Dwifungsi Militer, Digagas Nasution Dikritik Nasution
tanjakNews.com, POLITIK -- Sejak era 1970-an, sudah banyak perwira aktif ABRI yang menduduki kursi di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi sosial dan kehidupan politik di Indonesia.
Dwifungsi ABRI dilegalkan oleh Soeharto pada 1982 melalui UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Berangkat dari gagasan tersebut, ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Orde Baru.
Latar Belakang Munculnya Dwifungsi ABRI
Mengutip National Geographic Indonesia, konsep "Jalan Tengah" yang menjadi cikal bakal Dwifungsi ABRI diperkenalkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution, pada November 1958. Dalam pidatonya di dies natalis AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang, ia menyampaikan gagasan bahwa militer sebagai kekuatan politik berhak berperan dalam pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan.
Pemikiran ini muncul karena kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan dan adanya rasa saling curiga antara tentara dan politikus yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Nasution menekankan bahwa TNI, khususnya Angkatan Darat, tidak akan memerintah sebagai pemerintahan militer, tetapi juga tidak akan menjadi alat pasif bagi politikus. Tujuannya adalah agar militer terlibat dalam membina negara dan menjaga stabilitas, bukan merebut kekuasaan.
Konsep ini berlanjut dengan Dekret Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959, yang memberikan landasan konstitusional bagi peran politik ABRI sebagai golongan fungsional dan kekuatan sosial politik. Pada 1962, ABRI membentuk koramil di setiap kecamatan, babinsa di setiap desa, dan resimen mahasiswa di kampus.
Konsep ini dimatangkan melalui doktrin Tri-Ubaya Cakti, hasil Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung. Fungsi sosial dan politik ABRI kemudian ditetapkan melalui TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966.
Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru
Implementasi konsep "Jalan Tengah" oleh Soeharto di era Orde Baru jauh melampaui gagasan AH Nasution. Dwifungsi ABRI diartikan sebagai peran ganda tentara, yaitu sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik praktis.
Tujuan awalnya adalah agar politisi sipil dan militer terlibat bersama dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan politik demi stabilitas negara. Namun, Presiden Soeharto memanfaatkan Dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya selama tiga dekade.
Salah satu alasan pembenar masuknya militer dalam kehidupan sipil ketatanegaraan kita, konon karena sipil gagal mengatasi pemberontakan. Pada tahun 1948-1949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-pemimpin politik ditangkap Belanda, peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun 1957-1959 ketika pemimpin politik sipil juga tidak mampu mengatasi pemberontakan daerah, ABRI tampil menyelamatkan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan sipil gagal menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis, lagi-lagi ABRI tampil di depan menyelamatkan Republik ini. Secara historis dan budaya dwi fungsi ABRI diklaim dapat diterima oleh rakyat Indonesia kendatipun harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Namun alasan itu tidaklah tepat. Karena, bukankah sudah tugasnya militer menumpas pemberontakan bersenjata? Hal itu tidak berarti sipil dicap gagal mengatasinya.
Sialnya, peran serta politik tersebut semakin besar setelah penumpasan G 30 S/PKI sehingga memungkinkan ABRI turut menentukan kebijaksanaan nasional dalam pembangunan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI ke dalam berbagai bidang; lembaga pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun demikian tidak berarti militer menggantikan peranan sipil. Perluasan peran biasanya pada posisi-posisi kunci dengan cara penempatan dan istilah diperhalus dengan kistilah 'kekaryaan'
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat menimbulkan silang pendapat yang menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI (fungsi sospol) di masa depan.
Setelah Soeharto berkuasa, banyak tokoh militer menduduki jabatan strategis seperti menteri, gubernur di 22 dari 26 provinsi, duta besar, bupati, hingga level desa. Pada 1967, anggota ABRI mendapat 43 kursi gratis di DPR. Kursi DPRD pun seringkali tidak diisi oleh putra daerah.
Militer juga berperan dalam pembentukan Golongan Karya (Golkar) yang menjadi partai pemerintah Orde Baru. ABRI bahkan diwajibkan memenangkan Golkar dalam setiap pemilu.
Selain itu, militer juga menguasai bisnis, termasuk sektor ekonomi strategis seperti BUMN Pertamina dan Bulog. Setiap angkatan juga membentuk yayasan dan koperasi, contohnya Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat yang memiliki 26 perseroan terbatas.
