Public Transportation Stupid!
![]() |
Ilustrasi [liputan6] |
Farid Gaban
Ekspedisi Indonesia Baru
JUMLAH mobil penumpang dan sepeda motor terus-menerus naik dramatis. Meroket pula pemakaian energi (BBM) untuk menjalankannya.
Pemakaian bensin pertalite tahun ini diperkirakan mencapai 30 juta kiloliter, naik dua kali lipat dari 5 tahun lalu. Kenaikan 100%!
Tingginya jumlah kendaraan pribadi tidak hanya memicu kemacetan, stress, polusi maupun pencemaran udara. Besarnya konsumsi BBM, yang masih kita impor, menggerus devisa negara, serta memicu ketergantungan energi kepada negara asing.
Gejala di atas semestinya membawa kita kepada langkah nyata yang mendesak dilakukan: perubahan orientasi dari transportasi pribadi ke sistem transportasi publik.
Tapi, masalah genting ini nampak kurang disadari, bahkan cenderung diabaikan, oleh Pemerintahan Jokowi.
Presiden Jokowi masih asyik terus dengan obsesi mendorong pembangunan jalan tol, sistem transportasi privat yang justru merangsang pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi.
Memperkuat sistem perkereta-apian adalah solusi tepat, tak cuma untuk manusia tapi juga barang, suatu yang sudah mulai dikembangkan di Sulawesi.
Tapi, lagi-lagi karena obsesi meninggalkan mercusuar, proyek kereta cepat lah yang lebih menguras kocek negara dan perhatian politik.
Bukan hanya mahal, kereta cepat Jakarta-Bandung tidak memberi solusi pada problem mendesak transportasi dua metropolitan tadi, yang merupakan konsentrasi terpadat kendaraan pribadi di Indonesia.
Yang semestinya dilakukan adalah memperkuat dan memperluas layanan kereta yang sudah ada, seperti KRL commuter Jabodetabek misalnya.
Tapi kini justru pemerintah mengambil arah sebaliknya. Pemerintah berencana mengurangi subsidi, artinya akan menaikkan tarif KRL. "Orang kaya akan dikenakan tarif lebih mahal," kata Menteri Perhubungan Budi Karya.
Itu pemikiran yang kacau. Pernyataan itu memperkuat kesan keliru bahwa angkutan umum cuma angkutan untuk orang miskin.
Menteri Budi Karya mungkin sudah lupa bagaimana transportasi publik busway dikembangkan di Jakarta, sistem yang akhir-akhir ini membaik meski belum sempurna.
Busway ditiru dari sistem serupa di Bogota, Kolombia, tempat pejabatnya punya cara berpikir keren.
"Kota yang maju bukanlah tempat orang miskin bermimpi punya mobil, tapi tempat orang kaya naik transportasi publik." Kata-kata itu datang dari Enrique Penalosa, mantan Walikota Bigota yang berjasa mengembangkan sistem busway.
Membangun sistem seperti itu ada konsekuensinya, yang sebenarnya sudah lazim dilakukan banyak negara dan pemerintahan kota di berbagai belahan bumi. Pemerintah pusat maupun daerah harus mensubsidi angkutan publik.
Subsidi memungkinkan angkutan publik tarifnya cukup murah agar yang miskin bisa menikmati; tapi sekaligus nyaman dan aman sehingga orang kaya mau memakainya.
Adalah ironi ketika Pemerintahan Jokowi berencana mengurangi subsidi transportasi publik seperti KRL sekarang.
Padahal di lain pihak, pemerintahan sesumbar akan memberi subsidi pembelian mobil dan motor listrik untuk pribadi-pribadi.
Jangan terpukau dulu pada janji energi bersih mobil listrik.
Selama sistem transportasinya masih bersifat privat (bukan publik), mobil/motor listrik tidak akan memecahkan masalah krisis iklim, kemacetan maupun pemborosan energi.
Apalagi jika listrik yang dipakai masih dihasilkan dari pembangkit batubara yang kotor.
Belum lagi nikel untuk baterainya ditambang dengan cara merusak hutan, sungai maupun laut, sambil mempersempit ruang hidup dan penghidupan warga lokal.*