Cerita Mahasiswa China 80an di Amerika: Akhlak Vs Kebebasan Barat
SETIAP orang menyimpan kenangan tersendiri setelah mengunjungi Amerika, begitu biasanya. Tapi bagi Nona Wang Qing, "saat yang paling tidak terlupakan" ialah ketika ia berkenalan dengan hamburger, pizza, dan hot dog. Ahli gizi Cina ini, meninggalkan negerinya dua tahun silam untuk mempelajari ilmu makanan pada Queens-borough Community College. la sangat terpukau akan jenis makanan fast food tadi yang ketika di Beijing sudah diketahuinya melalui bacaan.
Maka kepada rekan-rekannya di Lem-baga Riset Makanan Beijing Nona Wang berkirim surat. "Baru sekarang aku melihat dan menyantap makanan itu," katanya penuh rasa bangga. "Bukan main! Sangat lezat!"
Cuma satu hal yang mengganjal. Setiap melahap makanan Amerika itu, perutnya sakit. Namun Wang tak undur. "Semoga sakit perut ini disebabkan oleh perubahan waktu, bukan lantaran makan-an tadi," katanya dalam surat untuk rekan-rekan di tanah air.
Wang Qing adalah satu dari 6.500 mahasiswa Republik Rakyat Cina (RRC) yang mencicipi hidup di Amerika untuk pertamakali di awal tahun 80an. Banyak orang seperti dia mula-mula tidak kerasan tinggal di negeri yang dulu dituding "imperialis nomor satu di dunia" itu. Beberapa di antara mereka kemudian mudah menyesuaikan diri. Tapi tak sedikit yang tetap menyendiri, bagai sengaja menyisih dari hingar-bingar masyarakat Amerika. Sekitar empat tahun lalu masih sulit mencari 'anak-anak Mao' di Amerika. Tapi setelah itu, rombongan ahli dan mahasiswa mulai berdatangan.
"Mereka mempelajari segala-galanya," tulis Jan Wong dalam The New York Times Magazine "dari ballet sampai fisika nuklir, sampai resesi kapitalis."
Selama berada di sana, banyak hal mereka alami. Misalnya menyaksikan pemilihan presiden Amerika Serikat, atau membuktikan bahwa hot dog sebetulnya tidak diramu dari daging anjing. Di sana-sini, mereka juga memperoleh kesempatan menjadi korban kejahatan kota besar - seperti halnya penduduk yang lain.
"Pelajaran yang mereka petik di negeri ini, dan perubahan pandangan mereka mengenai Cina sangat besar pengaruhnya di masa depan," kata Jan Wong.
Sebagian besar mahasiswa ini akan memegang jabatan berpengaruh di negerinya, tatkala Partai Komunis Cina lebih mementingkan tenaga ahli ketimbang fanatikus politik.
Dan hal itu dibenarkan Sidney Rittenberg, seorang Amerika yang bermukim di Beijing lebih 30 tahun, kini penasihat pada Akademi Ilmu Sosial Cina.
"Para profesional dan akademisi kini berada di sana (Amerika) dengan rasa ingin tahu yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Sidney.
"Merekalah yang mempunyai peluang besar untuk mengambil alih pucuk pimpinan dari tangan para birokrat tua," tukuknya.
Sayangnya, tidak banyak mahasiswa Cina itu mengetahui akar sejarah "semangat belajar ke Amerika" ini.
Lebih seratus tahun silam, pada 1872, adalah Dinasti Qing yang pertama kali mengirimkan rombongan pemuda se-cara tetap ke Amerika. Terdiri dari 30 orang, rombongan itu bermukim di AS selama 15 tahun.
Tujuannya sama dengan pemerintah sekarang, yaitu "menuntut ilmu Barat". Lantaran terus-menerus dibombardir golongan konservatif yang ogah westernisasi, pada 1881 program itu macet. Namun hasilnya sudah bisa dilihat. Di kalangan berpengaruh Cina - zaman itu - terbentuk kelompok yang bersimpati terhadap Amerika.
