News Breaking
Live
update

Breaking News

Kepulauan Seribu, Kapan Jadi Kota?

Kepulauan Seribu, Kapan Jadi Kota?



Oleh Indra Jaya Piliang
Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

Pulau Madura berpenduduk lebih dari 4 Juta jiwa. Sementara 11 pulau Kepulauan Seribu, baru dihuni sekitar 24.000 jiwa. Uniknya, dari empat wilayah administrasi pemerintahan di Pulau Madura, belum satupun yang berstatus Kota. Bangkalan, Pamekasan, Bangkalan, dan Sampang, adalah pemerintahan kabupaten. Begitu juga Kepulauan Seribu, masih berstatus Kabupaten.

Apa artinya?

Dari sisi pekerjaan, penduduk kabupaten masih bergulat dengan bidang agraria dan perikanan, atau paling banter perkebunan dan pariwisata. Itupun masih tradisional, belum lagi beranjak menjadi petani dan nelayan moderen. Untuk berganti status menjadi kota, diperlukan jenis pekerjaan lain, seperti perbankan, industri, bisnis, jasa, atau wisata yang sudah moderen. Soal kepadatan penduduk tentu menjadi ukuran juga, sekalipun bisa diperdebatkan dalam ukuran pulau. 

Hingga kini, saya masih belum ‘berhasil’ meyakinkan beragam pihak tentang pentingnya upaya ‘besar-besaran’ guna menjadikan salah satu kabupaten di Pulau Madura naik status menjadi kota. Atau, ‘memunculkan’ satu kota baru dari gabungan minimal tiga kecamatan di area yang paling tinggi skornya. Untuk Pulau Madura, saya lumayan sering mendiskusikan itu dengan kalangan perguruan tinggi. Atau langsung menyentil tokoh-tokoh asal Madura di Jakarta. 

Dari sejumlah syarat, sebut saja administrasi, kewilayahan, kependudukan, hingga rentang kendali pemerintahan, kehadiran satu kota di Pulau Madura tinggal menunggu waktu. Dengan luas delapan kali Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, tentu Pulau Madura bakal menjadi ‘pasak bumi’ bagian tengah nusantara. Yang paling sensitif tentu saja kehadiran etnis lain di luar Madura, sehingga homogenitas berubah menjadi heterogenitas. Jangankan kehadiran penduduk non Muslim, bahkan penduduk Muslim yang berafiliasi di luar Nahdatul Ulama masih kesulitan.  

Sementara, kapankah Kepulauan Seribu menjadi Kota? 

Tampaknya, masih sangat panjang waktu yang dibutuhkan. Bayangkan, dari sisi infrastruktur angkutan laut saja, bisa jadi lebih unggul era Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Jejak-jejak peradaban Eropa terdapat di sejumlah pulau di Kepulauan Seribu. Bukan saja benteng kuat seperti di Pulau Onrust, bahkan juga penjara tersembunyi bagi sosok pemberontak seperti Kartosuwirjo yang dikuburkan di Pulau Ubi, hingga makam Raja Pandita asal Malinau yang dikenal sebagai Raja Tidung di Pulau Tidung.   

Jelas sekali, era VOC yang memang satu-satunya ‘kemudi historis’ yang bisa dipegang sebagai bentuk dari Poros Maritim Nusantara terbaik, sudah menjadikan pulau-pulau di Kepulauan Seribu sebagai alas kaki dan alas permadani bagi negara-negara Eropa, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, Sumatera, hingga Kalimantan dan Jawa. Walau bukan sebagai teras utama, namun bukanlah halaman belakang, atau bahkan sekadar selokan yang dialiri air comberan. Tempat manusia buang hajat, bahkan hingga jin buang anak. Kisah Si Manis Jembatan Ancol dan hantu perempuan di Pulau Onrust, walau tidak selegendaris dan Kisah Suzanna yang berlatar Pantai Pelabuhan Ratu, sudah cukup mendedah betapa ‘sampah’-nya Pantai Utara Jakarta, bahkan pulau-pulaunya. 

Apabila tidak ada upaya yang lebih bertenaga seribu kuda lagi, butuh ratusan tahun guna menapak sebutan sebagai Kota Kepulauan Seribu. Lihat dan rasakan saja infrastruktur tol laut yang mengisi ruang laut dan pulau-pulau kecil yang meledeni sedikit saja penduduk Kepulauan Seribu. Kapal penumpang yang terbuat dari kayu dengan panas yang langsung menyengat dari ruang mesin, ketika berlayar. Sudah seringkali terjadi kecelakaan, berupa kebakaran terhadap kapal-kapal itu. Jauh lebih bagus kapal-kapal penumpang yang melayari Muara Kota Padang menuju Kepulauan Mentawai. 

