Rukyatul Hilal Global Penentu Awal dan Akhir Ramadan
Oleh: Ustazah Najmah Saiidah
PERDEBATAN terkait metode penetapan awal dan akhir Ramadan masih saja terjadi. Sebagian masyarakat memahami bahwa penentuannya hanya boleh melalui rukyatul hilal, yakni terlihatnya bulan sabit menjadi penanda awal dan akhir bulan Ramadan. Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa metode hisab bisa juga digunakan untuk menetapkan permulaan dan berakhirnya Ramadan.

Ulama yang menetapkan metode rukyat pun terbagi dua. Pertama berpendapat bahwa satu rukyat berlaku untuk seluruh wilayah di dunia, artinya semua muslim di belahan bumi manapun wajib melaksanakan puasa Ramadan manakala sudah ada kabar yang terpercaya bahwa sudah terlihat hilal tanggal 1 Ramadan di suatu tempat.
Pendapat kedua menyatakan bahwa rukyat hanya mengikat penduduk yang satu mathladengan orang yang melihat hilal. Sementara bagi penduduk yang negerinya jauh tidak terikat.
Kepastian awal dan akhir Ramadan merupakan perkara penting bagi umat Islam. Kesalahan dalam menetapkannya akan berkonsekuensi pada perbuatan yang diharamkan. Bisa saja umat meninggalkan kewajiban puasa tanggal 1 Ramadan karena mengira masih akhir bulan Syaban. Demikian juga berpeluang melakukan keharaman puasa pada tanggal 1 Syawal karena menganggap bulan Ramadan belum berakhir. Jelas fenomena ini tidak boleh dibiarkan terus terulang.
Di antara pendapat-pendapat tersebut mana yang hujahnya paling kuat?
Awal dan Akhir Ramadan Tiba Ketika Hilal Terlihat
Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulllah ﷺ:
1913- حَدَّثَنَا آدَمُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ ، وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ.
“Kami adalah bangsa ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan adalah seperti ini dan seperti ini.” Nabi bermaksud menyebut angka dua puluh sembilan untuk yang pertama, dan tiga puluh untuk yang kedua. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahīh al-Bukhāri, (Kairo: Dar al-Hadits, 2008)
Hadis lainnya yang senada diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Nabi bersabda, “Kita adalah umat (kaum) yang ummi, yang tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu begini (sambil menunjukkan kedua telapak tangannya dengan sepuluh jari), begini dan begini (diulang sebanyak 3 kali, maksudnya 30 hari).”(HR Abu Dawud). Menurut al-Abbadi, “tidak bisa menghitung..” maksudnya, tidak mengetahui perhitungan dan perjalanan bintang.. Karena itu, hukum puasa dan yang lain dikaitkan dengan rukyat..(‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud, juz VI/433)
Sementara dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An Nasai nampak jelas bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk melihat hilal ketika menetapkan awal dan akhir Ramadan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, ….”(HR. An Nasai no. 2116).
Perintah untuk melihat hilal dan keharusan menyempurnakan bilangan Sya’ban sampai 30 hari disampaikan oleh Nabi ﷺ dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar:
Nabi ﷺ bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080)
Dalam kedua hadis di atas Rasulullah ﷺ hanya memberikan dua pilihan, yakni rukyatul hilal jika kondisi memungkinkan untuk terlihatnya hilal, dan yang kedua dengan menggenapkan bilangan bulan Syaban menjadi tiga puluh hari yaitu ketika hilal tidak nampak disebabkan tertutup awan.
Redaksi hadis tersebut mengisyaratkan untuk menggenapkan jumlah hari di bulan Sya’ban dan tidak ada perintah untuk melakukan hisab, atau perhitungan berdasarkan ilmu astronomi.
Hukum merukyat hilal untuk Ramadan dan Syawal adalah wajib. Karena itu, ketika terhalang awan, sehingga rukyat tidak bisa dilakukan, kita diperintahkan untuk menggenapkan, sekalipun ada kemungkinan bulan Ramadan atau Syawal itu benar-benar sudah masuk.