Kini (1982), selain 6.500 mahasiswa di Amerika Serikat, Cina juga mengirim orang-orang mudanya ke berbagai perguruan tinggi Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Jepang. Sekadar bahan perbandingan: dalam periode 1950-1963, hanya 8.000 mahasiswa Cina belajar di Uni Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur. Sebaliknya, sekarang, di seluruh Amerika hanya terdapat sekitar 50 orang mahasiswa Rusia. Dan tak sebiji pun mereka bisa ditemukan di negeri Cina.
MAHASISWA Cina itu sekarang berada hampir di seluruh pelosok AS. Mereka memasuki lebih dari 160 universitas dan college, M terutama di New York, California, Wisconsin, Pennsylvania dan Massa-chusetts. Di Kota New York saja bermukim 500 lebih.
Hebatnya, tak sedikit mahasiswa itu anak orang besar di kampung ha-laman. Di antaranya terdapat putra Menteri Luar Negeri Huang Hua, yang sudah menginjak tahun ketiga di Harvard. Seorang putri Deputi Perdana Menteri ada di Brandei. Direktur Akademi Ilmu Pengetahuan Cina bahkan tidak kepalang tanggung. la sekaligus mengirim putri dan cucu lelakinya ke sebuah universitas di New York.
Tokoh partai rupanya tak mau ketinggalan. Song Renqiong, Kepala Departemen Organisasi Partai Komunis Cina (PKC) juga mengirim beberapa anaknya ke Amerika, sekalian dengan pasangan mereka masing-masing. Maklum lagi kuasa.
Bagaimanapun, kesan anak-anak ini mengenai Amerika tentu memengaruhi orangtua mereka. Beberapa anak itu terus terang mengaku mengharapkan "warisan kekuasaan" suatu ketika.
Pada Januari 1980, tibalah seorang mahasiswa 'VIP' yang sangat menarik perhatian. Kurus jangkung, 30 tahun, ia mengenakan kaca mata model Cina berbingkai plastik, yang hampir menutupi seluruh matanya. Mahasiswa itu bernama Deng Zhifang, putra Wakil Perdana Menteri Deng Xiaoping.
Menempuh program doktor untuk jurusan fisika di Universitas Rochester, Deng Zhifang diakui berotak cerdas.
Tiap Kamis siang setelah penutupan semester, ia selalu tampak terbungkuk di perpustakaan fisika yang tembus sinar matahari. Mengenakan sandal plastik hijau, badannya terbungkus pakaian kerja a la Cina. Di sekitarnya berserakan aneka catatan, sebuah muk plastik, kamus Inggris-Cina, dan sebuah nomor Newsweek.
"Untuk memperlancar bahasa Inggris saya," katanya.
Meski ia mahasiswa terbaik dalam jurusannya, Deng Zhifang tampak berusaha merendahkan diri. "Saya biasa-biasa saja," katanya. "Pendapat dan pengalaman saya tak berbeda dengan mahasiswa Cina lainnya."
Namun "kecuali kenyataan bahwa ia putra Deng Xiaoping, dalam banyak hal mahasiswa yang satu ini memang istimewa," kata Jan Wong.
Hampir tiap hari ia belajar di perpustakaan, bahkan pada akhir minggu. Kadang-kadang ia datang lebih dulu dari petugas perpustakaan, dan pulang paling belakangan. la memang diizinkan memegang duplikat kunci perpustakaan tersebut.
Untuk memelihara kesehatan, Deng Zhifang membiasakan jogging dan bersepeda. la menjauhkan diri dari pesta maupun acara konser. Tapi, menurut salah seorang sekretaris jurusan fisika, ia meluangkan waktu untuk menghadiri perkawinan sepasang mahasiswa Taiwan.
