Kartu Prakerja Dilanjutkan, Ada Perubahan Skema
![]() |
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita dan Wakapolri Gatot Eddy Pramono memberikan keterangan pers . |
tanjakNews.com, JAKARTA - Meski mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan, Program Kartu Prakerja tetap akan dilanjutkan pemerintah tahun 2023 ini.
Namun dalam lanjutan ini, Program Kartu Prakerja tidak lagi bersifat semi bansos, tapi skemanya diubah menjadi skema normal. Program ini menargetkan capaian hingga satu juta penerima.
Kepastian pelanjutan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers secara virtual, Jumat (6/1/2023).
"Sekali lagi, skemanya bukan semi bansos [bantuan sosial] lagi tetapi skema normal, yang diatur dalam Perpres Nomor 113 Tahun 2022 dan pelaksanaannya oleh Permenko Perekonomian 17/2022,” terang Airlangga.
Airlangga menyampaikan, pada tahap awal dialokasikan anggaran sebesar Rp2,67 triliun untuk mencapai target sebanyak 595 ribu orang. Sedangkan untuk sisa target sebesar 405 ribu orang, pemerintah akan mengajukan tambahan kebutuhan anggaran sebesar Rp1,7 triliun.
Sejumlah penyesuaian dilakukan sejalan dengan implementasi Program Kartu Prakerja dengan skema normal ini. Salah satunya pelaksanaan pelatihan yang dilakukan secara luring, daring, maupun bauran.
Pelatihan luring akan dimulai di sepuluh provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
“Ini pelatihannya secara offline secara bertahap diawali di sepuluh provinsi dan ini pembukaan gelombang pertamanya dilakukan di triwulan I-2023,” ujarnya.
Besaran bantuan
Total besaran bantuan yang akan diterima peserta juga mengalami penyesuaian sebesar senilai Rp4,2 juta per individu. Rinciannya, bantuan biaya pelatihan sebesar Rp3,5 juta, insentif pascapelatihan Rp600 ribu yang diberikan sebanyak satu kali, serta insentif survei sebesar Rp100 ribu untuk dua kali pengisian survei.
Pemerintah juga meningkatkan batas minimal durasi pelatihan menjadi 15 jam.
Airlangga menyebut, penerima bansos dari kementerian/lembaga lainnya, seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU), Bantuan Pelaku Usaha Mikro (BPUM), dan Program Keluarga Harapan (PKH) diperbolehkan untuk menjadi peserta Kartu Prakerja yang berfokus pada peningkatan kompetensi kerja ini.
“Karena tidak lagi bersifat semi bansos, maka penerima bantuan seperti [Bantuan] Subsidi Upah, BPUM, dan PKH boleh menjadi peserta Kartu Prakerja karena itu untuk retraining dan reskilling bukan bansos lagi,” ujarnya.
Airlangga menyampaikan, implementasi skema normal ini akan menyasar sejumlah bidang pelatihan keterampilan tertentu yang paling dibutuhkan di masa kini dan mendatang. Pelatihan ini merujuk pada berbagai kajian mengenai pasar kerja mendatang dalam Indonesia’s Critical Occupation List, Indonesia’s Occupational Tasks and Skills, Studi World Economic Forum “Future Job Report”, serta Riset Indonesia Online Vacancy Outlook.
Pemerintah berharap agar berbagai lembaga pelatihan dapat berpartisipasi menjadi bagian dalam ekosistem Prakerja dengan mengikuti sejumlah asesmen dan seleksi yag telah ditentukan.
“Pemerintah juga mengajak partisipasi masyarakat dengan skema kemitraan yang merupakan [wujud] Public Private Partnership (PPP) di bidang pengembangan SDM di Indonesia,” tandasnya.
Dikritik
Ekonom Indef Nailul Huda mengkritik kebijakan program Kartu Prakerja 2023 yang menaikkan bantuan untuk pelatihan, namun mengurangi insentif uang tunai yang diterima peserta.
Ia menegaskan program bantuan yang ditujukan untuk pekerja yang terkena PHK tersebut jelas merugikan peserta.
Hal ini dikarenakan, meski nilai bantuan tahun depan naik menjadi Rp4,2 juta, namun insentif yang bakal masuk kantong peserta makin kecil dibandingkan tahun ini.
"Insentif langsung buat peserta yang berkurang menjadi catatan. Cukup merugikan bagi peserta yang (skema) sekarang ini," ujarnya kepada CNN Indonesia, Rabu (5/1/2023).
ia juga menyoroti biaya pelatihan yang naik lebih dari tiga kali lipat dari Rp1 juta menjadi Rp3,5 juta. Padahal, pelatihan dilakukan secara hybrid.
Menurutnya, jika biaya pelatihan sudah diberikan sangat besar seharusnya pelatihan dilakukan secara offline/luring. Sebab, jika dilakukan dengan online, maka sama saja memberikan keuntungan tersembunyi bagi platform pelatihan kerja.
"Kalau pelatihannya masih online, dengan biaya pelatihan Rp3,5 juta ya menguntungkan platform pemberi pelatihan secara online. Karena biaya pembuatan pelatihan cukup murah kalau untuk online. Makanya, seharusnya sih offline atau tatap muka pelatihannya," jelasnya.(Oce)