Urgensi rukyat hilal untuk memastikan datangnya bulan ramadan ditunjukkan oleh hadis Rasulullah ﷺ yang memberitakan bahwa beliau senantiasa mengingat bulan Sya’ban lebih daripada bulan lainnya:
Dari Abdullah bin Abi Qois, beliau mendengar Aisyah radhiallahu anha mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Rasulullah ﷺ sangat perhatian dengan bulan Sya’ban tidak sebagaimana bulan yang lainnya. Kemudian beliau lanjutkan dengan puasa setelah terlihat hilal Ramadan. Jika hilal tidak kelihatan maka beliau genapkan Sya’ban 30 hari, kemudian puasa.”(HR. Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni)
Hukum merukyat hilal adalah fardu kifayah. Cukup dilakukan oleh sebagian umat Islam yang mampu. Disaksikannya hilal oleh orang terpercaya menjadikan kewajiban melihat hilal gugur atas kaum muslim lainnya. Berikutnya mereka wajib terikat dengan rukyat tersebut.
Informasi awal dan akhir Ramadan wajib diumumkan oleh Imam sehingga seluruh rakyat mengetahuinya. Imam harus mendasarkan penetapannya pada rukyat, tidak boleh dengan metode lain. Bahkan Imam Malik menyatakan tentang kepala negara yang berpuasa dan berhari raya tidak dengan merukyat hilal, tetapi dengan hisab, “Dia tidak patut diteladani dan diikuti.”(al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, juz II/290)
Satu Rukyat untuk Seluruh Dunia
Letak geografis dan posisi bulan yang tidak sama untuk wilayah yang berbeda menyebabkan tidak terlihatnya hilal pada bagian bumi tertentu dan mungkin muncul di belahan yang lain. Namun tertutupnya hilal tidak memastikan bahwa belum masuk bulan Ramadan. Ada kemungkinan di daerah lain hilal sudah muncul dan ada orang yang menyaksikannya.
Karenanya, ketika hari sudah masuk akhir bulan Syaban (magrib tanggal 29) umat Islam harus bersiap-siap untuk menyambut Ramadan andai telah terlihat hilal di mana pun tempatnya.
Terkait hukum hilal dalam ilmu fikih dikenal istilah mathla’ yaitu wilayah munculnya hilal. Cakupan wilayah mathla’ada yang membatasinya dalam satu negeri, satu pulau, dan ada juga berdasarkan jarak dimana dibolehkannya shalat diqashar. Pembatasan mathla’ berdasarkan jarak qashar shalat, menurut Imam an-Nawawi merupakan pendapat yang lemah, karena puasa tidak terkait dengan jarak qashar shalat. (Lihat, an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz VI/245)
Pandangan ulama dalam pemberlakuan hilal jika dikaitkan dengan batasan mathla ini tidaklah sama. Menurut pendapat Madzhab Syafii, hilal yang terlihat pada salah satu negeri yang berdekatan jaraknya berlaku juga untuk negeri lainnya sekalipun di sana tidak nampak hilal. Karenanya, penduduk di negeri-negeri yang berdekatan tersebut (satu mathla’) wajib berpuasa (mengikuti rukyat negeri tetangganya). (an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz VI/245).
Sementara untuk Negeri yang berjauhan, terdapat dua pendapat:
(1) Bagi penduduk negeri lain tadi tidak wajib berpuasa. Salah seorang ulama yang berpendapat demikian adalah Imam an-Nawawi. Pendapat bahwa rukyat suatu negeri hanya berlaku di wilayahnya dan tidak mengikat daerah lain didasarkan pada hadis Kuraib tentang sikap dan pernyataan Ibn ‘Abbas, dimana beliau tidak mengikuti rukyat penduduk Syam, yang disampaikan Kuraib, sebaliknya menyatakan, “Beginilah kami diperintahkan oleh Nabi.”Sikap Ibn ‘Abbas ini adalah ijtihad beliau. Ini adalah mazhab Ibn ‘Abbas, atau Mazhab Sahabat. Dilihat dari posisinya, mazhab sahabat bukanlah dalil sehingga tidak bisa dijadikan argumen hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani, “…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Selain karena tidak didasarkan pada dalil syar’i, pembatasan hilal hanya berlaku untuk wilayah dalam satu negeri tidak selaras dengan keumuman hadis Rasulullah ﷺ yang memerintahkan untuk memulai puasa Ramadan ketika sudah melihat hilal: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya..”(HR.Bukhari dan Muslim). Khithab ‘amini menunjukkan bahwa perintah mulai puasa berlaku umum meliputi seluruh kaum muslim, tanpa sekat negeri, pulau atau jarak qashar.
