News Breaking
Live
update

Breaking News

Seruas Cerita Tentang Tricita

Seruas Cerita Tentang Tricita



tanjalNews.com --- Menaikkan patok dari standar yang sudah berlangsung lama, merupakan sebuah urgensi. Bila tolok ukurnya tetap sama, jauh panggang dari api akan terjadi lompatan eksponensial. Akan selalu begini-begini saja. Terus dimabuk bayang-bayang.

Seorang Kepala Daerah wajib memiliki kemampuan manajerial yang hebat dalam hal tata kelola keuangan daerah. Mampu mengatur alokasi anggaran. Memiliki sistem kontrol yang berlapis guna mengantisipasi terjadinya rasuah. Bagus. Tapi, itu terlalu standar. Biasa-biasa saja. Belum wow.

Sebab, sistem yang tersedia sudah canggih. Bisa autopilot. Siapa pun yang duduk di situ, pasti mampu untuk sekadar melakukan pengelolaan rutin.

Bila tak mengantongi gagasan yang baru dan hebat menjelang masuk, maka selama menjadi Kepala Daerah, ia tak akan banyak membawa perubahan. Berlalu begitu saja.

Kalau kemampuan manajerial itu dikategorikan sebagai bekal, maka bobotnya hanya sepertiga.

Ilustrasinya; serupa dengan seorang bapak yang membiayai keluarganya dengan penghasilan berupa gaji, sebesar satu koma dua juta rupiah per bulan.

Tiga perempat dari uang itu habis untuk kebutuhan primer. Membeli beras, biaya lauk-pauk, bayar listrik, kuota internet, dsb.

Sisa seperempatnya, dibagi-bagi untuk kebutuhan pokok yang berikutnya; pakaian, biaya pendidikan, perawatan rumah, biaya tak terduga, dll.

Dari ilustrasi itu tergambar, bila kemampuan si bapak hanya mengelola pendapatan yang ada, maka pertanyaannya:

Dari celah mana peluang perubahan akan bisa masuk?

Tak ada celah. Tertutup peluang untuk perubahan signifikan.

Menurut Albert Einstein, salah satu bentuk kegilaan, ketika melakukan hal yang sama secara terus menerus, lalu mengharapkan hasil yang berbeda.


Maka perlu kemampuan sepertiga yang kedua. Bapak itu mesti memiliki cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Agar ada tambahan pemasukan.

Dalam konteks Kepala Daerah, bila kita menggunakan terminologi pemasukan. Maka pemasukan utamanya adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Jatah uang belanja dari Pemerintah Pusat.

Posisinya serupa dengan bapak yang bergaji satu koma dua juta itu. Mau diputar-putar seperti apa pun, sama saja. Tak akan cukup.

Kecukupan hanya untuk segelintir orang yang berada pada episentrum perputaran uang. Yang banyak lainnya; menonton sambil menggigit jari.

Bagi Kepala Daerah langkah sepertiga kedua itu, adalah kemampuan menjemput celah-celah kucuran dari belanja negara. Pelobian ke Pemerintah Pusat guna mendapatkan jatah kue dari APBN.

Guna menutupi beragam kekurangan yang belum terpenuhi oleh pendapatan pokok tadi. Berfungsi sebagai pemasukan tambahan.

Sepertiga yang terakhir adalah berupaya menggerakkan aktivitas ekonomi untuk pemenuhan semua kebutuhan. Boleh jadi menghasilkan lebih.

Di sinilah jurus pamungkasnya. Jurus yang membutuhkan  kejelian untuk menemukan beragam potensi dalam tumpukan kerumitan.

Bila tetap memakai contoh bapak yang bergaji satu koma dua juta di atas. Maka ia mesti mampu mengkaryakan beragam potensi yang ia miliki, apakah potensi anggota keluarga, potensi letak tempat tinggal, untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi yang besar.

Semua uraian di atas berkaitan dengan pilar pertama Tricita.

I. Ekonomi Tumbuh dan Berkeadilan.


Pemerintah Daerah tidak akan mampu berjalan sendiri dalam membangun masyarakatnya. Sebab kemampuannya terbatas. Serupa dengan bapak yang bergaji satu koma dua juta tadi.

Keterbatasan itu mesti dikejar dengan kemampuan Kepala Daerah untuk menyakinkan kelompok-kelompok di dalam masyarakatnya untuk berkolaborasi melakukan beragam aktivitas ekonomi.

Sepertinya tinggal itu satu-satunya jalan.

Beragam aktivitas ekonomi itulah nanti yang berbuah pada pertumbuhan. Yang menjadi cikal bakal pemerataan kesejahteraan. Sebagai jawaban atas persolan yang paling fundamental dalam masyarakat. Kemiskinan.

