All Amin: Strategi Samudra Biru
JUDULNYA mengopi judul buku. Blue Ocean Strategy.
Saya selalu cenderung mengindonesiakan. Bukan terkait kentalnya nasionalisme. Karena memang tak fasih berbahasa Inggris.
Bila dipaksakan, cengkoknya terdengar janggal. Mungkin sebab kadar garam lidah ini sudah di ambang batas. Karena dari dulu terlalu sering mengecap ikan asin.
Saya lupa, telah berapa kali membaca buku itu. Pun lupa pula di mana menaroknya.
Kemarin teringat nak membacanya kembali.
Begitu rak buku dibuka, teringatnya malah kisah Nabi Sulaiman, yang diketahui telah wafat, sebab tongkatnya sudah dimakan rayap.
Sepertinya selemari lagi buku-buku mesti diikhlaskan, tampak bersuka cita sekoloni rayap mengerogotinya. Biarlah.
Tinggal mencoba mencari-cari folder dalam kepala. Apa yang tersimpan, terkait isi buku itu. Sedapatnya.
Strategi samudra biru merupakan upaya keluar dari persaingan lautan merah yang berdarah-darah untuk menciptakan pasar baru. Membuat cara bersaing yang berbeda. Kalau tidak salah, kesimpulannya kekira begitu.
Rasanya iya. Mau ditanyakan ke rayap-rayap itu, mereka pasti hanya memakan kertasnya. Tak turut membaca isinya.
Dalam konteks bisnis. Perang harga itu termasuk lautan merah. Ujungnya keuntungan makin tipis. Pekerjaan makin berat. Melelahkan.
Maka dibutuhkan konsep-konsep pemasaran kreatif. Untuk menuju samudra biru. Keluar dari kerumunan. Menyisih dari kelaziman.
Beli 10 jual 12 itu lazim. Beli 10 jual 15 masih lazim. Beli 10 jual 32 itu baru tak lazim. Itu baru bisa bersua di samudra biru.
Untuk keluar dari lautan merah menuju samudra biru ada langkah-langkahnya. Ada jalannya. Langkah itu pun saya lupa.
Tapi, tak mengapa, saya mau coba menelaah sendiri. Toh, kalau jalan itu sudah diketahui banyak orang. Maka akan menjadi ramai. Tempat yang tadinya biru, pun akan berubah menjadi merah. Berubah menjadi sesak.
Saya sedang menyisir ranah yang berbeda. Area yang selama ini sekadar saya amati dari jauh, sekarang mencoba menilik agak dekat.
Sedekat, sampai tangan ini bisa merasakan denyut nadinya. Sementara saya menyebutnya dengan belantara politik lokal.
Diksi "belantara" itu saya kutip dari istilah seorang kawan yang sudah khatam di habitat itu.
Yup. Saya pun sudah menemukan lautan merahnya. Area berdarah-darahnya. Episentrum tempat berkumpul sebagian besar pemainnya. Mazhab sebagian besar penganutnya.
Semoga saya tak salah mengilustrasikan dengan kalimat sederhana: Kemenangan berbanding lurus dengan ketersediaan uang.
Di situ ada kepercayaan, bahwa duit adalah keajaiban dunia yang pertama.
Menanamkan keyakinan bahwa ada samudra birunya, menurut saya adalah langkah awal untuk keluar dari situ.
Pasti ada beyond of money.
Pasti ada cara lain yang tak terlalu mendewakan kekuatan uang.
Saya teringat sebuah dialog dalam film. Judul filmnya saya lupa. "Bila terjebak dalam hutan tanpa peralatan apa-apa, maka naiklah ke atas pohon, atau ke tempat tertinggi, agar dapat melihat hutannya secara utuh."
Agar ujung labirinnya tampak.
Menelusuri jalan berliku menemukan samudra biru tentulah tak mudah. Namun, hanya itu pilihannya, kecuali siap kuat-kuatan di lautan merah yang beradarah-darah.
Keduanya sama-sama membutuhkan keyakinan kuat, kesungguhan, dan sama-sama berisiko gagal.
Ini bukan tentang jalur salah benar. Tapi tentang seni memilih jalan dalam menggapai tujuan.
Menemukan jalan pertukaran nilai dengan alat ukur selain uang. (All Amin)