News Breaking
Live
update

Breaking News

Pembantaian di Pesta Pernikahan Agustus 1949, Gara-Gara Informan Salah

Pembantaian di Pesta Pernikahan Agustus 1949, Gara-Gara Informan Salah



TanjakNews.com, Historia -- Pembantaian terjadi 1 Agustus 1949, atau sembilan hari sebelum gencatan senjata antara Belanda dan Republik Indonesia, di sebuah rumah milik Somadihardja. Malam itu, Somadihardja sedang menggelar pesta pernikahan keponakanya, dengan menggelar pertunjukan wayang orang.

Hari naas itu, sebuah patroli militer Belanda dikirim ke Tjilatjap (Cilacap). Patroli berakhir dengan tragedi karena informasi yang tidak memadai, tugas yang tidak jelas dan kesalahan taktis selama operasi. Tercatat 26 pria Indonesia, wanita dan anak-anak tewas dan 33 luka-luka. Tidak ada korban di pihak Belanda. Peristiwa dan akibatnya dijelaskan dalam Nota Kelebihan dari tahun 1969 dan oleh Rémy Limpach dalam bukunya The Burning Kampong of General Spoor.

Bronbeek Museum menyimpan salinan hasil investigasi tragedi itu. Dokumen itu berisi rincian tindakan Korps Militaire Politie (KMP), atau Korp Polisi Militer, Investigasi Kepolisian Daerah, serta laporan medis. Namun, tidak adanya laporan patroli dan ketidak-jelasan siapa yang lebih dulu menembak, membuat dokumen itu gagal menjelaskan apa yang terjadi di Gunung Simping.

Pembantaian Gunung Simping terjadi Senin tanggal 1 Agustus 1949, dan diawali oleh laporan M -- informan usia 20 tahun tanpa kepandaian sebagai intelejen. Ia juga staf prajurit dua infanteri D van der Ent.

M memberi tahun Van der Ent tentang adanya sekitar 50 prajurit TNI di sebuah rumah di Gunung Simping -- sekitar tiga kilometer dari pusat kota Cilacap. M mengatakan melihat sendiri sekitar 50 prajurit TNI berada di rumah itu pada pukul 19:15.

Tidak hanya itu, M secara rinci menyebutkan prajurit TNI itu mengenakan seragam hijau dan kepolisian. Sekitar 20 prajurit TNI bersenjata karaben. M mendesak Van der Ent mengirimkan patroli.

Van der Ent meneruskan laporan M ke Lenan Satu  DG Franken, perwira intelejen batalion berusia 31 tahun. Franken menganggap laporan M cukup valid, karena sang prajurit mengaku melihat sendiri sejumlah prajurit TNI.

Franken membawa laporan ini ke Letkol JT Bastiaanse, komandan batalion. Tidak disebutkan secara eksplisit apa perintah Letkol Banstiaanse. Yang pasti, yang komandan batalion mendatangi Soewito, wedana Cilacap saat itu, untuk menginformasikan tindakan yang akan dilakukan.

Wedana Soewito tidak memberi tahu Letkol Bantiaanse bahwa pesta pernikahan sampai larut malam di rumah Somadihardja telah mendapat ijin resmi. Asisten Wedana Raden Mas Koessoehardjo tidak memberi tahu Lettu Franken bahwa pesta pernikahan di Gunung Simping telah mendapat ijin.

Patroli tempur terdiri dari 15 tentara, termasuk dua sopir, dipersiapkan. Mereka bukan prajurit tempur organik. Sebagian dari mereka tahu apa yang akan dihadapi, lainnya tidak. Mereka membawa tiga senapan mesin ringan.

Mereka berangkat dengan dua truk menuju kantor intelejen. M, informan pembawa petaka, dan Van der Ent ikut dalam patroli ini. Lainnya adalah seorang warga sipil dan informan dari dinas intelejen. Total personel yang terlibat adalah 19 orang.