Dikritik Jenderal Nasution
Dilansir dari Historia.id yang menulis tentang "kritik Terhadap Dwifungsi ABRI" disebutkan, kritik atas pelaksanaan dwifungsi ABRI muncul dari Jenderal A.H. Nasution. Wartawan senior dan akademisi Salim Said menulis dalam "Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan", sejak periode awal Orde Baru, Nasution tampil –secara berangsur-angsur– sebagai pengkritik utama pelaksanaan dwifungsi. Tingkah laku politik Soeharto dan dinamika politik masa Orde Baru telah secara berangsur-angsur menjadikan tentara sebagai kekuatan politik dominan yang nyaris sempurna dikendalikan Soeharto.
Dinamika itu bukan saja berbeda, bahkan bertentangan dengan apa “yang ada di benak Nasution” ketika jauh sebelumnya sang jenderal menggagas peran politik militer tersebut. Dinamika tersebut juga berbeda jauh dari janji Orde Baru yang dirumuskan dan diniatkan para perwira pada Seminar Angkatan Darat Kedua di Bandung tahun 1966.
“Kritik dan kemarahan Nasution terhadap militer hampir sepanjang berkuasanya Orde Baru haruslah dilihat sebagai bukti kegagalan almarhum Jenderal Besar itu membayangkan dan mempersiapkan sejak awal doktrin ciptaannya mengantisipasi dinamika masyarakat dan perkembangan politik Indonesia dalam perjalanan yang harus dilalui setiap doktrin kekuasaan. [...] Ketika Orde Lama runtuh, harus diakui, Indonesia memang tidak punya pilihan lain kecuali menerima tentara sebagai kekuatan politik dominan. Dan Soeharto sebagai penguasa tertingginya di lapangan waktu itu terbukti kemudian mampu dengan terampil –bertumpu pada posisi tentara sebagai kekuatan politik legal– memanfaatkan tentara untuk berkuasa selama tiga dasawarsa,” tulis Salim Said.
Sementara itu, menurut Abdoel Fattah dalam "Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer, 1945-2004" kritik yang dilontarkan Nasution terhadap persetujuan Soeharto dengan partai untuk mengangkat anggota ABRI dalam DPR dan MPR tanpa bertanding melalui pemilihan umum, yang dipraktikkan secara terus menerus, dianggap sebagai upaya menciptakan stabilitas dengan cara menyusun anggota MPR dan DPR yang tidak demokratis.
Dalam tulisannya di Prisma (12 Desember 1980), Nasution menyatakan bahwa unsur peralihan dengan menempatkan TNI di fungsi-fungsi sipil atau politik adalah sementara saja. Begitu juga pengangkatan wakil-wakil ABRI/Rakyat dalam lembaga-lembaga legislatif juga sementara, karena anggota DPR harus melalui pemilihan umum sesuai dengan UUD 1945. Jenderal Besar yang dijuluki Bapak Angkatan Darat itu khawatir jika pemurnian tidak dilakukan setelah keadaan darurat diakhiri, ketegangan antara ABRI dan golongan-golongan sosial lainnya dengan masyarakat umum bukan tidak mungkin terjadi.
Pandangan kritis terhadap dwifungsi ABRI juga datang dari Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD yang dibentuk oleh Jenderal TNI (Purn.) Raden Widodo –kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)– pada April 1978. David Jenkins mencatat dalam "Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983", pada 20 Mei 1978, salah satu presidium Fosko, Letnan Jenderal TNI G.P.H. Djatikusumo mengirimkan “Kertas Kerja Kedua” setebal tiga belas halaman kepada Widodo yang berjudul “TNI dan Dwi Fungsi.”
Dokumen ini memuat tiga poin utama. Pertama, meskipun dwifungsi pada prinsipnya secara konseptual baik selama periode tertentu dalam perjuangan nasional, dwifungsi perlu dikaji dan ditinjau kembali. Realisasinya memerlukan koreksi segera, yang berarti harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Kedua, kehidupan politik di Indonesia harus ditertibkan, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar, khususnya kesempatan yang sama bagi semua kelompok untuk mengejar ambisi politik mereka.
