Ekonomi Perang dan Pemimpin Nasional
Indra J Piliang
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara
TENTARA Nasional Indonesia (TNI) lahir dari kancah revolusi kaum nasionalis. Mereka dikenal sebagai kaum republiken. Dalam abad ke 20, tentara nasionalis ini terutama berasal dari kaum komunis, seperti China, Vietnam dan Kuba. Tak heran, sosok-sosok negarawan di Asia ini, banyak berinteraksi ketika menempuh pendidikan di Eropa. Tan Malaka, Cou Enlai, dan Ho Chi Minh, misalnya. Tapi tentu juga tak mengecualikan negara-negara Afrika, seperti Aljazair. Pada abad ke-18, tentara nasionalis lahir di kalangan koloni Amerika Serikat, ketika berhadapan dengan Britania Raya. Begitu juga negara-negara yang lepas dari Spanyol, Portugis, dan Perancis.
Doktrin sebagai tentara rakyat itulah yang menyebabkan TNI sama sekali tak mengenal kudeta, sebagaimana terjadi di Thailand dan Myanmar. Walau Letnan Kolonel Kemal Idris pernah menghadapkan moncong tank buatan Sovyet ke Istana Negara, pada peristiwa 17 Oktober 1952, namun sama sekali bukan disebut kudeta. Begitu pula dengan konflik sesama angkatan bersenjata yang meledak pada pemberontakan yang ditunggangi Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948, peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil yang berisi bekas tentara kolonial (KNIL), peristiwa Andi Azis, Qahar Muzakkar, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hingga Pemerintahan Rakyat Semesta, sama sekali tak berujung kepada penggulingan kekuasaan. Otoritas sipil sangat dihormati kalangan tentara.
Dalam era transisi menuju konsolidasi demokrasi pasca peristiwa Mei 1998, para ilmuwan manca negara disibukan dengan wajah seperti apa yang akan dihadapi oleh TNI. Beragam analisa mengemuka, termasuk mimpi buruk Balkanisasi Nusantara atau hadir sebagai negara Paria dalam bentuk failed state (negara gagal). Sebagai peneliti muda di Centre for Strategic and International Studies waktu itu, penulis menghadapi puluhan orang peneliti asing yang bekerja memperhatikan berbagai aspek sosial, politik, hingga pertahanan dan keamanan di Indonesia. Apalagi, sistem multipartai pada Pemilihan Umum 1955 ‘dituding’ sebagai pintu masuk, salah satunya, PKI ke dalam tubuh militer Indonesia. Sehingga berujung pada Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tentara rakyat tentu berbeda dengan model tentara pretorian. Tentara pretorian dikenal sebagai model Pasukan Cakrabirawa di bawah pimpinan Kolonel Untung yang melakukan penculikan terhadap sejumlah jenderal yang berakhir di Lubang Buaya. Model pretorian ini melekat kepada tentara Romawi. Mereka sengaja dibentuk untuk mengawal Kaisar dan mengatas-namakan Kaisar, ketika melakukan penaklukkan ke negera-negara lain. Tetapi tak jarang juga, mereka yang berkonspirasi dengan kalangan politisi (Senator) untuk membunuh Kaisar.
Tuduhan sebagai tentara pretorian ini yang masih melekat kepada sosok Mahapatih Gajahmada, sehingga difitnah di usia tua sebagai predator sosok Dyah Pitaloka. Pemutar-balikan fakta sejarah Tragedi Bubat itu hingga kini masih membelah Pulau Jawa, terutama antara etnis Sunda dengan etnis Jawa. Model devide et impera ini menjadi kesukaan filolog, antropolog, arkeolog, dan sejarawan kolonial.
Sampai 2004, masih terdapat Fraksi TNI-POLRI di dalam tubuh legislatif, baik pusat ataupun daerah. Jatah yang tersedia sebetulnya hingga tahun 2009. Sebab alat uji konsolidasi demokrasi yang umum adalah dua kali pemilihan umum. Hanya saja, atas inisiatif dari pimpinan TNI – dan POLRI – waktu itu, keberadaan Fraksi TNI-POLRI berakhir pada tahun 2004. Mayor Jenderal Kohirin SS, sebagai Juru Bicara Fraksi TNI-POLRI di MPR RI, sempat membacakan puisi “…Istana Gemah Ripah Loh Jinawi / Kami TNI-POLRI Siap Mengiringi Sepenuh Hati…” ketika berpamitan pada 25 September 2004. Politik itu kotor (bagi tentara), puisi yang membersihkannya.