SEKITAR separuh mahasiswa Cina yang belajar di AS terikat pada program pe-merintah RRC. Di samping ongkos perjalanan, mereka menerima tunjangan US$ 600 sebulan. Jumlah yang tidak sedikit, dibandingkan dengan hidup prihatin yang nyaris merata di negeri sendiri.
Lebih 70% dari kelompok ini ter-diri dari tenaga ahli yang dikirim pemerintahnya untuk melengkapkan ilmu. Sisanya sebagian besar mahasiswa tingkat terakhir, yang memerlukan sedikit waktu untuk meraih gelar sebelum pulang ke tanah air.
Berbeda dengan mahasiswa Cina yang dikirim belajar ke Kanada di awal 1970-an, hanya segelintir mahasiswa Cina di AS ini anggota PKC. Sebagian besar dipilih lantaran kemampuan dan senioritas mereka, bukan karena pertimbangan politik. Dalam kelompok 31 orang mahasiswa utusan pemerintah Cina yang tiba di AS musim gugur tahun kemarin, hanya dua orang anggota partai.
Mayoritas mahasiswa yang datang dengan biaya pemerintah mengkhusus-kan diri pada ilmu dan teknologi.
Hanya sekitar 15% mempelajari ilmu sosial dan kemanusiaan. Jenis ini bia-sanya berusia antara 30-40 tahun, sudah lulus di negeri sendiri, dan pria. Hampir semuanya telah menikah. Istri mereka di Cina mendapat gaji penuh, selama mereka menuntut ilmu untuk masa sekitar dua tahun.
Mahasiswa "independen" umumnya datang ke AS berkat usaha perorangan, hubungan pribadi, atau sanak famili yang kebetulan hartawan. Sama seperti "mahasiswa pemerintah", hanya sedikit di antara mereka anggota partai. Mereka umumnya lebih muda, belum menikah, dan sebagian besar wanita.
Beberapa memang pernah menempuh pendidikan perguruan tinggi di Cina, tapi sisanya pekerja pabrik biasa di kampung halaman. Begitu meninggalkan tanah air, gaji mereka distop. Banyak yang mempelajari bahasa dan sastra Inggris, tapi sebagian memilih pelbagai jurusan seperti sejarah Timur Tengah, perawatan kesehatan, musik, dan administrasi niaga.
Sebagian besar mahasiswa Cina itu memiliki semangat belajar yang sama dengan Deng Zhifang. "Tapi tidak semua mencapai hasil seperti putra WPM itu," kata Jan Wong.
Dan akibatnya, kadang-kadang bisa tragis. Dua tahun lalu, misalnya, seorang mahasiswa matematika berusia 41 tahun di Rutgers menyetrum dirinya sampai mati, seraya meninggalkan sepucuk surat. Beberapa bulan kemudian seorang mahasiswa lain di sebuah college di Boston nekat pula bunuh diri. Keduanya mengaku "tertekan" oleh penampilan akademis mereka yang tidak memuaskan.
"Para mahasiswa itu datang dengan semangat menyala-nyala untuk meraih kategori A, menjadi bintang," kata Mi-chael Baron, ilmuwan politik Amerika dan bekas koordinator program pertukaran mahasiswa Cina di Universitas Columbia. "Tapi ternyata ada yang cuma mendapat kategori C dan D. Untuk mereka, secara emosional kenyataan ini merupakan pukulan."
Seorang profesor sebuah universitas di New York sempat pusing memikirkan kecenderungan bunuh diri ini.
Berdasarkan survei terakhir, problem utama para mahasiswa Cina itu ialah kelemahan mereka dalam penguasaan bahasa Inggris. Lebih 60% memerlukan kursus tambahan setelah tiba di Amerika Serikat. Sebetulnya, baik Kementerian Pendidikan Cina maupun Akademi Ilmu Pengetahuan negara itu sudah menatar para calon mahasiswa mengenai kebudayaan dan cara hidup Amerika. Ternyata tetap saja bekal itu tak cukup menghadapi "dunia baru" yang mereka kunjungi.