(2) Wajib berpuasa walau hilal terlihat di negeri yang berbeda dan berjauhan jaraknya. Ini pendapat as-Shaimiri, al-Qadhi Abu Thayyib, ad-Darimi, Abu ‘Ali as-Sanji, dll. Al-Marwardi berkata, “Karena kewajiban puasa. Ramadan tidak berbeda, karena perbedaan negeri..”(Lihat, an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz VI/245)
Demikian juga pendapat mazhab Maliki hilal berlaku untuk seluruh penduduk negeri. Karenanya, kesaksian seseorang atas terlihatnya hilal mewajibkan semua penduduk muslim di negeri itu mengikuti rukyat tersebut. Adapun Ibn al-Majisyun berpendapat, “Kesaksian rukyat itu hanya mengikat penduduk yang menjadi tempat di mana kesaksian itu berada, kecuali jika Imam a’dham (khalifah) menetapkannya, maka semua manusia wajib terikat, karena negeri ini bagi khalifah adalah satu negeri. Karena keputusannya harus dijalankan oleh semuanya (Lihat, ‘Aun al-Ma’bud, juz VI/453).
Kesatuan hilal untuk seluruh belahan dunia sekalipun berbeda mathla’merujuk pada keumuman perintah Rasulullah ﷺ untuk melihat hilal. Demikian juga berdasarkan kesesuaiannya dengan hadis yang dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Musnad-nya dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku bibi-bibiku dari kalangan kaum Anshar dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, Beliau bersabda:
«غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ r أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ r (أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ)»
“Hilal Syawal tertutup mendung bagi kami maka kami pagi harinya berpuasa. Lalu datang para penunggang pada ujung siang, lalu mereka bersaksi di hadapan Rasulullah ﷺ bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar mereka berbuka hari itu dan keluar untuk (shalat) ‘Id mereka besoknya”.
Kesatuan Hilal Membutuhkan Adopsi Hukum Oleh Pemimpin
Kondisi saat ini di mana tidak adanya pemimpin yang menyatukan pendapat umat meniscayakan terus berlangsungnya perbedaan awal dan akhir Ramadan. Baik disebabkan karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadan yaitu dengan menggunakan perhitungan hisab dan melalui rukyatul hilal. Juga perbedaan apakah hilal berlaku global untuk seluruh dunia? Atau hilal hanya diterapkan pada negeri yang berada dalam satu mathla (di negeri yang sama)?
Tanpa keberadaan pemimpin yang menyatukan, perbedaan ini dianggap suatu yang wajar sebagai pilihan pribadi. Akan berbeda kondisinya ketika pemerintahan Islam telah hadir dengan dipimpin seorang khalifah, dialah yang akan melakukan adopsi hukum. Penetapan hukum yang akan diterapkan negara merupakan hak sekaligus tanggung jawab khalifah untuk menghilangkan terjadinya khilafiyah di tengah masyarakat.
Dalam perspektif syariat Islam, adanya ikhtilaf dalam masalah hukum merupakan perkara yang bisa diterima selama masing-masing pendapat tersebut memiliki dalil syara. Namun perbedaan itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut jika mengancam persatuan umat seperti halnya ikhtilaf dalam masalah penentuan awal dan akhiran Ramadan.
Khalifah harus memilih satu pendapat yang akan diberlakukan dalam satu negara. Rakyat tidak boleh menyelisihi pendapat atau hukum yang sudah ditetapkan khalifah. Seluruh rakyat wajib mentaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan: Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268).
Pada dasarnya adopsi khalifah ini tidak berlaku untuk perkara yang termasuk ibadah mahdlah, seperti jumlah rakaat shalat tarawih. Rakyat akan dibebaskan untuk mengikuti pendapat hukum sesuai dengan keyakinannya. Namun adopsi khalifah dalam masalah ibadah juga tidak diharamkan. Boleh saja khalifah melakukannya, apalagi jika terkait dengan persatuan umat dan kesatuan negara yang wajib dijaga khalifah, adopsi khalifah harus dilakukan. Jadi meski hukum dasarnya khalifah tak mengadopsi, tapi demi kesatuan umat dan persatuan negara, khalifah akan mengadopsi beberapa hukum ibadah, seperti penentuan waktu ibadah haji, penentuan awal Ramadan, dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal.21).
Dengan demikian, sekalipun penentuan awal dan akhir Ramadan merupakan masalah khilafiyah, namun khalifah harus menyatukan dalam bentuk adopsi hukum. Penetapan hukum yang dipilih harus berdasarkan kekuatan dalilnya. Yaitu pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan rukyatul hilal (bukan hisab) yang diberlakukan di seluruh dunia.
Kesimpulan ini sejalan dengan perkataan Wahbah Az-Zuhaili,”Pendapat jumhur inilah yang rajih menurut saya, untuk menyatukan ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/610, Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari, Taujih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19).
Wallaahu A’lam
