News Breaking
Live
update

Breaking News

Transisi Energi dan Persaingan Kendaraan Listrik Dunia

Transisi Energi dan Persaingan Kendaraan Listrik Dunia



Arcandra Tahar

SALAH satu inisiatif yang disepakati oleh pegiat lingkungan dan pemimpin dunia untuk mengatasi perubahan iklim (climate change) adalah mendorong penggunaan kendaraan Listrik (Electric Vehicle – EV) yang lebih banyak. Harapannya, kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM)  sebagai penyumbang emisi karbon dapat digantikan EV secara perlahan.

Ide mulia ini tentu patut kita dukung, mengingat anomali-anomali iklim bumi yang semakin sering terjadi. Seperti Texas yang dilanda badai salju hebat tahun 2021 yang sebelumnya belum pernah terjadi. Biasanya salju di Texas hanya ringan-ringan saja dan terjadi dalam hitungan hari. Tapi tidak untuk tahun 2021. Dimana temperatur terendah sepanjang masa terjadi pada saat itu. Akibatnya jutaan rumah tanpa listrik (black-out) dan tentu tanpa pemanas juga bagi rumah yang menggunakan listrik sebagai sumber energi panasnya.

Kembali ke topik tentang EV ini, Amerika Serikat (AS), Eropa dan Jepang adalah negara-negara yang sudah sangat maju dalam memproduksi kendaraan BBM. Ekosistem yang terbentuk mulai dari industri logam dasar, perakitan sampai ke pemasaran sudah mereka kuasai dengan baik. Tapi tidak untuk EV. Tiga negara itu sangat bergantung ke China terutama untuk baterai dan komponen elektronik. 

Kenapa hal ini bisa terjadi? Beberapa petunjuk yang mungkin bisa menjawab adalah pertama mineral strategis seperti tembaga (copper), nickel, cobalt, lithium, manganese, graphite dan rare earth elements banyak dikuasai oleh China. Seperti  kita tahu kendaraan listrik membutuhkan enam kali lebih banyak mineral strategis dibandingkan dengan kendaraan BBM. Tentang mineral strategis ini sudah pernah kami tulis sebelumnya.

Petunjuk kedua adalah transfer of knowledge yang secara terpaksa atau sukarela dilakukan oleh beberapa merek mobil terkenal seperti Volvo, BMW, Tesla dan MG. Merek-merek mobil ini sudah diproduksi di China baik itu dalam bentuk kerja sama maupun lewat penguasaan kepemilikan dari perusahaan tersebut. China mengambil keuntungan dengan cara belajar dari hadirnya merek mobil kelas dunia ini dan perlahan namun pasti akhirnya bisa membuat mobil dengan merek sendiri. Dengan sangat cerdik, China mengembangkan EV dan menghindari bersaing secara langsung dengan kendaraan BBM yang diproduksi guru mereka.

Petunjuk ketiga adalah China berhasil membuat baterai dengan kualitas tinggi dengan harga yang kompetitif. Tentu ini tidak mengherankan mengingat penguasaan dari mineral strategis mulai dari penambangan bahan dasar (raw material) sampai ke pengolahaan sudah dilakukan oleh China. Salah satu pabrik baterai China, CATL menguasai 34% market share dunia, mengalahkan LG dan Panasonic.

Petunjuk keempat adalah investasi China untuk R&D kendaraan Listrik yang sangat besar. Pada tahun 2023, China membelanjakan tidak kurang dari USD 32 milyar untuk R&D kendaraan Listrik dan ini mewakili sekitar 15% dari belanja R&D dunia untuk EV. Apa yang diinvestasikan oleh China untuk R&D berbuah manis dengan begitu tergantungnya negara lain terhadap baterai dan komponen elektronik pendukung buatan China.

Lantas bagaimana Eropa dan AS menyikapi perlombaan untuk membuat bumi lebih bersih lewat kendaraan Listrik ini? Apakah niat baik ini bisa berjalan tanpa melihat aspek bisnis dan geopolitik dunia selama emisi karbon bisa kita kendalikan secara bertanggung jawab? 

Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita lihat respon AS dulu. Bulan Mei 2024, pemerintah AS lewat Presiden Biden menaikan tarif impor atas kendaraan Listrik China dari 25% menjadi 100%, sementara tarif impor untuk baterai naik dari 7.5% menjadi 25%. Ini dilakukan untuk membendung produk EV dan baterai China masuk ke AS dengan harga yang lebih murah dari produk dalam negeri AS.

Eropa mengambil langkah yang sama dengan AS yaitu menaikkan tarif impor untuk baterai dari 10% menjadi maksimum sekitar 48% tergantung jenis baterai nya. 

Kenaikan tarif ini tentu saja menjadi dilema bagi Eropa. Kenapa? Disatu sisi mereka ingin menaikan pemakaian EV dengan cara mengimpor EV dari China yang lebih murah, sementara disisi lain industri otomotif Eropa perlu dilindungi dari ancaman impor EV China.

Yang menarik untuk dicermati adalah apakah China akan membalas perang dagang ini misalnya dengan menaikkan tarif impor untuk kendaraan BBM mewah dari Eropa dan AS yang banyak  diminati di China? Bisa-bisa produser mobil Eropa dan AS kehilangan market yang besar di China.

Melihat fenomena tersebut diatas, alih-alih China, Eropa dan AS berniat untuk ikut memperbaiki perubahaan iklim, tapi justru berubah menjadi perang dagang demi keuntungan ekonomi sekarang dan masa datang. Mungkin ini bukan tontonan dan tuntunan yang baik untuk memperbaiki bumi yang lebih sehat, tapi itulah kenyataannya. Semoga transisi energi bukan hanya  gimmick semata. (*)


Tags