News Breaking
Live
update

Breaking News

Menang Curang

Menang Curang

 

Foto: Antaranews

Oleh: All Amin

Habis pilpres terbitlah pilkada.

Membaca hasil pemilu, atau memperkirakan siapa yang bakal juara, tak bisa hanya dengan rasa-rasa saja. Mesti menyertakan logika dan matematika.

Dasarnya adalah pengolahan data. Kesampingkan dulu rasa suka, atau tidak suka.

Tentang hasil pilpres kemarin, tampak masih banyak yang bersikukuh bahwa pemilu itu curang.

Pendapat itu tentu tak sepenuhnya salah, mustahil sebuah perhelatan politik sebesar itu akan betul-betul bersih dari beragam praktik kecurangan, namun sejauh mana kecurangan itu akan mengubah hasil, ayo coba kita analisa. Kita reka-reka berdasarkan data yang tersedia.

Saya mengurainya dari perspektif seorang praktisi pemasaran. Yang bagian dari pekerjaannya adalah menganalisa potensi pasar sebelum merilis sebuah produk baru.

Prinsipnya persis sama dengan marketing politik, dasar pengambilan keputusannya bukan selera pribadi, tapi tentang sejauh mana produknya akan laku dijual.

Kerangka makronya mesti duduk dulu. Tidak boleh salah. Bila sudah benar-benar yakin. Barulah diatur langkah strategisnya.

Contoh, misalnya ketika akan meluncurkan produk: kopi untuk menambah keperkasaan pria.




Sebelum produknya dirilis, positioningnya mesti putus dulu. Apakah jenisnya minuman peningkat stamina yang bercita rasa kopi, atau produk kopi yang memiliki efek afrodisiak. Mesti dipastikan dulu DNA-nya. Beda penempatan, beda ceruk pasar. Dari situ nanti baru bisa diperkirakan sebesar apa potensi pasar yang akan bakal didapat.

Sekarang, coba kita baca pelan-pelan, dari sisi besarnya pasar, apakah benar hasil pilpres kemarin adalah murni buah dari kecurangan?

Membacanya mesti jernih, jangan baperan.

Pertama: modal dasar.

Pak Prabowo sudah tiga kali menjadi capres. Pada dua pemilu sebelumya raihan suaranya rata-rata 45 persen. Tentu itu jadi modal elektabilitas yang besar sekali. Katakanlah, ketika Prabowo memilih masuk ke dalam Kabinet Presiden Jokowi menyebabkan suara itu akan tergerus. Sebab banyak yang kecewa. Anggaplah habis separonya. Prabowo masih punya basis pasar di atas 20 persen.  Dari jumlah pemilih nasional.

Pak Anies menang pilkada DKI, jadikan pula itu modal suara beliau. Pun begitu Pak Ganjar, pemilih beliau ketika menang pilkada Jateng kita posisikan sebagai modal dasar elektabilitas Ganjar Pranowo.

Dari ini saja kalau kita hitung, modal suara Pak Prabowo jauh lebih banyak. Kalau tidak percaya, silakan hitung sendiri. Bandingkan jumlah 22 persen dari jumlah pemilih nasional, dengan 60 persen suara pemilih DKI, dan 60 persen suara Jawa Tengah. Selisihnya jauh amat. Bumi dan langit.

Kedua: migrasi pasar Jokowi.

Letak hebatnya juga pada penempatan positioning di titik ini. Ups, pasti ada yang langsung memvonis curang, ya. Sebentar. Sabar dulu.

Kita balik dulu ke setahun silam, masa menjelang pencapresan. Coba lihat approval rating Presiden Jokowi. Kepuasan publik terhadap kinerja Pak Jokowi tinggi sekali. Pernah mencapai 82 persen pada survei di bulan Mei 2023.

Data-data itu dipublikasi oleh beberapa lembaga survei. Dengan tingkat kepuasan publik setinggi itu, seandainya Pak Jokowi maju lagi menjadi capres, dipastikan akan menang telak.