Perilaku seksual yang sangat berbeda dengan di negeri sendiri merupakan salah satu kejutan kebudayaan yang sangat besar pula bagi mahasiswa Cina itu. Banyak tingkah sehari-hari yang oleh mereka masih dinilai "dekaden" dan "tak bermoral". Tapi, tentu saja, ada juga beberapa orang yang segera syur dengan lingkungan baru itu.
Misalnya seorang mahasiwa Cina berusia 40 tahun, yang menuntut ilmu di Universitas Missouri. Mendapat kesempatan berlibur di New York, ia pun melancong ke Times Square. Dengan karcis seharga US$ 3,50 ia menikmati pertunjukan film porno tiga jam. "Mereka memperlihatkan segala-galanya," katanya takjub setelah keluar dari gedung pertunjukan. Ia pun berhasrat membawa istri saya menonton film itu.
Tapi ia cepat menambahkan: "Kalau film seperti itu diputar di Cina, anak-anak muda akan jatuh ke dalam lembah kejahatan," ujarnya.
Meski "modernisasi" digembar-gemborkan hingar-bingar, Cina masa kini tetap saja sebuah masyarakat nyaris puritan. Hubungan seksual sebelum dan di luar pernikahan merupakan tingkah tercela. Homoseksual diancam oleh undang-undang. Angka perceraian sangat rendah. Pokoknya akhlak mereka umumnya baik.
Sebagai akibatnya, tingkah para mahasiswa Cina di Amerika mengha-dapi lawan jenisnya selalu canggung.
"Para pria mereka salah tingkah bila berhadapan dengan wanita, meskipun hanya sekedar ngobrol biasa," kata Michael Baron dari Universitas Columbia. "Bila seorang wanita menunjukkan sikap bersahabat, mereka bingung," sambungnya.
Sebagai contoh, tersebutlah seorang mahasiswa Cina berusia 25 tahun di Universitas Columbia. Pada suatu saat, melalui buletin sekolah ia memasang 'iklan' mencari tempat pemondokan.
Pada suatu pagi, di luar dugaannya, ia berjumpa di lift dengan seorang mahasiswi yang lincah dan bersemangat. Nona ini, karena ingin belajar bahasa Cina, menawarkan apartemennya untuk dihuni bersama. Sang mahasiswa Cina lari terbirit-birit.
Beberapa mahasiswa mengaku, pemerintah mereka tidak berkenan bila mereka "ada main" dengan wanita Amerika. Tapi sebaliknya, para mahasiswa tak kalah lihai. "Jika kami ingin menyunting nona Amerika," tutur salah seorang mahasiswa, "kami menikah lebih dulu, baru melapor ke kedutaan."
'Kebijaksanaan' itulah yang ditempuh Li Cunxin ketika ia menikahi Elizabeth Mackey, seorang dara Florida berusia 18 tahun. Pernikahan dilangsungkan dua hari sebelum Li harus mudik ke Beijing.
Li Cunxin, 20 tahun, merupakan penari paling diharapkan di lingkungan Institut Pusat Tari di Beijing.
Pada 1979 ia terpilih memperdalam ilmu untuk selama 18 bulan di Sekolah Ballet Houston. Dekat saat pulang ia mendatangi Konsulat Jenderal RRC di Houston. la melaporkan pernikahannya dengan Elizabeth - teman sesekolah dan menyatakan keinginannya bermukim di Amerika. Sang konsul bagai disengat lipan!
Tapi setelah "berdiskusi" tak ku-rang dari 21 jam di kantor konsulat, akhirnya permohonan Li disetujui. Pejabat-pejabat imigrasi AS segera melapangkan jalan. Kini Li Cunxin resmi tinggal di Amerika. Musim panas tahun 1981 kemarin ia tampil sebagai solis dalam sebuah acara Ballet Houston.
