Sho Bun Sheng, Cina Padang Spionase Pemberani
tanjakNews.com, TEMPO DOELOE -- Di antara banyaknya pahlawan Indonesia, salah satu nama yang tak boleh dilupakan adalah Sho Bun Sheng.
Lelaki kelahiran Kutaraja, Aceh pada 12 November 1911 itu, sejak 1937 telah ikut aktif dengan orang-orang Tionghoa Padang lainnya, untuk berjuang bersama-sama komponen lain bangsa Indonesia. Perjuangan tersebut adalah mewujudkan kemerdekaan Indonesia, melawan penjajah Belanda hingga masa pendudukan Jepang.
Suami dari Hu Chung Jing ini pada masa Revolusi Nasional Indonesia berjuang di Padang dan bergabung dengan batalion Pagarruyung, kemudian bertugas di Jawa Barat dan Kalimantan Barat.
Selain mencari senjata, tugas lelaki berbadan kecil itu adalah menjalankan infiltrasi ke organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa pro Belanda untuk kemudian melakukan “pembusukan” dari dalam dan juga bertugas sebagai "spionase".
Perjuangannya tidak banyak dikenal orang, tetapi namanya telah tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Sumatera Barat.
Sikap anti-Belanda Bun Seng bermula dari pengalaman masa remajanya di Padang pada 1926. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana polisi-polisi Hindia Belanda memperlakukan secara kejam orang-orang yang terlibat dalam Pemberontakan Malam Tahun Baru di Silungkang.
Kala api revolusi berkecamuk di Sumatera Barat, Bun Seng memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Republik pimpinan Letnan Kolonel Ismael Lengah (Pada 1955 Ismael Lengah menjabat sebagai Panglima Komando Divisi IX Banteng sebelum meletusnya peristiwa PRRI).
Karena bakat telik sandinya, Bun Seng lantas ditugaskan Ismail Lengah untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang pimpinan Mayor Kemal Mustafa. Sang komandan kemudian memberikan tugas kepadanya sebagai mata-mata.
Misi pertama Bun Seng adalah menyusup ke organisasi Pao An Tui (PAT), milisi Tionghoa yang pro Belanda di Padang.
Ia kemudian membentuk sebuah organisasi pemuda Tionghoa bernama Pemoeda Baroe. Lambat laun, kepemimpinannya dikenal banyak orang Tionghoa hingga kemudian dia didapuk sebagai ketua PAT Padang. Oleh Bun Seng, PAT Padang disetir ke arah Republik.
![]() |
Letnan Muda Sho Bun Seng (kanan) bersama koleganya, Letnan Muda Aulia Biran. |
Sebagai pemimpin pemuda Tionghoa, alih-alih akrab dengan Sekutu dan Belanda, dia malah memiliki hubungan khusus dengan para pejuang Republik di pelosok dan terlibat aktif dalam penyelundupan senjata-senjata dari kota untuk para gerilyawan Republik.
Pada Januari 1947, PAT Padang dibubarkan karena dianggap rawan digunakan untuk kepentingan Belanda. Tak hilang akal, dia kemudian bergabung dengan organisasi sipil orang-orang Tionghoa yakni Cu Hua Cung Hui. Di organisasi ini dia diangkat sebagai koordinator keamanan.
Jabatan itu menjadikan Bun Seng leluasa bergerak kemana-mana. Dengan alasan mengurusi persoalan orang-orang Tionghoa di Sumatera Barat, dia secara bebas bisa menemui simpul-simpul Republiknya. Tak jarang, Bun Seng pun mendapat tugas yang sangat pelik dan berbahaya dari para komandannya. Seperti pada suatu hari pada tahun 1948, beberapa bulan sebelum militer Belanda melakukan agresi-nya yang kedua.
Letnan Kolonel Abdul Halim termasuk salah satu gerilyawan Republik yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menyalurkan “emas hitam” itu. Dia kemudian meminta kepada Bun Seng agar barang-barang itu bisa ditukar dengan senjata. Bagaimanapun caranya.
Seperti biasa, Bun Seng menerima tugas itu. Bekerjasama dengan sebuah kesatuan TNI dari Kompi Bakapak dan suatu seksi Hizbullah pimpinan Letnan Samik Ibrahim, dia menjual puluhan kilogram candu itu ke pasaran gelap dan sukses menukarkannya dengan senjata-senjata berbagai jenis. Selain senjata, uang hasil penjualan itu pun dibelikan berbagai keperluan logistik para gerilyawan Republik.
Aktifitas berbahaya itu terus dijalani Bun Seng hingga Indonesia mencapai kedaulatannya di mata Belanda pada 27 Desember 1949. Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat, Letnan Muda Sho Bun Seng sempat ikut dikirimkan oleh kesatuannya untuk ikut menumpas pemberontakan tersebut.
Usai tugas selesai, Bun Seng tidak ikut pulang bersama pasukannya ke Sumatera Barat. Dia memutuskan untuk mengelola sebuah toko kecil di Muara Angke, Jakarta Utara dan membentuk sebuah keluarga. Ia menikah dengan Hu Chung Jing di Padang.
Sho Bun Seng pensiun dari TNI AD dengan pangkat Pembantu Letnan pada tahun 1958. Tahun yang sama, ia mendapatkan Surat Tanda Djasa Pahlawan dari Presiden Sukarno atas jasanya dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan negara.
Sho Bun Sheng baru mengurus pensiunnya tahun 1967, itupun karena desakan rekan-rekan seperjuangannya.
Baru tahun 1968 keluar rapel pensiunanya yang bernilai jutaan, dari nilai jutaan itu, yang diambilnya hanya beberapa ratus ribu. Sebagian besar lainnya dibagi-bagikan kepada rekan-rekannya.
Jiwa sosial dari So Bun Seng terus dilakukan sampai akhir hayatnya. Ia meninggal pada bulan September 2000. Keluarga tak menyangka jika almarhum dijemput pasukan kehormatan dan secara militer dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, padahal semula sudah disiapkan makam di suatu TPU. (Oce)
Sumber :
Majalah Sinergi, No.34, September 2001
Wikipedia