News Breaking
Live
update

Breaking News

Mengawasi Para Capres dan "Duit Liar"

Mengawasi Para Capres dan "Duit Liar"

 




ASALKAN lembaganya kredibel dan metodenya jelas, survei kepemimpinan nasional yang marak belakangan ini patut dicermati. Setidaknya itu menggambarkan apa yang terjadi hari ini di dalam benak masyarakat (persepsi) mengenai sosok pemimpin, yang dilakukan melalui metode ilmiah yang terpercaya.

Survei Litbang Kompas adalah salah satu yang saya jadikan acuan. Apalagi, selain bertindak sebagai lembaga riset/survei, Kompas juga memiliki jaringan media sebagai lengan komunikasi, yang berpengaruh besar terhadap pembangunan persepsi publik.

Kata Litbang Kompas dalam hasil survei terbaru (edisi 26/10/2022), Ganjar di Puncak, Anies Menanjak. Secara berurutan potensi keterpilihan dalam survei yang dilakukan pada 24 September-7 Oktober 2022: Ganjar (23,2%), Prabowo (17,6%), dan Anies (16,5%). 

Komposisi itu tak jauh berbeda dengan hasil survei CSIS pada September lalu. CSIS bahkan relatif lebih dulu menyebut Anies menangi semua duel. Belakangan kita tahu, Partai Nasdem mengusung Anies sebagai bakal capres dan Menkeu Sri Mulyani berteriak Salam Restorasi!

Secara demografi, menurut Litbang Kompas, Ganjar unggul dalam dukungan dari laki-laki; wilayahnya di Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTT, dan di Maluku-Papua mengimbangi Prabowo; Ganjar cenderung dipilih oleh responden perkotaan dan meningkat di generasi muda (Gen Z <26, Gen Y muda (26-33)); pemilih dari status sosial ekonomi atas meningkat signifikan.

Prabowo lebih unggul di Sumbar, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Di Banten, masih unggul tapi mulai tergerus Ridwan Kamil. Prabowo dan Ganjar bersaing ketat di kelompok pemilih berpendidikan dasar (SD-SMP).

Anies lebih unggul di Maluku-Papua. Di Jawa, Anies menonjol di DKI Jakarta. Anies juga kuat di Aceh, Kaltim, dan Sulawesi Tenggara. Di Sumbar, ia mengimbangi Prabowo. Dukungan terhadap Anies juga menguat dari kalangan sosial ekonomi bawah. Kalangan berpendidikan tinggi juga menyumbang cukup banyak dukungan ke Anies.

Begitulah petanya dan saya tidak ambil posisi apapun. Kita baca apa adanya temuan Litbang Kompas itu sebagai referensi. Politik itu dinamis. Tiap kepala, punya bacaannya sendiri.

***

Namun, saya perlu catat fakta penting di mana Jokowi memainkan 'peran' cukup signifikan di atas papan catur. Bagaimana pun juga, terbitnya Keppres No. 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang ia teken pada 26 Agustus 2022 setidaknya 'membantu' Prabowo untuk lepas dari stigma masa lalu.

Bisa jadi 'urusan' dengan Amerika mereda karena si Paman Sam kerap cerewet isu HAM. Lugu sekali kalau kita berpikir Amerika dan antek-anteknya tak ikut campur urusan Pemilu Indonesia.

Tim itu dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD, wakilnya Ifdhal Kasim (bekas ketua Komnas HAM), dan sekretaris Suparman Marzuki (bekas komisioner Komisi Yudisial). Dikritik habis Usman Hamid (Amnesty International) sebab dianggap melenceng dari standar hukum internasional, yang mensyaratkan empat hal: investigasi untuk menghadirkan kebenaran peristiwa, hukuman bagi pelaku, pemulihan hak korban yang hilang, dan jaminan hak atas kepuasan bagi keluarga korban.

Sementara catatan untuk Anies adalah kasus Formula E yang berpotensi dijadikan kuncian bagi lawan politik. Bagaimana pun juga, KPK adalah rumpun eksekutif yang saat ini dikendalikan Presiden. Selip sedikit, status tersangka bisa menempel. 

Hati-hati dengan syarat capres yang tidak boleh melakukan perbuatan tercela dan tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan perbuatan pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara.

***

Kendati begitu, saya tidak terlalu pedulikan apa pilihan Anda masing-masing. Setiap orang bebas menentukan pilihan. Yang saya concern adalah DASAR RASIONALITAS di balik alasan Anda memilih. 