Secara seragam kelompok mahasiswa Cina yang pertama kali tiba di Amerika sangat terkesan melihat "keraksasaan "negeri itu dalam pelbagai hal. Mereka takjub memandang gedung-gedung pencakar langit, yang membuat Beijing Hotel bertingkat 17 di negeri sendiri terasa kate. Mereka melotot melihat toko serba ada yang gemerlapan. Mereka terperangah menemukan supermarket penuh bahan makanan yang diimpor dari seluruh penjuru bumi. Mereka saling berbisik melirik sampah yang menggunung di beberapa sudut kota.
Untuk orang-orang Cina, kaki lima Amerika yang penuh barang bekas itu merupakan 'gua' harta karun. Salah seorang mahasiswa matematika Cina melengkapi seluruh apartemennya dengan barang yang sudah dibuang orang, termasuk pesawat televisi ber-warna. Maklumlah, di negeri sendiri kantung plastik saja dirawat dan dipertahankan.
Tapi di balik rasa kagum, mereka dibuat pusing juga oleh inflasi dan pajak. Untuk para "mahasiswa pemerintah", perkara uang memang tak begitu penting. Tapi buat para "mahasiswa independen", soal itu bisa gawat. Sebagian terpaksa bekerja secara sembunyi-sembunyi, karena hal ini terlarang oleh "paspor mahasiswa" mereka.
Ada yang nyambi memburuh di perusahaan garmen. Tak sedikit yang memilih sebagai waiter. "Tipnya lumayan," tutur seorang mahasiswa yang bekerja sebagai waiter. "Saya bisa mengumpulkan lima puluh sampai seratus dolar sehari."
Tidak semua mahasiswa yang bekerja mempunyai tujuan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
***
Untuk Amerika Serikat, program pertukaran mahasiswa ini merupakan 'investasi' jangka panjang. Ia membuka kesempatan saling mengenal antara rakyat Amerika dan Cina, melalui kontak langsung. Tapi, di luar maksud ini, "Orang-orang Cina di negeri ini belum mengintegrasikan dirinya secara baik," tulis Jan Wong.
Salah satu alasan: mereka terlalu sibuk dengan buku. Kemudian, sebagian besar memilih menyewa apartemen bersama sesama mahasiswa Cina, bukannya berkumpul dengan anak Amerika. Padahal cara ini tidak membantu kemajuan bahasa Inggris mereka. Mengapa begitu? "Kami mempunyai adat istiadat yang berbeda," sahut seorang mahasiswa Cina. Lho, tentu saja.
Belakangan ini- aneh, memang pemerintah RRC mendorong mahasiswa itu berbaik-baik dengan para mahasiswa Taiwan. Beberapa di antara mereka ada yang menyewa apartemen secara bersama. Namun, kendati dilatarbelakangi sejarah dan kebudayaan yang sama, hubungan satu sama lain lebih bersifat resmi.
Hubungan hambar ini tak dinyana berkat ulah pemerintah RRC juga. Seperti pengakuan seorang mahasiswa, mereka dibisiki kalau di antara mahasiswa Taiwan itu terdapat mata-mata. Serba sulit.
NAMUN ada perbedaan antara mahasiswa Cina di Amerika sekarang, dengan rombongan pertama mahasiswa yang dikirim ke Kanada, awal 1970-an. Ketika itu, mereka selalu dimonitor kedutaannya. Kini tampaknya mereka agak bebas dari skenario Beijing.
"Soalnya, kami sekarang terlalu banyak," kata seorang mahasiswa, seperti berbangga. "Mereka (kedutaan RRC) kewalahan melacak kami," katanya menambahkan.
Umumnya mahasiswa itu mengunjungi kedutaan ketika mengurus tunjangan, atau menonton film buatan negeri sendiri, bagi yang tinggal di New York dan Washington.
Di Universitas Harvard terdapat Huang Bing, putra Menlu RRC. Hidup secara spartan, ia menghuni kamar terbersih di kompleks Harvard, bersama tiga mahasiwa Amerika. Namun kamar mandi mereka penuh kaus kaki kotor, tube tapal gigi peot dan handuk apek.
