News Breaking
Live
update

Breaking News

Kisah Mualim Kapal Amerika Enterprise Ditawan Penduduk Donggala 230 Tahun Lalu

Kisah Mualim Kapal Amerika Enterprise Ditawan Penduduk Donggala 230 Tahun Lalu



tanjakNews.com -- TEMPO DOELOE -- 230 tahun lalu, tepatnya 1793, David Woodard terdampar di Ketong yang terletak di pesisir kawasan Tanjung Manimbaya, sama seperti Walandano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah 

Donggala kala itu  menjadi poros perdagangan dunia hasil bumi (hutan) cukup penting ke Eropa melalui pelayaran dan pedagang sejak abad ke 18.

David Woodard adalah Perwira Pertama kapal Amerika Enterprise berbendara Amerika  yang pada Maret 1793 ditinggalkan bersama lima awak kapal lainnya di bagian utara pantai barat Sulawesi (Celebes).

Dari sana ia memiliki pengalaman yang cukup sebagai bekal pelayaran ke kawasan Hindia Barat dan Timur.

Kisah David Woodard bermula pada 20 Januari 1793, ketika kapal dagang Amerika, Enterprise, berangkat dari Batavia (sekarang Jakarta) menuju Manila, Philipina. Setelah mengarungi lautan selama enam minggu di Selat Makassar, David Woodard, mualim utama kapal itu, beserta lima orang anak buah kapal berpisah dari kapal induknya sewaktu mereka mencari bantuan bahan makanan dengan melayarkan skoci kecil ke kapal lain.

Selama dua setengah tahun, ia dan empat orang temannya (salah seorang yang ikut dibuang bersamanya telah meninggal) terpaksa tinggal di Sulawesi karena dihalangi oleh penduduk lokal untuk kembali ke kalangan masyarakat Eropa. 

Woodard akhirnya sampai di permukiman Belanda di Makassar pada 15 Juni 1795. 

Demi nyawanya, David Woodard, Mualim Utama Kapal Enterprise berbendara Amerika yang semula hanya berkomunikasi isyarat, terpaksa belajar bahasa Melayu untuk komunikasi selama hampir tiga tahun menjadi tawanan raja Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Ketika berhasil lolos dan minta perlindungan ke Benteng Rotterdam di Makasar, dalam bahasa Melayu yang fasih Kapitan Woodard berkisah suka dukanya di hadapan Gubernur Belanda, yang menyimaknya sambil bercucur air mata.

Dari sana, ia kembali ke Eropa dan meneruskan perjalanan pulang ke Amerika melalui Batavia.

Pada 1803, ia pensiun dan mengelola sebuah peternakan di luar kota Boston.

Catatan berikut diambil dari jurnal yang ditulisnya pada Agustus 1796 di London, selama proses pelayaran pulang Woodard. Kisah keberanian dan penderitaan David Woodard diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: The Narrative of Captain David Woodard (NCDW). Jurnal ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1804.

Buku yang bisa diakses di Google book ini, masih menyebut Dunggala untuk Donggala, Parlow untuk Palu dan Priggia untuk Parigi yang kita kenal sekarang. Bisa difahami bila buku ini sulit ditemui mereka yang mencari dengan kata kunci, Dongala, Palu ataupun Sulawesi Tengah.

Sebagai seseorang yang lebih dari sekedar pengelana yang melintas di Sulawesi, ia menceritakan secara detail mengenai daerah dan penduduknya melalui sudut pandang seseorang yang hidup dan tinggal bersama penduduk lokal, walaupun pada dasarnya hal tersebut tidak dilakukannya dengan sukarela. Namun, meski ia memiliki alasan untuk tidak menyukai orang-orang Melayu karena telah menahannya sebagai tawanan di sana, ia tetap berusaha untuk memperlakukan mereka dengan penuh rasa hormat dan berupaya menghindari pertikaian. la berhasil menjalin persahabatan dengan beberapa orang dari mereka.

