Laki-Laki yang Hilang, Dilema Nama Jawa di Suriname
![]() |
Pekerja kontrak Jawa turun dari kapal di Suriname, diperkirakan tahun 1920. Barang bawaan dibawa dalam tikar anyaman, keranjang, dan koper. |
tanjakNews.com, TEMPO DOELOE --Pada rentang tahun 1890 sampai 1939, tercatat 32.956 tenaga kerja asal Pulau Jawa dikirim ke Suriname.
Mereka dikirim untuk membantu kekurangan pekerja di perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan itu terjadi karena dihapuskannya sistem perbudakan pada 1 Juli 1863. Akibatnya, jumlah pekerja berkurang dan banyak perkebunan yang jadi tidak terurus. Padahal, perekonomian Suriname bergantung pada sektor perkebunan itu.
Suriname adalah wilayah jajahan Belanda. Suriname atau Surinam, secara resmi bernama Republik Suriname (bahasa Belanda: Republiek Suriname) di kawasan Amerika Selatan yang beribu kota di Paramaribo.
Berdasarkan data Worldometers, total penduduk Suriname per 16 September 2020 mencapai 587.727 jiwa. Komposisi agama yang dianut rinciannya adalah Hindu (27,4%), Protestan (25,2%), Katolik Roma (22,8%), Islam (19,6%), termasuk Javanisme dan Animisme yang diakui pemerintah. Sementara mata uang yang digunakan adalah Suriname Dollar (SRD). Kemudian, etnis suku antara lain adalah Hindustan (37%), Kreol (31%), Jawa (15%), Marrons (10%), Amerindian (2%), China (2%), bangsa kulit putih (1%), dan lainnya (2%).
Dulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Prancis di timur dan Guyana di barat.
Suriname mulai dikenal sejak abad ke 15, ketika bangsa-bangsa Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazone, Rio Negro, Cassiquiare dan Orinoco. Dataran tersebut awalnya oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Karibania. Guyana berarti dataran luas yang dialiri banyak sungai, dan Karibania dari kata Carib -nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut.
Dalam legenda El Dorado, Guyana digambarkan sebagai wilayah yang kaya kandungan emas, yang mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasai kawasan itu. Pada 1449 pelaut Spanyol, Alonzo de Hojeda dan Juan de La Cosa berlayar menyusuri pantai timur laut Amerika Selatan, dan Guyana berhasil dikuasai atas nama Raja Spanyol.
Selama abad ke 16 dan 17, Guyana silih berganti dikuasai Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis dan Portugal. Akibatnya, wilayah Guyana terbagi menjadi 5 bagian, yaitu Guyana Espanola (bagian dari Venezuela sekarang), Inglesa (Guyana sekarang), Holandesa (Suriname), Francesa (Cayenne), dan Portuguesa (bagian dari wilayah Brazil).
Melansir Britannica, pendudukan bangsa Barat terhadap Suriname bermula pada abad ke-16, setelah Christopher Columbus menemukan pulau ini pada 1498. Selama paruh pertama abad ke-17, gerakan kolonialisme Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis gagal karena mendapat perlawanan dari penduduk asli. Orang-orang Arawak, Karib, dan India diketahui sebagai kelompok asli yang telah mendiami Suriname selama ribuan tahun.
Pemukiman permanen pertama orang Eropa di Suriname didirikan oleh Inggris tahun 1651. Pada tahun 1667 berhasil direbut dan diserahkan kepada Belanda dengan imbalan News Amsterdam (sekarang New York City). Sejak dikuasai Belanda, Suriname berkembang menjadi koloni perkebunan subur.
Tahun 1651 Suriname direbut Inggris, sampai saat penandatanganan perjanjian perdamaian Breda tahun 1667. Dalam perjanjian tersebut, Inggris menyerahkan kembali Suriname, ditukar dengan wilayah kekuasaan Belanda di New Amsterdam, Amerika Utara (sekarang disebut Manhattan, New York, AS).
Pada 15 Desember 1954, pemerintah Belanda dan beberapa wakil dari Suriname menandatangani memorandum rencana pengakhiran penjajahan. Lalu, pada konferensi Meja Bundar tahun 1961, para wakil Suriname yang dipimpin Johan Adolf Pengel menuntut dibentuknya pemerintahan sendiri. Tuntutan itu semakin kuat dengan berdirinya beberapa partai politik (parpol).
Pada tahun 1970 diselenggarakan konferensi di Belanda untuk membicarakan persiapan pelepasan Suriname, dan menyusun kabinet yang terdiri dari wakil-wakil parpol. Tanggal 25 November 1975 Suriname menjadi negara merdeka.
Orang Jawa di Suriname
Pengiriman gelombang pertama terjadi pada tanggal 21 Mei 1980 oleh kapal SS Koningin Emma. Kapal ini diberangkatkan dari Batavia menuju Belanda.
Setelah itu barulah diberangkatkan menuju Suriname dan tiba pada tanggal 9 Agustus 1890.
Di tahun-tahun berikutnya, gelombang pengiriman penduduk Jawa ke Suriname terus terjadi. Pada tanggal 16 Juni 1894 misalnya, terdapat 582 orang yang tiba di Suriname dengna kapal SS Voorwarts. Namun waktu itu kapal melebihi kapasitas. Akibatnya ada 64 orang yang meninggal dunia dan 85 orang yang dirawat di rumah sakit.
