News Breaking
Live
update

Breaking News

Seputar Kata ‘Munaslub’ Partai Golkar

Seputar Kata ‘Munaslub’ Partai Golkar

  

Oleh Indra J Piliang
Ketua Biro Kaderisasi dan Keanggotaan 
DPD Partai Golkar DKI Jakarta

TUJUH bulan menjelang pelaksanaan pemilu dan pilpres 2024, Partai Golkar tampak bergejolak. Yang menjadi pemicu, Rapat Pleno VIII Dewan Pakar Partai Golkar yang dihelat tanggal 9 Juli 2023. Tiga rekomendasi yang muncul terlihat memberikan tekanan kepada Airlangga Hartarto sebagai penerima mandat Munas Partai Golkar 2019 untuk menjadi Capres. Sayang sekali, rekomendasi yang bersifat ‘surat cinta’ antar badan/lembaga yang bernaung dalam wadah Partai Golkar itu, keburu hadir di media massa. Bukan berlanjut dalam rapat koordinasi atau rapat konsultasi yang dihelat khusus, malahan berubah menjadi perbedaan tafsiran di kalangan angggota Dewan Pakar, maupun antara Dewan Pakar dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Padahal, substansi Capres itu sangat dinanti, bukan saja oleh publik, terlebih oleh kader, anggota, fungsionaris, simpatisan, maupun kawan dan lawan Partai Golkar. 

Dan yang menarik, muncul kata Munaslub atau Musyawarah Nasional Luar Biasa yang justru tak berasal dari tiga rekomendasi tertulis dari Dewan Pakar Partai Golkar.  Kata ‘Munaslub’ mencuat dari keterangan pers senior saya, Kanda Ridwan Hisjam. Tonasi dan intonasi Kanda Ridwan Hisjam memang dahsyat, ketika memberikan kata ‘Munaslub’ sebagai catatan kaki atau suplemen atas tiga rekomendasi seputar Capres yang menjadi subtansi utama, termasuk dengan cara membentuk Poros Baru. Penekanan betapa tiga rekomendasi itu punya batas waktu, yakni bulan Agustus, seolah berubah menjadi maklumat. Padahal, logika yang dibangun kanda Ridwan Hisjam lebih kearah konstitusionalitas dari putusan yang diambil dalam Munas dan menjadi keputusan Munas. Keputusan Munas atau Munaslub hanya bisa diubah lewat Munas atau Munaslub berikutnya. 

Sejauh ini, Munaslub, sering dipahami sebagai ‘kudeta konstitusional’ dalam pergantian Ketua Umum Partai Golkar dalam skala cepat. Posisi Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto yang digantikan Airlangga Hartarto, diputuskan lewat Munaslub. Tahun 1998, ajang Munaslub Golongan Karya juga yang mencopot kedudukan Ketua Umum Golongan Karya Harmoko yang digantikan Akbar Tanjung. Dalam hal ini, jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto, bakal dipertaruhkan, apabila Munaslub digelar. Begitulah yang berada dalam logika publik. Sekalipun, layak diberikan banyak catatan. 

Ketika Airlangga Hartarto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dalam Munaslub 2017, lebih tertuju kepada penyelamatan kursi kepemimpinan partai. Sementara, Munaslub yang muncul tahun 2023 ini, lebih terarah kepada upaya machtsvorming, jika mengutip Sukarno, ketika tatanan kekuasaan periode 2024-2029 sedang ditata, dilarung, dan direbut.  Preseden Munaslub ini sama sekali tidak terjadi, manakala Ketua Umum DPP Partai Golkar 2009-2014 Aburizal Bakrie tak berhasil membentuk koalisi guna maju dalam Pemilihan Presiden 2014. Pasalnya, keputusan untuk mengusung Bang Ical sebagai Calon Presiden tidak masuk dalam ketokan Palu Sidang Munas Partai Golkar Riau 2009 yang dipimpin oleh Fadel Muhammad.   

Munaslub, juga berarti rekonsiliasi. Kalau contoh yang diambil adalah Munaslub Partai Golkar 2016 yang diselenggarakan di Bali. Sejak tahun 2014, Partai Golkar terbelah menjadi dua kepengurusan, yakni hasil Munas Bali dan Munas Ancol. Partai Golkar betul-betul mengalami kemerosotan dalam banyak hal. Munaslub 2016 menjadi ajang bagi seluruh elemen partai guna menjahit lagi kebersamaan. Pemilihan Ketua Umum hanya satu, dari sekian agenda. Jadi, selain Akbar Tanjung (1998) dan Airlangga Hartarto (2017), Setya Novanto juga terpilih lewat ajang Munaslub (2016). Dalam tiga ajang Munaslub itu, sama sekali belum ada agenda yang jauh ke depan, seperti pencalonan sebagai presiden. 