Hubungan dagang dan persahabatan perompak dari Mindanau dengan orang Donggala diceritakan adanya perkawinan putra bajak laut Mindanau dengan putri raja di Donggala. 


𝑷𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒍𝒐𝒌𝒂𝒍 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒊𝒌𝒖𝒕 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒎𝒎𝒂𝒅.
𝑴𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒋𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝑱𝒖𝒎'𝒂𝒕. 𝑲𝒂𝒖𝒎 𝒑𝒓𝒊𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒖𝒏𝒂𝒕- 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒅𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂-𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒖𝒌𝒂𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑲𝒓𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏. 𝑷𝒂𝒓𝒂 𝒖𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓𝒖𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒋𝒆𝒎𝒂𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒓𝒂𝒋𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂.

𝑷𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒊𝒏𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒖𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏, 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒓𝒔𝒊𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒌𝒊, 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒍𝒊𝒏𝒈𝒂. 𝑲𝒆𝒎𝒖𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒖𝒉 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒌𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒍𝒊𝒏𝒈𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏, "𝑶𝒉 𝒘𝒂𝒄𝒌𝒂𝒃𝒖𝒄𝒌! 𝑾𝒂𝒄𝒌𝒂𝒃𝒖𝒄𝒌! [𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉𝒖 𝒂𝒌𝒃𝒂𝒓! 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉𝒖 𝒂𝒌𝒃𝒂𝒓]" 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒖𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑻𝒖𝒉𝒂𝒏. 𝑺𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒕𝒖, 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒈𝒌𝒖𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒖𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒄𝒂 𝒅𝒐𝒂, "𝑶𝒉 𝑴𝒂𝒅𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒖 𝒎𝒂 𝒍𝒂! [𝑺𝒖𝒃𝒉𝒂𝒏𝒂 𝒓𝒂𝒃𝒃𝒊 𝒚𝒂𝒍 𝒂'𝒂𝒍𝒂 𝒘𝒂 𝒃𝒊𝒉𝒂𝒎𝒅𝒊𝒉𝒊]", 𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒍𝒖𝒕𝒖𝒕 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒖𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒄𝒂 𝒅𝒐𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒖𝒕𝒏𝒚𝒂, 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒖𝒋𝒖𝒅 𝒔𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒕𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒅𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉, 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒐𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍 𝒃𝒆𝒓𝒍𝒖𝒕𝒖𝒕. 𝑺𝒆𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂, 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒔𝒆𝒓𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒕𝒂, "𝑶𝒉 𝑯𝒆𝒍𝒂 𝒍𝒂, 𝑯𝒆𝒍𝒂 𝒍𝒂! [𝑳𝒂𝒊𝒍𝒂𝒉𝒂𝒊𝒍𝒍𝒂𝒍𝒍𝒂𝒉]" 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒂𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒐𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒊𝒓𝒂𝒎𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒐𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏. 𝑰𝒏𝒊 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒏𝒈𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒎, 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒂𝒓𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒕𝒂-𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒄𝒆𝒑𝒂𝒕. 𝑺𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖, 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒉𝒆𝒏𝒕𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒐𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒊 𝒅𝒐𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕  𝒌𝒆𝒅𝒖𝒂 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒔𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆 𝒘𝒂𝒋𝒂𝒉.

Tahun lalu, tepatnya Kamis (19/5/2022), Pustaka Desa Walandano menggelar diskusi sekaligus peluncuran buku klasik The Narative of Captain Woodard (Kisah Petualangan David Woodard) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kegiatan itu juga untuk meramaikan event Festival Walandano. Diskusi ini dilaksanakan di Perpustakaan Desa Walandano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala.

Diskusi tersebut menghadirkan Muh. Isnaeni Muhidin yang memprakarsai penerjemahan buku tersebut, serta pegiat literasi, Jamrin Abubakar dan pembina Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) yang juga seorang penulis, Maman Suherman, sebagai pembaca kritis. Diskusi ini disambut antusias oleh warga Desa Walandano, yang datang menyimak.

Oce Satria

Mochamad Yani
Indonesia Tempo Doeloe.
Stepanus Wilfrid Bo'do (kompasiana)
Buku:"INDONESIA TIMUR TEMPO DOELOE 1544 - 1992

Tags