Ketiga, TNI harus dibebaskan dari keterlibatannya dalam partai-partai dan kelompok-kelompok politik. TNI harus kembali ke posisinya semula, sejajar dengan kelompok-kelompok pejuang nasional lainnya dalam masyarakat, dan bukan bagian dari salah satu kelompok tersebut. Selain itu, diharapkan, karena nilai-nilai moralnya, TNI akan tetap berada di atas semua golongan.
Kertas kerja Fosko menyimpulkan tiga saran. Pertama, para penulis berharap dalam satu atau dua tahun ke depan, paling lambat akhir tahun 1979, pelaksanaan prinsip dwifungsi akan dikoreksi sehingga kembali sejauh mungkin ke asasnya. Hal ini akan membuka peluang bagi dwifungsi untuk terus menjadi fungsi laten TNI, yang dilaksanakan hanya jika diperlukan.
Kedua, para penulis mengatakan bahwa kepemimpinan saat ini seharusnya tidak memaksakan garis-garis besar kebijakan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kepada generasi baru. Sebaliknya, diharapkan adanya dialog dua arah yang terbuka dengan generasi pemimpin masa depan untuk mencapai pemahaman timbal balik yang dapat menjembatani kesenjangan generasi dan mengurangi ketegangan antargenerasi. Ketiga, kehidupan politik dalam masyarakat harus diarahkan dengan cara yang benar sehingga partai-partai politik tidak dipaksa untuk berfungsi secara konformis sesuai keinginan mereka yang berkuasa.
Dihapus
Akhirnya, rasa muak rakyat terhadap jalannya dwifungsi ABRI itu memuncak pada 1998, di mana mahasiswa bersama masyarakat sipil lainnya bersama-sama menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI, bahkan kemudian terus pada tuntutan supaya Suharto lengser dari kekuasaan 30an tahunnya sebagai presiden.
Dominasi militer terhadap sipil akibat Dwifungsi ABRI bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kritik internal terhadap Dwifungsi ABRI muncul setelah Soeharto terpilih kembali pada periode 1978-1983. Kritik dari masyarakat juga menguat karena banyaknya penyelewengan dan ketidakcakapan tentara di jabatan sipil.
Dwifungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan mahasiswa saat Reformasi 1998. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, tekanan untuk menghapus Dwifungsi ABRI terus meningkat. Pada Juli 1998, TNI meninjau ulang peran sosial politiknya. Istilah Dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan dan perubahan fungsi militer dilakukan bertahap.
Mengutip Tempo, berawal dari seminar Angkatan Darat pada 22-24 September 1998 bertema "Peran ABRI di Abad XXI". Dalam seminar itu, dihasilkan pemikiran untuk melakukan reformasi dalam tubuh TNI. Kalangan pimpinan TNI pada saat itu memiliki determinasi supaya TNI kembali menjadi tentara profesional sebagai lembaga pertahanan negara.
Sehingga Menteri Pertahanan dan Keamanan kala itu, Jenderal Wiranto, dibantu oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, serta pimpinan TNI lain merasa perlu mengurangi peran TNI dalam politik. Mereka pun secara bertahap menarik diri dari kegiatan politik dan pemerintahan.
Semangat ini berlanjut dalam kepemimpinan presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Puncaknya adalah ketika Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh TNI. Pada masa kepemimpinannya yang sangat pendek (1999-2001), ia telah memisahkan Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan TNI.
Pada rapat pimpinan 19-20 April 2000, diputuskan bahwa tentara keluar dari jalur politik dan fokus sebagai komponen utama pertahanan negara. Sejarah Dwifungsi ABRI berakhir di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Gus Dur juga mencabut dwifungsi ABRI sehingga mengakibatkan TNI harus melepaskan peran sosial-politiknya. Sejak saat itu, militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil. Setelah reformasi, peran tentara dibatasi hanya pada pengelolaan koperasi.
Dalam pemerintahannya, Gus Dur mencoba memberikan ruang seluas-luasnya bagi kelompok sipil untuk memberikan sumbangsih dalam pembinaan pertahanan negara. Hal ini terlihat dari penghapusan fraksi TNI-Polri dari parlemen.
Selain itu juga terlihat dari penunjukan Menteri Pertahanan (Menhan) kepada orang sipil. Perlu diingat, semenjak 1959 jabatan Menhan selalu diisi oleh orang militer. Beberapa hal ini adalah langkah kongkret upaya penghapusan dwifungsi ABRI pada era Gus Dur. (Oce)