Saat ini, orang keturunan Jawa Suriname sudah hidup turun temurun di Suriname. Saat ini adalah generasi kelima dan keenam. Populasinya mencapai lebih dari 80 ribu orang atau sekitar 13 persen dari total penduduk.
Mayoritas penduduk di negara yang berbahasa resmi Belanda tersebut adalah dari suku bangsa Hindustani keturunan India, dan orang kulit hitam dari etnis Creole serta Maroon. Sedangkan, orang Jawa menempati posisi terbanyak ketiga. Secara keseluruhan, penduduk Suriname berjumlah 591 ribu jiwa. Jumlah penduduk itu sangat sedikit dibanding luas wilayah negara Suriname yang luasnya masih lebih besar dari gabungan pulau Jawa, Madura dan Bali.
Dalam sejarahnya, orang keturunan Jawa di Suriname baru dapat menduduki posisi yang agak terpandang setelah sekitar 30 tahun kedatangannya, misalnya sebagai mandor tebu dan lurah di kawasan perkebunan, perawat, penerjemah, dan guru. Lebih lanjut, sejak tahun 1970-an, beberapa orang keturunan Jawa mulai menempuh pendidikan di Belanda dan berhasil menyandang gelar kesarjanaan dalam bidang teknik, hukum, kedokteran, ekonomi, fisika, antropologi dan sebagainya.
Dalam kancah perpolitikan, politisi keturunan Jawa di Suriname juga akktif. Sejak 1949-an berdiri partai-partai bentukan warga keturunan Jawa yaitu PBIS (Persatuan Bangsa Indonesia Suriname) KTPI (Kaum Tani Persatuan Indonesia). Dalam perkembangannya sampai saat ini, juga berdiri partai-partai Jawa seperti Pertjajah Luhur (dibaca Percaya Luhur, yang dulunya bernama Pandawa Lima), D21 (Democraten van de 21ste eeuw), NSK (De Nieuwe Stijl KTPI) dan sebagainya.
Kini keberadaan mereka senantiasa diperhitungkan dan mendapatkan tempat, dalam kabinet pemerintahan sebagai menteri, panglima angkatan bersenjata, dan jabatan lainnya. Misalnya, ada Menteri Pertanian, Ternak, dan Perikanan Hendrik Setrowidjojo, Menteri Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Fisik dan Pengelolaan Pertanahan Ginmardo Kromosoeto, Menteri Dalam Negeri Soewarto Moestadja, Menteri Pemuda dan Olahraga Ismanto Adna, dan lainnya.
Bahasa Jawa di Suriname
Melansir Radboud Universiteit, bahasa Jawa Suriname sendiri telah digunakan selama lebih dari satu abad di negara itu. Walau demikian, bahasa Jawa ini tidak benar-benar sama dengan bahasa Jawa yang biasa dipakai di Indonesia.
Tidak hanya kosa kata, tetapi juga tata bahasanya berbeda. Hal ini bisa terjadi karena orang banyak beralih antara bahasa Jawa, Belanda dan juga Sranantongo. Bahasa Jawa Suriname juga dipengaruhi oleh bahasa-bahasa tersebut.
Akibatnya, bahasa tersebut berkembang berbeda dengan bahasa Jawa di Indonesia.
Pada saat bertemu Sri Sultan HB X, peserta Javanese Diaspora di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Sabtu (22/4/2017) sempat curhat kepada raja yang juga Gubernur DIY tersebut.
Acara tersebut juga jadi ajang curahan hati (curhat) orang-orang keturunan Jawa dari berbagai negara. Tak heran kalau suasana gayeng mewarnai acara yang menjadi salah satu puncak 'Javanese Diaspora'.
Misman Valas, keturunan Jawa asal Suriname di depan ratusan peserta serta Sultan HB X ini curhat tentang namanya.
Di negaranya yang sekarang, namanya sangat aneh karena berasal dari kata 'Miss' yang berarti hilang dan 'man' yang berarti laki-laki. Jadi kalau diartikan namanya adalah 'laki-laki yang hilang'. Kontan apa yang diungkapkan Misman disambut tawa peserta lain.
“Bapakku soko Turen, nek ibuku asale soko Suroboyo ning Solo,” kata Misman. Sebagian peserta tertawa lagi karena Surabaya dan Solo adalah kota yang berbeda. Bagi Misman, bertemu dengan Sri Sultan yang telah diimpikan sejak acara diaspora sebelumnya akhirnya tercapai.
Ada juga pertanyaan yang dilontarkan peserta dan membuat Sultan HB X sulit menjawabnya. Sartini, perempuan diaspora ini bertanya ke Sultan HB X tentang apa resep cantik ala Keraton Yogyakarta. Ia juga bertanya, bagaimana pendapat tentang perempuan Jawa seharusnya dalam menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Menjawab pertanyaan tersebut Sultan akan kesusahan. “Lahir di Jakarta karo Jogja kan sejen,” sahut Sri Sultan membantu menyimpulkan jawaban pertanyaan Sartini dengan bahasa ngoko.
Editor: Oce Satria
Dari berbagai sumber