Selalu rapi, Huang Bing menuntut ilmu ekonomi dengan beasiswa penuh Harvard, la menghindari pesta, karena musik hard rock membuat kepala saya pening," katanya. Tapi ia menggemari penyanyi John Denver. Bahasa Inggrisnya sempurna. Sekali-sekali ia menonton film di bioskop murah dekat Harvard Square. Salah satu film pujaannya adalah Star Wars.
Tidak banyak mahasiswa Cina yang kerasan sekamar dengan anak Amerika. "Kawan sekamar saya betul-betul gila," ujar seorang mahasiswa Cina berusia 20 tahun, dalam pakaian jean dan sepatu jogging. "Mereka memasukkan perempuan malam-malam," katanya.
"Kadang-kadang mereka juga mengisap ganja. Mereka tak pernah menawarkan ganja itu kepada saya, karena mereka tahu saya pasti menolak. Tapi kami tetap tinggal bersama," tambahnya.
Beberapa orang Amerika berhasil menjalin persahabatan dengan anak-anak Cina itu. Salah seorang ialah Frank Kehl, pembantu profesor antropologi pada Queens College. Kehl lancar ber-bicara Kanton dan Mandarin. Secara tetap ia mengundang kelompok mahasiswa Cina ke pantai, atau ke rumahnya. Terutama pada hari-hari raya Cina dan Amerika.
Kendati ia senang menerima tamu yang sopan santun itu, ia tetap merasakan celah yang menganga di antara mereka. "Dibutuhkan waktu lama sebelum persahabatan antara orang Cina dan Amerika betul-betul akrab," katanya.
Seperti kebanyakan mahasiswa, anak-anak Cina itu menghabiskan sebagian besar waktunya di sekitar kampus. Hanya sedikit yang punya kenalan di luar kampus. Kenalan itu juga biasanya adalah orang Amerika yang berminat pada kebudayaan Cina.
Mereka jarang mengunjungi acara kebudayaan. Baik karena pertimbang-an bahasa maupun dalam rangka peng-hematan. Hebatnya, meskipun mereka berpropaganda "bersatu dengan prole-tariat", hampir tak ada yang berhu-bungan dengan kaum buruh.
Kejutan lain yang membuat gusar anak-anak Cina itu ialah malapetaka yang bisa terjadi di jalan-jalan raya kota besar Amerika. Dengan busananya yang 'antik' dan potongan rambutnya yang klimis, mereka mudah dikenali. Mereka selalu membawa uang tunai. Bukannya cek atau kartu kredit, sebab kedua barang itu tak dikenal di negeri mereka.
Maka tersebutlah Gao Zongze, se-orang pengacara Cina yang sopan dan berbudi, yang sedang menambah pengetahuan dengan dukungan sebuah kantor pengacara New York. Pada suatu hari ia menanti kereta bawah tanah di sebuah stasiun lengang. Seorang pemuda Amerika duduk di sampingnya.
Tidak dinyana, anak muda itu tiba-tiba memiting Zongze. Sebilah pisau ditodongkan ke lehernya. Bila dilihat dari jauh, kedua orang itu seperti berangkulan, bagai layaknya sahabat lama. Karena itu tak ada yang menaruh syak. Gao Zongze cepat-cepat mengulurkan dompet.
Tapi mereka tak patah semangat menghadapi kejadian macam begini. Menurut pertimbangan mereka, ilmu yang diperoleh di Amerika lebih penting ketimbang insiden semacam itu tadi. "Kebebasan berpikir dan keluwesan sangat disarankan di sini," ujar Xu Yixie, mahasiswi fisika cemerlang yang sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Columbia.
