberikan Jokowi. Andai catatan kehidupan Tan Malaka ternukil dalam pikiran Jokowi, terbukti strategi Stalin yang menuduh Pan Islamisme bersekutu dengan Imperealiasme Internasional sehingga wajib diperangi oleh kaum proletar di seluruh dunia, sama sekali berkebalikan di banyak negara Asia dan Afrika. Pan Islamisme dan kaum jelata berjiwa nasionalis bahkan bagai cincin dengan batu akik, saling menguatkan dan mengeratkan. Bahkan, mampu memukul kaum imperealis hengkang kaki. 

Dan, atas nama perdamaian, Jokowi sejak awal segoyianya menggunakan siasat pikiran Tan Malaka yang sudah ditulis dalam sejumlah buku. Atas persekutuan kaum Islam dan nasionalis ini, banyak negara di Asia dan Afrika merdeka, terutama semenjak Dasasila Bandung digaungkan ke seluruh dunia, ada 1955. 

Namun, tidak ada kata terlambat. Kini, Jokowi wajib menggunakan langkah kuda dalam permainan catur yang amat digemari di Russia. Jokowi bergerak bukan ke poros yang sedang bertarung, tetapi masuk lagi kepada Gerakan Non Blok. Bukan status sebagai Presidensi G-20 yang bisa menjinakan Putin, tetapi mana tahu adalah Gerakan Non Blok.  

Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok paling akhir terjadi pada 17-18 September 2016 di Karakas, Venezuela. Nicolas Maduro kala itu menjadi Sekretaris Jenderal Gerakan Non Blok. Kursi Kesekjenan kini berada di tangan Ilham Aliyev, Presiden Azerbaijan, sejak tahun 2019. Tahun ini, Konferensi Tingkat Tinggi bakal diadakan lagi, lalu posisi Kesekjenan berganti lagi untuk periode tiga tahun ke depan, 2022-2025. 

Presiden Soeharto pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Gerakan Non Blok, 1992-1995. Posisi keSekjenan Gerakan Non Blok bakal lebih penting ke depan, apabila dijabat oleh kepala negara yang punya sejarah panjang dalam rumusan trisakti: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. 

Apalagi, banyak negara yang tergabung dalam Gerakan Non Blok kini mengalami keterjepitan ekonomi, akibat persaingan antara Russia bersama aliansinya, kontra Amerika Serikat bersama aliansinya. Sejak Fukuyama menulis “tenung”-an bahwa sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme, para mahasiswa jurusan ilmu sejarah heboh. Sebagian besar mengubah pilihan jurusan dan karir, mulai dari penekun bahasa, mengambil kuliah tambahan atau ikut ujian masuk perguruan tinggi lagi dengan pindah jurusan, atau malah menjadi futuristis amatiran. 

Apakah kapitalisme menang?

Narasi hari ini ternyata tak menyatakan itu. Sosialisme semakin menguatkan diri, terutama dengan keberadaan Russia, China, dan bahkan Iran. Berhasil dalam mengendalikan ekonomi, ternyata tak memuaskan libido nahkoda yang ada di anjungan kapal induk dalam barisan armada utara. Senjata kembali dibuka sumbatnya, dinyalakan sumbunya, dan diarahkan ke arah negara yang belum melengkapi diri dengan mesin-mesin perang negara-negara yang menang dalam Perang Dunia Kedua. 

Tiga puluh tahun setelah Presiden Soeharto memegang tampuk keSekjenan Gerakan Non Blok, sudah dalam masa yang tepat jika Indonesia kembali “kampanye” ke arah itu. Setidaknya, Presiden Jokowi bisa berbagi kursi keSekjenan dengan presiden berikutnya, sebagaimana dilakukan oleh Dr Mahathir bin Mohamad yang digantikan Abdullah Ahmad Badawi dalam masa jabatan 2003-2006. 

Tanggung basah, mumpung mulai masuk musim hujan, Jokowi kepalang basah. 

Kembalikan spirit Tan Malaka yang tak sudi membungkukan punggung kepada Joseph Stalin. Walau, Tan ikut memilih Stalin sebagai Sekretaris Jenderal Komunis Internasional, pada 1925. Tan berusaha mencegah pemberontakan prematur kaum komunis dan nasionalis Indonesia, bersama kaum Islam, dengan bantuan senjata dari Sovyet. Meletus di Silungkang dan Banten, kaum haji yang paling menguasai aksara, jadi korban, dibuang ke Boven Digoel. Di negaranya sendiri, Stalin membunuh lebih kurang 10 Juta jiwa manusia. 

*) Markas Gerilyawan, Griya Kemayoran, bertepatan dengan tanggal 3 Juli 2022. Pada 3 Juli 1946, kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka, dituduk melakukan kudeta terhadap Kabinet Sutan Syahrir.. (*)

Tags