Lettu Franken mengambil posisi di sisi kampung untuk mengamati situasi. Dari sini dia tahu rumah Somadihardja memiliki pendopo dan peternakan. Ada sekitar 400 orang; pria, wanita dan anak-anak, berkumpul menyaksikan gamelan. Tidak satu pun dari 400 orang itu mengenakan seragam TNI dan tidak satu pun membawa senjata.

Semua yang dilihat Lettu Franken tidak sesuai dengan informasi intelejen. Ia memutuskan mengambil langkah menarik pasukan. Kepada prajurit terdekat, Lettu Franken memerintahkan agar meneruskan informasi ke setiap komandan regu di sekitar rumah itu.

Lettu Franken ragu dan berjalan ke sisi timur rumah untuk melihat lebih dekat ke arah pendopo. Di sisi selatan pendopo Franken mengaku melihat orang-orang yang mencurigakan.

 Ia bergerak lebih dekat lagi ke pendopo. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Franken mendengar desing peluru di atas kepalanya. Tidak jelas siapa yang menembak.

Hening sejenak. Tiba-tiba, penonton wayang kulit berlarian sambil berteriak. Beberapa tersungkur ke tanah diterjang peluru senapan mesin ringan. Orang-orang yang berlari ke belakang rumah juga dihadang berondongan senapan mesin ringan. Nyaris tidak ada celah untuk lari bagi penduduk, dan tidak ada tembakan balasan dari rumah Somadihardja.

 Tidak diketahui berapa lama penembakan berlangsung. Yang pasti sangat singkat. Sersan Houwig mengatakan penembakan berhenti tanpa ada perintah. Lettu Franken sempat mengaku menghentikan tembakan, tapi dibantah orang-orang yang dekat dengannya saat insiden terjadi.

Rupanya mereka tak mendengan seruan ceasefire atasannya itu.

Franken  dipersalahan melanggar Panduan Operasi, dengan menembak sebelum ada tembakan dari pihak lawan. Lebih mengenaskan lagi, Franken tidak berusaha menyelamatkan penduduk yang terluka dan membawanya ke rumah sakit setelah tembakan berhenti.

Investigasi terhadap insiden ini menyebutkan tidak ada bukti kehadiran TNI di rumah itu. Saksi dari penduduk desa juga mengatakan tidak melihat orang bersenjata saat pesta berlangsung. Tidak pernah ada orang berseragam TNI datang ke tempat itu. Jadi, satu-satunya orang yang mengaku melihat TNI di pesta itu adalah M, si informan.

Semua yang terlibat dalam insiden itu diseret ke pengadilan militer. Pada sidang 8 Agustus 1949, M mengakui bahwa laporannya berdasarkan informasi pihak ketiga, yaitu orang pribumi. Disebutkan, yang akan hadir pada pesta di rumah Somadihardja adalah seorang perwira TNI. Ia mengaku mengecek kebenaran berita itu, dan melihat personel TNI di rumah itu pada pukul 16:00 tanggal 1 Agustus 1949.

 M juga bukan anggota dinas intelejen. Ia tidak fasih berbicara Bahasa Melayu dan Jawa. Bukan tidak mungkin ia keliru menafsirkan informasi yang diterimanya. Insiden ini memperlihatkan kelemahan tentara Belanda yang beroperas di Pulau Jawa.

 Dalam sidang 12 September 1949, Lettu Franken -- orang paling bertanggung jawab atas pembantaian itu -- dibebaskan dari segala tuduhan karena kurangnya bukti. AHJ Lovink, perwakilan tertinggi Kerajaan Belanda di Indonesia, juga melihat perisitwa Gunung Simping bukan kesengajaan. Namun pengacara korban tetap menuntut Lettu Franken dibebaskan dari tugas militer. (*)

https://javapost. nl/2017/04/05/een-bloedbad-in-goenoeng-simping/




Tags