Setelah hampir dua dasawarsa, tentu bukan saat yang tepat guna menghitung lagi, apakah diperlukan kehadiran Fraksi TNI-POLRI dalam tubuh legislatif. Cuma saja, di seluruh dunia, tatkala pesawat terakhir tentara Amerika Serikat berangkat dari Bandara Kabul, setelah duapuluh tahun berada di Afghanistan, terlihat betapa sejumlah tatanan baru sedang terjadi di dunia. Benar saja, Vladimir Putin menyerang dan menduduki sejumlah kota di Ukraina. Walau secara persenjataan, perang sangat tak berimbang. Hanya bantuan teknologi perang super canggih dari Amerika Serikat – bersama Eropa – atau ada dalam Blok NATO, Ukraina bisa bertahan dan bahkan sedang merebut kembali kota-kotanya yang jatuh. Super komputer dalam bentuk artificial intelligence bahkan turut serta dalam perang moderen di belahan utara ini.
Di Kawasan Samudera Pasifik, Taiwan menjadi salah satu pusat pertarungan baru, selain Laut China Selatan. Kapal-kapal selam bertenaga nuklir – dan tentu juga membawa hulu ledak nuklir – bakal simpang siur di Lautan Pasifik yang biasanya tempat perburuan tuna, kepiting, dan paus paling diminati dunia. Suhu air Lautan Pasifik lebih hangat dibanding Laut Hitam. Perang Russia di Ukraina dan latihan perang rakyat Taiwan menghadapi Tiongkok, kini membuat badai dan tornado besar di bidang ekonomi. Belum lagi kelakuan Korea Utara yang makin sering uji nyali dengan menembakkan rudal-rudal jelajah antar benua.
Manakala senjata-senjata terbaru berharga milyaran dollar menyalak, lapisan jelata segera menjadi lepra, gelombang pseudo revolusi terjadi di sejumlah negara. Jumlah penduduk miskin, dan kian tak terbaca dalam data, semakin melipat. Srilanka yang kehilangan presidennya, menjadi pasien International Monetary Fund. Pakistan, negara muslim terbesar kedua, kini tak lagi stabil, akibat perebutan kekuasaan, terletak bersebelahan dengan Afghanistan yang segera menyediakan kaum pengemis di jalan-jalan ibukota. Hulu-hulu ledak nuklir, ada di kedua negara. Keadaan itu berlangsung, pada saat COVID 19 belum berhasil ditaklukkan.
Proxy militer selama Perang Dingin menempatkan Russia – China – Iran (Blok Timur) di satu sisi, lalu Amerika Serikat dan Eropa (Blok Barat) di seberangnya. Indonesia, sempat membentuk Gerakan Non Blok (GNB) yang masih aktif hingga sekarang. Hanya saja, GNB ini sama sekali tak membangun kekuatan alternatif di luar penguasaan teknologi peperangan, termasuk perlombaan pengiriman satelit mata-mata ke angkasa. Kaya akan sumber daya alam dan populasi, tak membuat GNB disegani.
Keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan pandemi COVID-19, tidak terlepas dari pola distribusi vaksin melalui sel-sel intelijen, baik lewat Badan Intelijen Negara, maupun lewat struktur organisasi TNI-POLRI. Di kawasan-kawasan paling sulit dijangkau, serdadu TNI menjadi petugas-petugas kesehatan dadakan. Belum lagi perkawinan alami antara bidan desa dan bintara desa, paling sering menjadi pasangan ujung tombak dalam mengatasi bencana, termasuk COVID 19. Ekonomi Indonesia terjaga dengan baik, lewat kerja keras jajaran pusat hingga daerah dan desa. Ditambah perang yang terasa di jari jempol, Indonesia seakan keluar dari jebakan neo imperealisme lewat pengendalian harga vaksin oleh negara-negara besar di dunia. Vaksin Nusantara hasil kerja keras peneliti-peneliti RSPAD Gatot Subroto di bawah supervisi Letjen (Purn) Dr dr Terawan adalah bentuk dari usaha serius keluar dari lingkaran setan imperialisme di bidang industri farmasi.
Buku ‘Sang Gerilya’ atau dikenal dengan Gerilya Politik dan Ekonomi (Gerpolek) Ibrahim Tan Malaka, sejauh ini lebih dimaknai dari segi Gerilya Politik. Tak terkecuali dalam era perang kemerdekaan, atas nama Persatuan Perjuangan, berhasil melakukan kolaborasi seluruh kekuatan perlawanan guna mewujudkan Merdeka 100% kala itu. Kini, tanpa banyak jargon, upaya melakukan gerilya ekonomi bisa dikatakan berhasil memagari bumi nusantara dari rahang-rahang rakus kelompok-kelompok kapitalis dunia.
Jelang 77 tahun usia TNI, apa yang hendak kita bingkai?