Skema-skema aktivitas ekonomi yang berbasis kerakyatan itu banyak tersedia. Banyak pula yang bisa dilakukan.

Masyarakat luas yang paham dan berkenan terlibat pun akan banyak.

Tinggal mencocokan antara ketersedian sumber daya dengan kebutuhan pasar.

Kunci utamanya ada di: Pemahaman dan kemauan Kepala Daerah untuk menggerakkan itu.

Bila paham dan serius mengerjakan, pasti bisa!

Sebab Pemerintah Daerah memiliki perangkat infrasturuktur untuk menggerakkan serta punya kekuatan untuk mengintervensi.

Aktivitas ekonomi kerakyatan akan tumbuh. Bonusnya bagi Pemerintah Daerah bisa mendapatkan pemasukan berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD).

II. Pendidikan Membentuk Insan Paripurna

Pendidikan dapat mengubah peradaban. Sejarah mengisahkan fakta, kebijakan Politik Etis Kerajaan Belanda di Hindia Timur yang salah satunya adalah edukasi, akhirnya berbuah lahirnya Republik Indonesia.

Kebijakan politik terkait pendidikan kala itu dapat menumbuhkan pemikiran yang mampu melahirkan sebuah republik.

Karena sedemikian berdampaknya untuk arah peradaban maka kebijakan tentang pendidikan harus betul-betul mendapat perhatian khusus. Terutama Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersingungan dengan pendidikan dasar. Pondasi pemikiran.

Bicara pendidikan tentu tidak sekadar tentang proses belajar mengajar di dalam ruangan kelas. Tapi pendidikan secara komprehensif. 

Pendidikan formal dan non formal, pendidikan dalam keluarga, pendidikan dalam masyarakat, termasuk keteladanan dari para pemimpin, semuanya saling mempengaruhi.

Output proses pendidikan adalah pemikiran manusia beserta sikapnya.

Ketepatan dalam merumuskan dan merealisasikan konsep pendidikan secara totalitas akan berpotensi melahirkan generasi-generasi terbaik. Insan paripurna. Di mana kualitas intelektual, emosional, dan spiritualnya bagus.

Seorang Kepala Daerah memiliki peran penting dalam menentukan arah kebijakan itu.

III. Masyarakat Harmoni dalam Bingkai Adat dan Tuntunan Syariat.

Ketika ekonomi tumbuh baik, maka tingkat kesejahteraan turut membaik. Jumlah kelas menengah bertambah. Bila situasi itu dibarengi dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia, dengan sendirinya keteraturan dalam tatanan sosial pun turut membaik.


Tatanan sosial dalam kultur masyarakat Minangkabau dipayungi oleh tiga aturan yang saling menguatkan.

Pertama tentulah hukum positif yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua ada aturan adat, yang mewarnai tatanan kehidupan dalam bingkai kebudayaan yang berlaku secara turun temurun. Ketiga ada tuntunan syariah Islam, yang menjadi rujukan spiritual, selain perihal hablun minannas juga hablun minallah.

Ketiga payung ini mesti saling melingkupi. Bisa jadi di beberapa titik terdapat irisan warna, namun mesti saling melebur dan menyiratkan keindahan. Seperti pelangi.

Merawat keharmonian itu merupakan sebuah keharusan. Ikhtiar seluruh lapisan masyarakat Minangkabau yang menjadi tuan rumah Provinsi Sumatra Barat tampak terus bahu-membahu menuju ke situ.

Terelisasinya babaliak kanagari, beragam upaya implementasi dari slogan ABS SBK yang tak putus-putus, dsb.

Salah satu jalan untuk dapat merawat keharmonisan adalah seragamnya semangat kebersamaan para pemimpin. Pemimpin formal di Pemerintahan, Pemuka Agama, serta para Pemangku Adat.

Dalam upaya mewujudkan konsep Tricita, maka ketiga pilarnya mesti sama-sama berdiri kokoh.

Pilar ekonomi berkeadilan. Pilar pendidikan untuk membentuk insan paripurna. Serta pilar masyarakat yang harmoni bingkai adat dan panduan syariat. Dan sosok yang memegang peran paling penting dalam menjaga dan menguatkan ketiga pilar itu adalah Kepala Daerah. Dialah Sang Pemimpin.

Tricita. Tiga Pilar Mahakarya.

Dibalun sabalun kuku, dikambang saleba alam.

Oleh: Tim Perumus
H. Irwan Sutan Rajo Endah
Menuju Bupati Solok 2024

Tags