Tapi, menurut Nona Xu, program persiapan di negeri Cina lebih baik. "Para profesor kami lebih keras. Mereka memberi lebih banyak kuliah dan pekerjaan rumah," katanya.
la juga memuji ujian masuk perguruan tinggi yang di negerinya lebih ketat. Sebagai perbandingan, hanya 4% pemuda Cina lulus masuk perguruan tinggi. Di Amerika, angka itu mencapai 45%.
"Tak perlu dibantah bahwa perkembangan ilmu di Amerika lebih maju," kata Tang Zhisong, 56 tahun, peneliti senior pada Institut Teknologi Komputer di Beijing. la tiba di AS September 1979, untuk riset ilmu komputer selama dua tahun pada Universitas Stanford.
Bercermin pada pengalamannya, "kendati Cina sama kuat dengan Amerika dalam pekerjaan teori, kami ketinggalan di bidang teknologi," kata-nya. Ia mengeluh dengan keadaan sarana di negerinya sendiri. Di Stanford, setiap ilmuwan memiliki terminal sendiri. Di negeri Cina, mereka bergotong-royong menghadapi sebuah komputer utama.
Mengenai risetnya di Stanford, Tang sungguh bersenang hati. "Saya sangat bebas. Tak ada yang mencampuri urusan saya," katanya.
Di negeri Cina, katanya, salah satu kesulitan mereka ialah kenyataan bahwa lembaga riset dan sekolah dikelola seperti pabrik.
Bila ia kembali ke tanah air, kata Tang, ia tak berhak buka mulut mengenai kebijaksanaan. Keputusan terakhir selalu dipegang kelompok non-profesi. "Inilah yang membuat saya murka," katanya. Padahal mengenai komputer, menurutnya tidak ada hal yang bersifat politis.
Namun Tang tak berniat menetap di Amerika, meski ia mungkin saja memperoleh pekerjaan bagus di negeri tersebut. Alasannya sederhana, musykil, dan tipikal. "I love China," katanya. "Itulah negeriku. Aku tak berakar di sini (Amerika)."
Perasaan yang sama dapat dibaca dari sebuah puisi karangan Yang Shu-de, dimuat dalam Harian Rakyat Beijing musim semi tahun kemarin. Yang Shu-de adalah tenaga ahli yang memperdalam pengetahuan pada Universitas Wiscon-sin, Madison. Puisi itu diberinya judul Aku Datang Untuk Kembali :
Arus manusia pelbagai bangsa dan warna datang dari seantero persada namun jantungku, setiap saat berdetak setia sepanjang masa bagi tanah kelahiran tercinta, - di tengah hingar-bingar ini di tengah badai salju kelam dan laboratorium yang membisu ketika aku bertekun di malam panjang
aku bukanlah musafir kelana bukan pula selembar daun melayang mencari tempat hinggap di sebatang dahan
Aku warganegara Cina Raya,
Aku datang - untuk kembali! - telah kuucapkan janji ini tatkala berpisah
dengan kampung halaman tercinta hatiku tak goyah
oleh duka perpisahan
melainkan disinari kebanggaan
sebagai bagian dari rakyat Cina
dan cinta tanah air tak habis-habisnya.
Amboi!
***
BAGI sebagian besar mahasiswa itu, ikatan kekeluargaan dan kebudayaan dirasakan sangat ketat.
Karena itu bermukim terus di Amerika berada di luar perhitungan. Banyak yang khawatir akan ancaman pengangguran. Juga memikirkan masa tua di tengah masyarakat yang kurang menghormati orang berusia lanjut. Bila ditanya secara langsung, sedikit sekali yang menyatakan ingin tinggal di Amerika.
Setelah pulang ke tanah air, para mahasiswa itu mengharapkan pekerjaan yang cocok dengan studinya. Wajar. Huang Bing, dari Universitas Harvard ingin menyumbangkan keahlian ekonominya melalui Komisi Perencanaan Negara. Deng Zhifang, putra Deng Xiaoping, ingin mengajar atau melaksanakan riset.
