News Breaking
Live
update

Breaking News

Corona, Antara Tawaakal dan Tawakkal

Corona, Antara Tawaakal dan Tawakkal





Oleh: DR KH Ahmad Musta'in Syafi'ie 

(Pengasuh Pondok Pesantren Madrasat ul Qur'an Tebuireng Jombang)




TENTANG virus korona, fatwa sudah banyak dan dalil sudah numpuk-numpuk.

Ada yang fiqih oriented mengedepankan ikhtiar dan kehati-hatian, hingga tak jelas, apakah saking qodariahnya (free act) atau ketakutan.

Ada juga yang pasrah opo jare Gusti Allah, sehingga tidak jelas juga, apa saking jabariahnya (fatalistik) atau dungu.
Hikmahnya, ummat menjadi makin berpengetahuan. Baik dari madzhab jaga-jaga maupun dari madzhab pasrah. 

Yang jaga-jaga mengikuti protokol pemerintah, sangat loyal sekali, hingga membolehkan, bahkan menganjurkan ummat Islam tidak sholat Jum'at, tidak sholat jama'ah di masjid.

Karena, yang dilarang menurut "Madzhab Korona"  adalah "ngumpulnya". Tak peduli ngumpul mubah, maksiat atau ngumpul ibadah. Masing-masing harus melakukan social distancing. 

Dalil mereka antara lain:

Pertama, tidak boleh ada bahaya menimpa diri sendiri dan atau membahayakan orang lain. 

Kedua, Umar bin al-Khattob tidak mau masuk Damaskus yang sudah terpapar wabah akut. Ketika ditegur, Umar malah membentak : min qodarillah ila qodarillah (saya lari dari taqdir Allah, menuju taqdir Allah).
Ketiga, katanya ada riwayat, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mau berjabat tangan dengan pria terpapar penyakit kala prosesi bai'ah al-ridlwan.

Keempat, katanya beliau juga melarang istrinya, A'isyah mengunjungi ayahnya, Abu Bakr yang sedang demam tinggi. 

Kelima, qoidah fiqiyah yang mengedepankan prefensi (dar' al-mafasid) dan lain-lain. Apa Nabi SAW dan Umar tidak ngerti taqdir ?.
Sementara madzhab yang tetap menyeru sholat Jum'at dan jamaa'ah maktubah berdasar : 

Pertama, dalam perang berkecamuk saja sholat berjama'ah masih disyari'atkan (al-Nisa':102).

Kedua, ada jaminan resmi dari Rasulullah SAW, bahwa masjid adalah benteng perlindungan orang beriman dari wabah. 
Ahli masjid, pejama'ah aktif tidak akan terkena wabah. 

Ketiga, memang Rasulullah SAW dan Umar RA menghindari wabah, tapi kala itu jum'atan dan berjama'ah jalan terus. 

Keempat, hukum dasar berobat adalah mubah (al-ashl fi al-tadawi al-ibahah). Segudang contoh orang-orang sholih yang tidak mau berobat.
       
Memilih tidak jum'atan, tidak berjama'ah memang benar, tapi nampak kurang percaya terhadap jaminan perlindungan keamanan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Kurang punya ghirah terhadap pahala-pahala yang diguyurkan Allah di dalam masjid.  Ada pahala berlipat-lipat, ada rahmat dan ada keberkahan. 

Sebaliknya, memilih jum'atan dan sok "lillahi ta'ala" juga tidak benar.
Karena Tuhan mengajari kita agar menjaga diri. 

(Tanpa ikhtiyar, hanya pasrah, namanya TAWAAKAL,  ada alif setelah waw.  Sedangkan ikhtiar dulu, baru pasrah, namanya TAWAKKAL. Huruf waw ditasydid).

Rasanya, di negeri ini lebih maslahah masjid-masjid tetap ramai dengan Slsholat jama'ah dan hum'at, tadarus dan munajah dengan tetap usaha sesuai protokol pemerintah

Semua masjid, musholla disemprot anti virus, disediakan sanitasi bersih, cairan anti septic di pintu, membawa sajadah sendiri-sendiri, shoff sedikit renggang dan tanpa jabat tangan usai shalat.

Jangan samakan antara masjid dengan tempat umum. 

Masjid adalah tempat ibadah, tempat suci yang hanya dihadiri oleh orang-orang yang sudah bersuci lebih dahulu sebelum masuk masjid. 

Tempat berkomunikasi intensif dengan Allolah yang menurunkan korona. 

Justeru dengan pendekatan dan lobi di tempat ini, Allah lebih respon dan welas asih.  Tidak sama dengan tempat lain
Dhuhur di Masjid Istiqlal (?)
Aneh dan tidak dimengerti apa yang terjadi di Masjid Istiqlal Jakarta Jumat kemarin. 

Para jama'ah sudah ngumpul di nasjid, shaff renggang, lho kok sholat dhuhur dan tidak sholat jum'at? Ini fiqih apa ?
Konversi sholat jum'at ke dhuhur itu karena alasan "udzur", wabah dan lain-lain yang tidak memungkinkan ngumpul. 

Maka kaum muslimin mengisolasi diri dengan sholat dhuhur di rumah masing-masing. "Shallu fi Rihalikum", atau "Shallu fi buyutikum". 