Approval rating merupakan sebuah data yang dihitung berdasarkan metodologi ilmiah. Namun, bagi yang alergi dengan model-model survei itu, yang menganggapnya merupakan penujuman, ya, sudah. Jangan dipaksakan untuk percaya.

Pun boleh pula berhenti membaca tulisan ini. Sampai di sini. Khawatir nanti alerginya kumat.

Di sinilah letak ketajaman intusi politik seorang politisi senior sekelas Prabowo Subianto. Beliau konsisten mengasosiasikan diri dengan Pak Jokowi dari awal. Pada mulanya Jokowi efek ini terbagi dua. Antara Pak Ganjar dan Pak Prabowo. Sehingga pasar fanatik Jokowi yang sangat besar itu terpecah dua.

Belakangan Ganjar Pranowo dan PDIP memilih jalan bersebrangan dengan Jokowi. Mereka kuat-kuatan. Pak Ganjar tetiba kritis pada pemerintahan Jokowi. Maka terjadilah pembelahan pendukung. Maka terpisahlah pendukung Ganjar dengan Jokowi.

Pergerakan angka sebelum dan sesudah Pak Ganjar memilih jalan sendiri bisa ditelusuri.

Lalu, kita lihat langkah Pak Anies. Beliau dengan lantang menyuarakan perubahan. Jelas-jelas beroposisi dengan pemerintahan. Hitam putih. Anies Baswedan menawarkan diri sebagai antitesis rezim Jokowi.

Dengan posisioning yang jelas itu, maka hampir sebagian besar pemikiran yang beroposisi masuk ke dalam klaster Pak Anies.

Namun, apa mau dikata, kelompok Pak Anies kalah jumlah. Pemenangnya adalah yang mendapatkan suara terbanyak.

Beliau menggaungkan gagasan perubahan pas bersamaan waktunya dengan tingginya kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi.

Pak Anies berusaha membelokkan arus air yang sedang deras. Gagasannya hebat, tapi mungkin momennya yang kurang tepat. Waktu sedang tak berpihak pada Pak Anies.

Sudah tampak tiga waduk besar yang berbeda jenis airnya. Air tawar, air laut, dan air payau.

Lalu ada sedanau ikan milik Pak Jokowi yang mesti segera dipindahkan wadahnya.

Pertanyaannya, ke mana kelompok besar itu akan bermigrasi?

Bila berlogika tanpa syak wasangka, pertanyaan itu tak terlalu sulit untuk dijawab.

Faktor Gibran, kucuran bansos, dan beragam dinamika utak-atik intervensi dalam proses pemilu, itu ibarat rambu-rambu petunjuk saja. Serupa lampu jalanan. Sejatinya, dua kelompok besar itu merupakan status quo. Tinggal menyatu di satu wadah.

Sekarang tinggal dijumlahkan; pasar fanatik yang setia kepada  Pak Prabowo sejak sepuluh tahun silam, digabungkan dengan orang yang puas dengan kinerja Pak Jokowi yang tercermin pada approval rating yang tinggi itu. Lalu hasilnya menjadi kemenangan 58 persen. Atau kisaran 96 juta suara.

Rasanya tak perlu ketepatan menghitung seorang Profesor matematika, kalau hanya untuk sekadar mengira probabilitas keseuaikan angka-angka itu. Atau kedalaman pemikiran seorang filsuf, untuk menalar hubung kait logikanya.

Namun, pastilah tetap banyak yang  tak sependapat. Tak mengapa, setiap kita punya argumentasi sendiri-sendiri.

Saya kira, kata "curang" tetap bisa jadi mantra pamungkas untuk mementahkan semua uraian di atas. Kata "curang" memang terbukti sakti.

Pun pada pilkada yang sebentar lagi menjelang. Para bakal kandidat dan calon kelompok pendukung sudah saling intip. Siapa mau berdiri di mana.

Strateginya juga bebas memilih, mau sekadar memakai perawangan rasa-rasa. "Lai rasa-rasa ka iya."

Atau berkenan mengukur dan mendesain kerangka makronya menggunakan logika dan matematika.

Semua boleh. Toh, kalau nanti kalah, tinggal berteriak lantang, sambil mengepalkan tangan; Curang!


Tags