Di pihak lain, banyak yang berpendapat bahwa orang Cina berusia 40-an yang ingin menetap di Amerika tidak akan sukses. "Mereka tak bisa berfungsi di sini," kata John K. Tien, seorang metalurgis Cina-Amerika di Universitas Columbia. "Mereka sudah terbiasa hidup di tengah lingkungan yang riuh," katanya menambahkan.
"Mereka takut tercabut, menjadi lebih tinggi dari ukuran rata-rata."
Tapi tetap tak ada yang tahu pasti, berapa banyak mahasiswa yang tak ingin pulang ke negeri Cina. Agak berbeda dengan persoalan yang dihadapi Taiwan. Sekitar 90% mahasiswa yang dikirim negeri itu ke Amerika ogah pulang ke kampung halaman.
Memang repot juga kalau mahasiswa Cina itu tak mau pulang. Coba: sekitar 90% mahasiswa tingkat pertama Institut Teori Fisika Beijing sekarang ini belajar di Amerika. Kalau sampai rombongan ini, misalnya, memilih tinggal di Amerika setelah lulus, sukar membayangkan tindakan yang bakal diambil Deng Xiaoping.
Secara tak resmi Kementerian Luar Negeri Amerika memang ada membuat perkiraan. Menurut taksiran tersebut, sekitar 10% dari kelompok mahasiswa yang datang dengan sponsor perorangan memilih tinggal di Amerika. Bila di antara "mahasiswa pemerintah" ada yang meminta asilum politik, kata seorang pejabat Deplu, lebih baik Departemen Imigrasi menolak. Di pihak lain Deng Xiaoping pernah mengatakan, program belajar itu tidak akan sia-sia meskipun, umpamanya, 10% dari mahasiswa itu tak mau pulang.
Ada pula problem lain yang lebih serius, setelah mahasiswa Cina tersebut pulang ke tanah air. Selama merantau dan menuntut ilmu, mereka sudah akrab dengan "kebebasan" dan "demokrasi" Amerika. Mereka sendiri percaya, di antara mereka bakal ada yang "menyingkir dari jalan raya komunisme". Seorang mahasiswa berkata, "Sudah tentu akan tampil beberapa pembangkang." Ada pula yang lebih berterus-terang. "Mata kami terbuka selama belajar di Amerika," katanya. "Setelah kami pulang, kami akan berpikir lebih bebas."
Dari pihak Amerika, program ini diharapkan membentuk generasi Cina berpengaruh, yang menaruh simpati terhadap Paman Sam. Ya, seperti rencana tahun 1872 itulah. "Kami mendorong pemerintah Cina mengirimkan mahasiswa sebanyak yang bisa diterima perguruan tinggi Amerika," ujar Conrad L. Belamy dari biro Cina Deplu AS. "Kami membantu Cina menjaring teknologi yang luput selama Revolusi Kebudayaan yang parah itu."
Modernisasi Cina sekarang ini berlangsung dalam ukuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ribuan mahasiswa yang belajar di Amerika itu umumnya diliputi semangat meningkatkan standar hidup di negeri mereka pada penghujung abad ini. "Tapi karena usaha itu melibatkan kesejahteraan satu miliar manusia," tulis Jan Wong, "tenggang waktu 20 tahun rasanya terlalu singkat."
Yang terpenting agaknya, "para mahasiswa itu sudah mencicipi kehidupan di sini." Mereka akan membentuk korps yang terdiri dari pribadi-pribadi berketrampilan tinggi, yang akan mengubah pandangan para komunis Cina kawakan terhadap Amerika.
Mungkin mereka berhasil meningkatkan saling mengerti yang lebih baik akan kekuatan dan kelemahan negeri masing-masing. Mungkin pula kini sulit membayangkan Cina, kalau tak mustahil, kembali kepada masa isolasinya seperti tahun-tahun lampau. (*)
Ditulis ulang dari rubrik 'Selingan' Majalah TEMPO edisi 6 Februari 1982