Lha wong sudah ngumpul semua di masjid kok tidak jum'atan? Apa alasannya? Apa tidak dosa sengaja meninggalkan jum'atan macam itu?
Ini namanya ibadah malang kadak
  
Kayak upaya pemerintah yang me-lockdown sebagian komunitas, sekolah, kampus, pondok pesantren termasuk masjid dan lain-lain. Padahal mereka orang-orang bersih dan terdidik.

Sementara pasar dan tempat kumuh lainnya dibiarkan. Lockdown malang kadak.

Memang penyakit itu lintas agama. 
Tak pandang agamanya apa. 
Bila lemah, ya kena. Tapi kami yaqin, haqqul yaqin, bahwa Islam lebih sempurna memberi panduan. Tidak hanya pakai kurikulum "puskesmas" saja, melainkan juga kurikulum "masjid". 

Usulan tetap memakmurkan masjid di tengah corona bukan melawan kurikulum puskesmas, karena setelah lebih dahulu mematuhi kurikulum puskesmas
seperti disteril, cuci tangan, jaga jarak dan lain-lain. 

Tidak pula melawan fatwa pembolehan tidak Jum'atan atau berjamaah, justru membantu pemerintah dalam penanganan korona. 

Masjid adalah tempat sujud, tempat mengadukan semua problem kepada Dzat yang Maha Kuasa. Apalagi dilakukan secara kolosal dan demonstratif (berjama'ah), maka Allah tak tega menolak. Jika Anda yakin ini, maka izinkan masjid membantu percepatan penyelesaian corona dengan caranya sendiri. 

Untuk itu, datanglah besopan-sopan ke Rumah-Nya, seperti anda beramai-ramai datang ke Istana menuntut sesuatu
Di masjid, Allah telah lama menunggu kedatangan kalian. 
Saatnya berik'tikaf menyeluruh, Muhasabah dan Istighfar, serta membuka pintu masjid di malam hari.

Saatnya semua ber-QUNUT NAZILAH secara tadlarru' wa khufyah. 

Simak salah satu penggalan kata dalam qunut nazilah. ".. Allahumma idfa' 'anna al-bala' wa al-waba' wa al-ghola'...". (tangkislah kami dari bala, wabah dan ghola). 

Ada keterkaitan antara ketiganya : al-bala' (cobaan, bilahi :  Jawa), al-waba' (wabah, korona), al-ghola' (harga mahal). 

Terbaca, bahwa masjid tidak hanya memproyeksikan dihilangkannya corona saja, melainkan juga bala' yang lain, bahkan memohon stabilitas ekonomi yang bisa terjadi akibat dampak wabah. 

Betapa banyak orang yang tega mengeruk untung dari sekedar penjualan masker, jahe dan temulawak.  Belum lagi kalau "lock down", maka kebutuhan pokok jadi rebutan. Sungguh hal yang tidak terjangkau oleh kurikulum puskesmas. Dan itu hanya bisa dilakukan bersama di masjid.

Dalam sejarah orang-orang sholih terdahulu, tidak ada Qunut Nazilah yang tidak efektif. Semua problem terselesaikan di luar nalar. Padahal zaman dulu, penanganan wabah secara medis tidak secanggih sekarang.   

Kedua, benar-benar ada jaminan dari hadlroh Rasulullah SAW, bahwa Allah Swt tidak akan menimpakan wabah kepada ahli masjid, 'ummar al-masjid. 
Jika anda percaya sabda Nabi ini, maka yakinlah bahwa Allah tidak mungkin menebar COVID-19 di rumah-Nya sendiri.

Maka, bagi yang sudah positif terpapar, ya jangan ke masjid. 
Sekali lagi, karena ahli masjid adalah orang-orang bersih, lahir dan batin, " fihi rijal yuhibbun an yatatahharu" (al-Taubah:108). 

Sementara kerumunan di luar masjid, mall, pasar, resepsi, wisuda, doa bersama dan tempat ibadah agama lain tidak ada jaminan.    

Ketiga, corona ini bisa jadi sebagai tes keimanan bagi umat Islam terkait kepeduliannya dengan Mlmasjid. Bukankah, hanya orang yang beriman saja yang setia memakmurkan masjid (al-Taubah:18)? 

Bagi yang tidak pernah ke masjid memang tak ada beda, diwajibkan, apalagi dilarang. Tapi tidak bagi yang biasa ke (sobo : jawa) masjid. Rasanya ada yang hilang. 
Bukankah Allah juga welas asih kepada seseorang yang hatinya "gumantung" di masjid, "rojul qolbuhu mu'allaq fi al-masajid" (Hadits). 

Indah sekali, bila Wakil Presiden Kiai Makruf Amin mempelopori sisi masjid, sementara pak Jokowi sisi puskesmasnya. 

Tulisan ini sekadar mengimbangi pemikiran fiqih yang lebih fokus ke akaliah dengan mengajak sedikit naik ke zona ilahiah

 Hadaanallah ... semoga Allah memberi hidayah kepada kita

Aamiin....


Judul asli: Corona Merebak, Ibadah Malak Kadak  

Tags