News Breaking
Live
update

Breaking News

REZIM OLIGARKI CABUT SUBSIDI

REZIM OLIGARKI CABUT SUBSIDI

Ilustrasi:sabak/rmolaceh



Jokowi berkuasa dengan strategi "quick wins" lewat proyek infrastruktur dan aneka "cash transfer", karena paling mudah terlihat.

Tak ada terobosan di sektor lain seperti hukum, kesehatan, agraria, lingkungan.

APBN pun kedodoran. BBM dinaikkan. Solusinya: "cash transfer" lagi.

Dalam beberapa hal, ia mirip Sukarno di mana proyek-proyek mercusuar, kampanye militer di Papua dan "ganyang Malaysia", bersanding dengan ekonomi rakyat yang sekarat. 

Tapi rezim Jokowi juga mirip Soeharto. Tempat korupsi, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM tumbuh subur.

Di tengah pandemi, UU Karantina tak dipakai dengan dalih tak cukup dana mengongkosi jatah hidup rakyat, tapi BUMN disuntik modal atau "cash transfer" ala Kartu Prakerja dan Bansos yang dikorup.

Saat orang tak bebas bergerak, UU Minerba, Omnibus Law, penggembosan KPK, terus dikebut.

Jika Omnibus Law adalah perangkat lunak, polisi adalah perangkat keras rezim oligarki Jokowi. Ia jadi alat represi sekaligus diberi beban "mengamankan investasi".

Polisi berkembang menjadi institusi yang sulit dikontrol seperti ABRI di masa Soeharto. Di sisi lain, KPK dilemahkan dengan alasan memiliki kekuasaan terlalu besar. Padahal KPK tidak mengurus SIM, STNK, sampai narkoba dan terorisme. 

Di saat yang bersamaan, untuk mempertahankan dukungan, Jokowi memakai resep semua rezim: menciptakan musuh bersama.

Sukarno dengan narasi "kontra-revolusi", Soeharto dengan "bahaya laten komunis", dan rezim Jokowi dengan ancaman "radikalisme".

Ia mencitrakan diri paling "bhinneka". Gimiknya gonta-ganti baju adat. Padahal kebijakannya pada masyarakat adat, peradaban, dan lingkungan hidup mereka jauh panggang dari api.

Masyarakat adat belum tentu tumpas karena "radikalisme", tapi sudah terbukti tumpas akibat kapitalisme lewat penghancuran hutan dan lingkungan hidup mereka yang difasilitasi pemerintah lewat produk hukum seperti UU Cipta Kerja alias Omnibus Law. 

Sementara potensi bibit budaya nepotisme tak berusaha dihindari dengan anak, mantu, ipar, di jabatan-jabatan publik.

Konflik kepentingan dan potensinya dianggap normal, ketika jabatan-jabatan strategis diisi para pebisnis yang memungkinkannya menjadi wasit dan pemain sekaligus.

Rezim Jokowi juga memperlebar hegemoni ke kampus. Ikut menentukan rektor, mengikis otonomi dan budaya kritis.

Kampus semata entitas bisnis pendidikan, suplai tenaga kerja, stempel Amdal, saksi ahli untuk pemodal, bukan tempat persemaian gagasan-gagasan alternatif dan inovasi.

Menepuk dada sebagai presiden yang paling banyak membangun jalan tol (baca: jalan berbayar) dibanding presiden lain, tapi ketika konsumsi BBM dan subsidinya melonjak karena dirangsang infrastruktur berbasis kendaraan pribadi seperti tol, malah teriak "subsidi salah sasaran".

Setelah bangun 1.900 km jalan tol baru dalam tujuh tahun, what do you expect? Konsumsi BBM Avanza dan subsidinya akan turun?

Kalau lingkungan dikorbankan, kualitas laut semakin buruk, dan 7 juta nelayan makin lama dan makin jauh melaut, what do you expect?

Konsumsi BBM subsidinya semakin hemat?

Pandemi disuruh cari makan dan cari selamat sendiri-sendiri. Baru mulai bangkit, dihantam kenaikan harga barang, upah yang tak bergerak, dan sekarang digenapi kenaikan harga BBM.

Kalau tak ada satu pun yang kita rasakan, berarti jarak dengan orang kebanyakan memang sejauh itu. ***


Dandy Dwi Laksono/Fb

Tags