77 tahun adalah usia institusi TNI. Namun, dari sisi keahlian di medan perang, usia itu tentu masih sangat muda. Hampir seluruh kerajaan atau kesultanan di nusantara, terutama yang berada di muara sungai, pinggi pantai, atau pulau, menerapkan wajib militer kepada penduduknya, baik laki-laki, atau perempuan. Tak heran, sabuk nusantara terlalu sulit ditundukkan oleh bangsa-bangsa Eropa. Keahlian dalam penggunaan senjata didapatkan, terutama, lewat pertalian dagang dengan Turki Utsmani. Senjata-senjata moderen didapatkan dari Turki Utsmani. Jung atau kapal-kapal raksasa, diperoleh dari China. Hanya teknologi mesiu yang jarang digunakan, walau mampu meluluh-lantakkan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, baik ketika melawan bangsa asing, atau digunakan bangsa asing.
Sehingga, keahlian bela diri dan penggunaan senjata, seyogianya dimiliki oleh seluruh anak-anak nusantara. Seperti Jepang sebelum Restorasi Meiji. Kaum Samurai bersenjatakan pedang, lalu meriam-meriam buatan Amerika Serikat, sebelum dilucuti oleh Togukawa. Restorasi mengangkat harkat dan martabat kalangan petani, pedagang, dan nelayan. Kaum samurai tak lagi menghamba kepada Daimyo (tuan-tuan tanah), tetapi langsung kepada Kaisar. Cara yang ditempuh Meiji relatif keji, yakni menempatkan keluarga kaum samurai di Istana Kaisar. Ketika ada Kaum Samurai yang memberontak bersama Daimyo, anak dan istrinya dipancung di alun-alun Istana Kaisar.
Bumi nusantara dalam sejarah perang demi perang, sama sekali tak mencatat banyak kekalahan terhadap bangsa asing. Sebaliknya, kemenangan demi kemenangan seakan menjadi postulat. Hanya kelicikan yang membuat sejumlah pahlawan ditangkap, mau Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, hingga Sultan Hassanudin. Atau, pengkhianatan dari dalam, setelah bangsa asing mengirimkan ahli tipu daya ke meja makan dan kamar tidur para pemimpin kerajaan atau kesultanan di masa masing-masing.
77 tahun usia TNI, seyogianya dipatri dengan cara menunjukkan minimal 77 kemenangan dalam sejumlah peperangan di masa lalu, bukan saja sejak Republik Indonesia diproklamasikan, tetapi ketika satu perlawanan atas penjajahan dilakukan oleh anak-anak negeri. Dengan narasi 77 kemenangan itu, bakal membentuk 77 model “Seni Perang Nusantara”. Yang bakal terlihat adalah bagaimana lekatnya tentara dengan rakyat, sehingga kemenangan bisa diraih.
Keahlian-keahlian ala local knowledge bakal meruap ke permukaan. Termasuk seni bela diri dengan tangan kosong atau senjata sejenis tombak, panah, kelewang, badik, mandau, rencong, rudus, parang, clurit, keris, golok, hingga sumpit. Jenis senjata itu menjadi bukti betapa bangsa Indonesia adalah kaum ksatria yang tak suka dengan mesiu. Pertarungan jarak dekat jauh lebih terhormat, ketimbang meledakkan bom terhadap pihak kombatan yang tentu saja bisa menjangkau kalangan sipil, terutama anak-anak, kaum perempuan, dan manusia lanjut usia.
Sejumlah latihan perang yang dilakukan TNI belakangan ini, atas nama Garuda Shield, sudah menunjukkan bagaimana arah kebijakan pertahanan ke depan. Indonesia lebih konsentrasi ke Lautan Pasifik, ketimbang Lautan Hindia sendiri yang berada di pantai Barat Sumatera. Dan itu berarti, Indonesia berada dalam mata rantai pertahanan yang seperahu sedayung dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Australia, hingga Taiwan dan bahkan China sendiri. Masa kepemimpinan Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, lebih banyak mengarah kepada latihan demi latihan ini. Ketika ekonomi berada dalam sumbu api, antisipasi perang sudah ditunjukkan baik oleh TNI.
Tentu, langkah paling utama adalah menjadikan laut sebagai alutsista utama. Tan Malaka sudah lama mengingatkan, betapa tak ada satupun bangsa-bangsa besar di dunia sejak zaman sebelum Masehi hingga kini yang tak terhubung dengan laut. Daulat maritim seyogianya menjadi kurikulum prioritas, sebagai langkah restorasi bidang pertahanan dan aufklarung filsafat. Dengan daulat maritim, capaian merdeka 100% bakal lebih cepat diraih, ketimbang bersandar kepada model alutsista yang ikut serta kepada bekas-bekas penjajah.
Dirgahayu TNI!!!