Dewan Pakar Partai Golkar sendiri lahir dari hasil Munaslub. Semula, Dewan Pakar berada dalam lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) DPP Partai Golkar. Balitbang merupakan organ struktural yang bersifat koordinatif dengan Bidang Kajian dan Kebijakan DPP Partai Golkar. Ketika saya menjadi Ketua Balitbang DPP Partai Golkar (2010-2014), Ketua Dewan Pakar dijabat oleh Ir Siswono Yudhohusodo. Hasil Munaslub Bali 2016 menjadikan Dewan Pakar sebagai organ terpisah dengan DPP Partai Golkar. 

Nah, ketika Kanda Ridwan Hisjam menyebut dirinya sebagai anggota termuda Dewan Pakar Partai Golkar sekarang, dalam jenjang usia 65 tahun, tentu saya berhak melakukan veto. Sebab, saya menjadi anggota Dewan Pakar Partai Golkar sejak 2016 sampai 2019. Usia saya baru 44 tahun ketika masuk sebagai anggota Dewan Pakar. Itupun dengan banyak sekali pengorbanan. Satu yang terpenting adalah surat yang dikeluarkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara kepada sejumlah menteri dan gubernur yang berisikan peninjauan status saya sebagai Panitia Seleksi Pejabat Eselon Satu dan Dua. Selama lebih dari satu setengah tahun, saya ditugaskan sejumlah menteri, kepala badan/lembaga, atau gubernur, menjadi Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Madya dan Pejabat Tinggi Pratama, selain sebagai Ketua Tim Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI. Sekalipun saya bisa saja melakukan gugatan perdata melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri, saya lebih memilih untuk tak memperpanjang persoalan. Saya memutuskan mundur dari seluruh pekerjaan profesional di pemerintahan, dan kembali kepada kehidupan sebagai politikus. 

Terkecuali satu yang saya tak mundur, sebagai anggota Tim Quality Assurance (Penjamin Kualitas) Reformasi Birokrasi Nasional Republik Indonesia yang beranggotakan delapan orang: Kepala BPKP RI, Kepala BKN RI, Kepala LAN RI, Kepala BPS RI, Kepala Arsip Nasional RI, dan tiga orang pakar, salah satunya saya. Kalau mau bicara usia muda lagi, dalam sejarah Golongan Karya, saya tercatat sebagai Ketua Badan Pelaksana Balitbang Partai Golkar termuda, 2010-2014. Sosok yang saya gantikan, Ir Haryanto Danutirto.  Usia saya baru 38 tahun saat itu. 

Supaya tidak terkesan biografis, tentu perkembangan baru dalam tubuh Partai Golkar, yakni keberadaan Dewan Pakar Partai Golkar dan Golkar Intitute, semakin membentuk partai ini menjadi moderen dan gandrung ilmu pengetahuan.  Nama Balitbang yang ‘memudar’ digantikan Dewan Pakar dan Golkar Intitute, saya anggap sebagai konsekuensi dari progresifitas. Tentu, sebagai Ketua Balitbang 2010-2014, saya bisa lampirkan apa saja legacy yang disusun oleh 45 orang pengurus. Salah satunya, fasilitator program yang terkait dengan perumusuan Visi Negara Kesejahteraan 2045. Tetapi biarlah itu nanti menjadi bahan riset bagi mahasiswa sarjana dan pasca sarjana yang ingin menulis Partai Golkar, termasuk membuat perbandingan antara kinerja Balitbang era sebelum saya, era saya, dengan Dewan Pakar dan Golkar Intitute, misalnya. 

Singkatnya, baik Munas atau Munaslub, memiliki kekuasaan konstitusional guna mengevaluasi keseluruhan produk yang dihasilkan, baik dalam bentuk perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Program Kerja, hingga Laporan Pertanggungjawaban dari keseluruhan badan/dewan/lembaga yang berada di dalam naungan Partai Beringin. Tidak semata-mata hanya seputar mandat sebagai Calon Presiden yang diiberikan kepada Airlagga Hartarto, misalnya. Munas atau Munaslub, bahkan bisa mengubah masa jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar, sebagaimana terjadi dalam Kongres Satu Abad Partai Komunis Tiongkok, misalnya. Tentu, saya punya ‘hitung-hitungan’ tersendiri, kelompok mana yang kuat, apabila Munaslub benar-benar terjadi pada Akhir Agustus atau Awal September nanti. Airlanggakah yang tersingkir, ataukah malah semakin powerful? 

Wallahu’alam 
Markas Gerilyawan, Kamis, 13 Juli 2023

Tags