Saya mau mendorong setiap orang tahu betul cara dan dasar pilihan masing-masing ketimbang memilih berdasarkan feeling dan bujuk rayu. Spesies terendah adalah yang memilih berdasarkan lembaran Rp50 ribuan!

Berikutnya adalah memiliki batu uji yang kokoh sebagai pondasi memilih. Survei adalah hasil kuantitatif terhadap persepsi orang. Ia mengkuantifikasi isi benak orang pada saat ini yang bisa berubah seiring waktu.

Moral seseorang yang tercermin dari perilaku nyata dan konsistensi pilihannya dalam menghadapi situasi konkret serta kredibilitas dan pertanggungjawaban duit yang dipakai untuk mengikuti kontestasi adalah dua hal yang saya harap bisa diperhatikan oleh kita semua. 

Pemimpin yang punya visi dan integritas, memiliki desain yang jelas dan terukur untuk mendistribusikan keadilan bagi mayoritas masyarakat (terutama kalangan bawah dan miskin), tidak munafik, mengatakan sesuatu yang benar secara benar dan dilakukan dengan benar adalah beberapa indikator yang bisa dilihat.

Terlampau idealis dan mengawang-awang---mungkin. Tak apa-apa. Setidaknya jadikan sebagai kerangka untuk menjadikan pilihan Anda semakin berkualitas pondasinya. 

***

1,5 tahun menjelang pemilu, saya masih fokus untuk memburu duit-duit negara yang bocor melalui berbagai instrumen investasi dan proyek pemerintahan. Duit-duit itu sangat berpotensi berubah wujud menjadi bensin politik untuk memanipulasi pilihan masyarakat melalui berbagai cara dan media. 

Naif amat jika menganggap ada buzzer gratisan, iklan sumbangan, donasi tanpa harapan balas budi dalam politik. 

Tahun 2019 terdapat 190,7 juta pemilih. Artinya untuk menang, butuh 50% lebih satu pun cukup. Jika biaya akuisisi satu pemilih adalah Rp200 ribu maka untuk menang kira-kira memerlukan duit Rp19 triliunan. 

Saya konfirmasi angka itu kepada beberapa jaringan 'bandar politik' yang saya tahu, kebanyakan membenarkan angkanya kira-kira segitu. Tapi ini bukan acuan pasti, hanya kira-kira.

Poinnya adalah pada Pemilu 2024, saya mau mendorong keterbukaan dan cek-ricek yang lebih ketat terhadap aliran dana pembiayaan politik berikut pihak-pihak pemberi-penerimanya. Entah bagaimana caranya, bisa dipikirkan. 

Angka Rp19-20 triliun sangat kecil dibandingkan 'benefit' yang didapat dari raihan kekuasaan. Cuma 1% dari APBN yang bakal ia kelola, yang jika diembat 5% saja masih lebih banyak untungnya. Cuma butuh 4 kali anggaran Prakerja yang setahunnya diduga 'bocor' Rp5,6 triliun untuk korporasi digital tertentu. Cuma butuh 3-4 kali memakelari pelepasan saham emiten seperti GOTO untuk 'membantu' investor mayoritasnya seperti Softbank dan Alibaba cuan (kabar terbaru setelah lock-up berakhir pada 30 November 2022, keduanya mau jual sahamnya senilai US$1 miliar setara Rp15 triliunan). 

Bisa dikumpulkan dari 'sedikit-sedikit menyisihkan' fee dana kompensasi BBM yang sampai hampir Rp500 triliun, pembangunan IKN Rp400 triliun, kereta cepat Rp100-an triliun, pengelolaan dana JHT Rp300 triliun, pengelolaan dana haji, mengutip fee dari penerbitan izin/konsesi tambang, mengutip dari biaya PLN membeli listrik dari pembangkit swasta konglomerat yang kontraknya model TOP (take or pay) sampai puluhan tahun, ngembat dana subsidi/bansos, mencari spread dari jual-beli surat utang negara, modus berinvestasi melalui Lembaga Pengelola Investasi/LPI (ada Rp75 triliun di situ per tahun) dan sebagainya.

Selama tak ada perhatian terhadap duit-duit liar itu, yang diinisiasi pengawasannya oleh masyarakat yang makin tercerahkan, siapapun yang terpilih akan menjadi serigala pemangsa yang disetir raja-raja hutan.

Seperti sekarang!

Salam.

Sumber:
halaman Agustinus Edy Kristianto (AEK) di Facebook.
AEK adalah jurnalis dan penggiat media sosial

Judul oleh redaksi

Tags