News Breaking
Live
update

Breaking News

Mengulik Isi Perut Bisnis Ojol

Mengulik Isi Perut Bisnis Ojol

ilustrasi internet



tanjakNews.com -- Tensi persoalan yang menyangkut perusahaan aplikasi (ojol) meningkat akhir-akhir ini menyusul polemik kebijakan kenaikan tarif. Lebih baik pemerintah dan DPR serius merespons persoalan tersebut. 

Bukan hanya masalah tarif melainkan evaluasi dan investigasi total terhadap praktik bisnis dan perputaran kapital  entitas-entitas tersebut. 

Jika luput, tak lama lagi, bom waktu akan meledak dan menimbulkan guncangan sosial yang hebat.

1. Lebih dari masalah angka dan analisa keuangan, nasib rakyat kecil adalah yang prioritas---setidaknya lebih dari 2 juta mitra GOTO dan 2 juta mitra Grab menurut paparan Direksi Telkom dan Telkomsel di Rapat Panja Komisi VI DPR untuk Investasi GOTO-Telkomsel pada Juni 2022. 
Saat ini semakin timbul kesadaran adanya ketidakadilan dan potensi pelanggaran hukum dalam sirkulasi bisnis ojol. Yang paling terasa beberapa hari terakhir adalah sejumlah potongan di luar yang diatur secara resmi oleh Kemenhub, yakni biaya jasa dan biaya sewa penggunaan aplikasi---seperti saya tulis di status sebelumnya. 

Beban ekonomi yang berat apalagi setelah kenaikan BBM, ketiadaan jaminan sosial yang pasti, beban cicilan dan pemeliharaan alat kerja (kendaraan), naiknya harga kebutuhan pokok dst akan terakumulasi menjadi keresahan sosial yang besar. Apalagi jika dibandingkan antara pendapatan ojol dan gaji/imbalan karyawan GOTO yang mencapai Rp7 triliun/tahun alias rata-rata Rp64 juta/orang/bulan---LK GOTO 30 Juni 2022. 

Sangat timpang! 

Perlu tahu, karyawan-karyawan itu juga banyak yang berdomisili luar negeri (Vietnam, India dsb), yang perlu kita kritisi juga bagaimana perhitungan dan pembayaran pajak penghasilannya selama ini.

Jangan hanya berkutat di urusan naik-turun persentase tarif dan biaya sewa, tapi lihat masalah secara utuh sebagai sebuah kesatuan. Tak sedikit yang bilang pola semacam ini adalah eksploitasi---untuk tidak menyebut 'perbudakan modern' berbalut narasi ekosistem digital.

2. Trend kekinian adalah masalah privasi dan perlindungan data pribadi---RUU Perlindungan Data Pribadi akan segera disahkan. 

Jika konsisten dengan prinsip negara hukum maka perusahaan-perusahaan aplikasi adalah sasaran utama yang harus diaudit pengumpulan, pemrosesan, hingga penggunaan data yang mereka lakukan. 

Persis seperti yang terjadi dengan Didi Chuxing di China yang diganjar hukuman atas sejumlah aturan keamanan dan perlindungan data pribadi menggunakan UU Keamanan Nasional dan UU Keamanan Siber. 

Kekuasaan data adalah pangkal persoalan. Dengan data yang dikuasai, mereka bisa berkuasa bak negara di dalam negara. 

Ada 8 aspek pelanggaran Didi Chuxing mulai dari soal pengambilan data foto ilegal di ponsel pengguna, daftar aplikasi yang dipakai, pengenalan wajah, KTP, riwayat pendidikan, alamat, riwayat perjalanan, lokasi akurat, permintaan izin telepon dst. Per Agustus 2020, tercatat 29 juta pengguna aktif GOTO. 

3. Bisnis ride-haling bukan obsesi mereka. Lagi-lagi saya kutip dari slide Panja tadi, penetrasi yang lebih dalam pada portofolio pembayaran digital dan pinjaman ritel adalah tujuannya. Obsesi GOTO, misalnya, menjadi superapps local champion. 

Tekanan terhadap para ojol akan semakin kuat atas nama efisiensi, sebab mereka tak bisa terus menerus melakukan promo (GOTO mengeluarkan Rp7,3 triliun untuk promo pelanggan per 30 Juni 2022) dan harus sesegera mungkin melakukan monetisasi. 

4. Secara fundamental, ini praktik bisnis yang buruk. Akumulasi rugi GOTO saat ini Rp92,7 triliun. Karena merugi maka perusahaan ini mustahil membayarkan dividen kepada pemegang saham seperti bisnis 'normal' pada umumnya. 

Yang bisa dilakukan adalah menggenjot citra perusahaan untuk meraih simpati dari para investor baru melalui berbagai aksi korporasi (IPO, right issue, private placement dsb). 

Harga saham GOTO dijaga agar tetap menimbulkan citra positif akan prospek ke depan. Tahu sendiri, market adalah sesuatu yang tidak selalu terjadi alamiah tetapi penuh aksi spekulan---untuk tidak menyebut bandar. Apa yang tercermin di harga saham tidak selalu mewakili kondisi keuangan yang sebenarnya. 

Itulah mengapa saya ribut terus mengenai investasi Telkomsel di GOTO senilai Rp6,4 triliun. Alasan utamanya adalah dugaan kuat saya bahwa investasi itu dipengaruhi anasir hubungan kekeluargaan yang rentan nepotisme berkaitan dengan posisi Menteri BUMN Erick Thohir dan Garibaldi Thohir (kakaknya yang pemilik sekaligus pengurus GOTO). 