Betul, terdapat kapal-kapal cepat bercat putih. Namun, berbeda tempat bersandar. Kapal kayu penumpang, berangkat dari Dermaga Kali Adem, Muara Angke, Penjaringan. Sekaligus di dermaga inilah ikan-ikan mendarat di pelabuhan terbesar Indonesia ini. Kapal putih, berangkat dari Dermaga Marina, Ancol. Kedua lokasi ini berdekatan, sekaligus berada di Kota Jakarta Utara. Pelabuhan Sunda Kelapa berada di pertengahan Muara Angke – Marina. Selian dua dermaga itu, terdapat satu dermaga penumpang lagi guna mencapai Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu di Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang. Silakan cek, jenis kapal apa yang berangkat di tiga dermaga itu. 

Tahun 1992, bersama Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Pandji Kian Santang, saya berangkat ke Pulau Ubi dan Pulau Onrust. Tentu tidak berdua, melainkan juga terdapat Riris, Agus Sutrisno, dan sejumlah senior. Kami mengawal rombongan mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah FSUI Angkatan 1992 yang baru masuk. Mahasiswinya cantik-cantik. Mahasiswanya gagah-gagah. Saya hanya mengingat, misi ini lebih menyerupai ‘penyelamatan’ the lost generation di Studi Klub Sejarah UI, yakni angkatan yang menolak inisiasi jurusan. Walau lahir dari malam hingga pagi yang dingin lewat inisiasi di Cisarua tahun 1991, saya menjadi ‘utusan’ dari Angkatan 1991 guna mengawal adik-adiknya. 

Kegiatan itu tentu ‘dibungkus’ dengan kunjungan ke Museum Bahari yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Pulau Onrust. Tentu saya masih menyimpan foto-fotonya. Karena berdagang Sate Padang di Pancoran, Glodok, setiap Sabtu – Minggu, saya merasa lebih dekat ke Pulau Onrust, ketimbang yang lain. Bahkan, guna mendapatkan ‘perlindungan langit’, saya itikaf di Masjid Luar Batang yang sepi pengunjung. Ranji turun temurun Nabi Muhammad SAW terdapat di pusara yang terdapat dalam Mesjid Luar Batang. Tentu, saya memotret keseluruhan suasana. 

Novel Negara Kelima dan Rahasia Meede dari Es Ito, adik angkat saya, sempat menangkat posisi pulau-pulau yang berada di Kepulauan Seribu, termasuk kanal-kanal dan ruang-ruang bawah tanah di Kota Batavia Lama. Terdapat peradaban yang hebat di bawah lorong-lorong itu. Reklamasi Jakarta dan Tangerang menimbun cerita dan narasi yang sudah mulai dibangun itu, minimal lewat novel, museum, hingga wisata religi dan bahari. 

Ketika Ibu Kota Nusantara sedang menunggu investor di Kalimantan sana, intuisi, naluri, serta pengalaman hidup sebagai perenang hebat di sungai, danau, kolam, hingga muara, selat, dan laut seakan tak ingin ditekan. Bukan saja muara-muara sungai di Jakarta butuh teknologi penyaringan dan pemilahan material yang hanyut dari hulu, tetapi sekaligus juga bagaimana pulau-pulau di Kepulauan Seribu butuh lebih dihargai, sebagaimana Singapura adalah negara pulau, dan itupun kecil wilayahnya. 

Jika memang butuh ratusan tahun bagi Kepulauan Seribu beralih status menjadi Kota Kepulauan Seribu dari Kabupaten Kepulauan Seribu, lewat jalan alamiah (evolusi), kenapa tidak dibutuhkan jalan yang lebih cepat lagi lewat penerabasan demi penerabasan yang bisa saja menjadi satu bentuk dari revolusi administrasi pemerintahan. Kalau jalannya pulau-pulau baru wajib dibuat, tetapi bagian dari Kepulauan Seribu, kenapa tidak? Banyak negara melakukan itu, tidak hanya satu. 

Bukankah banyak revolusi lahir dan terjadi di kawasan Kepualauan Seribu itu, bahkan di atas dan di dalam geladak-geladak kapal? Satu revolusi administratif lagi, sungguh tak berarti apa-apa… 

Markas Gerilyawan, Griya Kemayoran, Jakarta, Minggu, 25 November 2023.

Tags