Selain alasan business judgement rule apa yang mendasari BUMN berinvestasi di perusahaan yang merugi sejak didirikan hingga sekarang. 

Bukankah duit itu lebih baik dipakai langsung untuk memberikan insentif, beasiswa, bantuan kepada para pelaku digital di seluruh Indonesia hingga ke pelosok-pelosok ketimbang 'dipertaruhkan di meja bandar'?

Saya prediksi kuat, jika pemerintahan dan konfigurasi politik berganti, investasi itu akan menjadi skandal hukum yang besar---mirip dengan investasi Rp1,5 triliun Telkom melalui PT PINS di TELE yang menguap bagitu saja tapi tak pernah diusut lagi oleh KPK!

5. Ketika menjadi narasumber di Panja Komisi VI DPR pada 27 Juni 2022, saya menyinggung masalah Singtel dalam keputusan investasi Telkomsel. Alasannya adalah karena Singtel berada dalam posisi ganda baik sebagai pemegang saham Telkomsel (35%) dan pemegang saham GOTO---melalui berbagai entitas. 

Bisa dibilang Singapura adalah pengendali. Direksi dari pihak Singtel jugalah yang menurut paparan direksi Telkom menginisiasi investasi Rp6,4 triliun tersebut.

Umur investasi para investor awal itu sudah hamil tua. Rata-rata bisnis venture capital di start-up memiliki umur investasi 10 tahun dan secara akta, Gojek didirikan 2015. 

Tak lama lagi, para investor awal harus exit, sebab tujuan utama mereka adalah profit bukan menyejahterakan ojol. Mereka sudah lakukan IPO dan akan terus melakukan aksi korporasi lain untuk menghimpun dana. 

Valuasi saham naik diakibatkan bukan karena meningkatnya profitabilitas fundamental melainkan dengan cara akuisisi demi akuisisi perusahaan agar mereka bisa melakukan revaluasi saham dan menjual dengan harga lebih tinggi lagi. 

Mereka mengandalkan goodwill untuk menopang aset (dari total aset GOTO Rp158 triliun, Rp98 triliunnya adalah Goodwill yang didapat dari revaluasi pascaakuisisi Tokopedia).

Ada isu kedaulatan nasional di situ, selain masalah gelembung digital.

6. Sebaiknya juga dilakukan audit kepatuhan hukum secara menyeluruh terhadap entitas perusahaan aplikasi. Sebab, selama ini mereka beroperasi dengan berbagai fleksibilitas. 

Mempekerjakan orang tetapi berlindung di balik status mitra sehingga luput dari UU Ketenagakerjaan. Menjalankan bisnis angkutan tapi luput dari ketentuan perundangan mengenai angkutan umum. 

Sepeda motor yang seharusnya tidak masuk kategori angkutan umum (karena pemegang SIM C bukan kategori pengemudi jasa angkutan menurut UU Lalu Lintas) tapi dibuatkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menyatakan sepeda motor sebagai angkutan untuk kepentingan masyarakat. 

Perlu dicek juga apakah kelas badan hukum aplikasi itu sesuai untuk menjalankan bisnis pembayaran digital dan pinjol.

7. Gara-gara model bisnis aplikasi besutan venture capitalist, kita semua berada di posisi sulit. Para mitra sudah kadung kecemplung, terhimpit beban ekonomi, terjerat cicilan. Padahal, penciptaan lapangan kerja yang sesungguhnya tidaklah terjadi. 

Negara tidaklah betul-betul menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan seperti amanat Konstitusi. 

Harusnya kita mendesak Negara menciptakan lapangan kerja riil yang statusnya sesuai UU Ketenagakerjaan, mendesak Negara memperbaiki total sistem jaminan sosial (supaya kalau sakit tidak ribet dan berbiaya banyak dan ada dana pendidikan supaya punya harapan masa depan untuk generasi berikutnya);

Melindungi rakyat dari gempuran kenaikan harga bahan pokok (bukan malah menaikkan harga BBM), memberantas korupsi supaya apa yang sudah diambil pencoleng bisa kembali (bukan malah memudahkan aturan pembebasan bersyarat koruptor), memperbaiki sistem daya serap tenaga kerja melalui pemagangan dan pelatihan (bukan malah jualan video pelatihan Prakerja yang menguntungkan segelintir swasta platform digital).

Tak harus semua tercapai hari ini, memang perlu proses. Tapi minimal mindset pemerintah berubah, cara pikir 'unicorn' dibuang jauh-jauh karena itu sudah usang sebagai dagangan kampanye dan terbukti tak membawa banyak perubahan bagi kesejahteraan rakyat.
Itu model partnership: kita berpartner, mereka yang sip!

Salam.



Agustinus Edy Kristianto 
Journalist • Digital Creator • Entrepreneur

PENULIS pernah bekerja sebagai Chief Executive Officer (CEO) & Founder di PT Hastabrata Hemass (GRESNEWS.COM)
Pernah bekerja sebagai Chief Executive Officer (CEO) & Founder di Portal Berita Bantuan Hukum Primaironline.com
Pernah bekerja sebagai Director di Yayasan LBH Indonesia
Pernah bekerja sebagai Journalist di Media Indonesia.


Note: artikel telah dimuat di wall akun Facebook penulis. Judul oleh redaksi

Tags