Pilkada 2020 Dalam Empat Klaster
Oleh: Indra J Piliang
TanjakNews.com, Perspektif -- Pernah belajar manajemen strategik organisasi? Kombinasi seni dan ilmu berdasarkan pengalaman terdahulu dan pembayangan masa datang. Kerumitan yang sederhana. Lautan berupa tetesan. Prioritas acak. Prosesi aliran yang struktural.
“Ada orang memanah rembulan!”
Begitu tulis WS Rendra dalam sajak 1974. Aksi demonstrasi anti produk asal Jepang sedang semarak. Rembulan yang dimaksud Rendra bisa saja bendera Jepang yang berupa matahari.
Yang jelas, kalimat itu lebih tajam dibanding samurai. Mahasiswa bergerak di sebagian besar kampus. Tentara bereaksi. Para jenderal bertarung loyalitas. Negara-negara industri luar berkacak pinggang. Sebagai produsen benda konsumtif, mereka antri bukan di depan loket-loket resmi. Jalan tikus dalam labirin berliku lebih diminati.
Bukan kertas yang berada dalam lipatan amplop, tapi uang cetakan pabrikan terbaru. Halaman kwitansi ditulis kosong. Birokrasi terdiri dari barisan meja-meja acak yang saling membelakangi. Brangkas arsip berjamur, saking jarang diperbaharui. Administrasi amburadul. Undangan dansa-dansi berseliweran, bergantian. Arisan menjadi ritual. Dosa sosial dilabel bagi mereka yang jarang datang walau dengan alasan sembahyang. Kalimat yang ditulis berpantang panjang, asal intonasi bersiponggang.
Kondisi 45 tahun lalu tentu berbeda dengan sekarang. Dalam konteks tulisan ini, pilkada 9 Desember 2020 menjadi objek. Manajemen strategik seperti apa yang dijalankan negara ini, agar pilkada memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan publik? Aroma yang mengemuka justru terbalik. Pilkada bergaung bagai proses persalinan (reproduksi) kekuasaan, ketika pandemi dan bayangan resesi sedang menghadang.
Aroma persalinan kekuasaan yang berbau elitis itu, bisa dibaca lebih jelas lagi kala pilkada dibagi ke dalam empat klaster daerah.
Pertama, daerah dengan populasi besar, sekaligus kaya sumberdaya alam.
Kedua, daerah dengan populasi besar, sekaligus miskin sumberdaya alam.
Ketiga, daerah dengan populasi kecil, sekaligus kaya sumberdaya alam.
Keempat, daerah dengan populasi kecil, sekaligus miskin sumberdaya alam.
Silakan masukan saja data, daerah-daerah mana yang dimaksud. Klaster pertama semakin sulit ditemukan. Sumberdaya alam terdesak oleh populasi manusia yang terus berbiak. Lahan-lahan subur bahkan berubah menjadi perumahan. Apabila eksplorasi terjadi, bisa dipastikan gesekan yang ditimbulkan dengan manusia bakal menarik perhatian aktivis dan vokalis. Pembangunan pabrik semen di Jawa adalah contoh terbaik. Kekayaan alam yang tidak seberapa, namun perlu dimanfaatkan guna menekan biaya produksi dan transportasi.
Klaster kedua bisa jadi terdapat di seluruh Pulau Jawa. Enampuluh lima persen penduduk Indonesia berada di pulau Jawa. Angka yang dilihat sebagai sumber kekuasaan yang utama. Walau pilpres baru saja usai tahun lalu, aroma bakal terjadi pertarungan pra-pilres 2024 semakin terlihat. Bahasa yang muncul dari kalangan elite politik seolah seragam. Bahwa sosok-sosok yang diusung tahun 2020 ini adalah loyalis-loyalis yang bisa mengamankan perolehan suara dalam pilpres 2024.
Tak heran, kalau proses penetapan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah di pulau Jawa terasa lebih cepat, ketimbang di daerah lain. Gejolak politik juga tak banyak terjadi. Kesepakatan atau ketidak-sepakatan sama-sama bernilai suara. Jika di satu daerah satu partai bersuara sikeras menolak pasangan calon tunggal, di daerah lain partai yang sama bekerja-sama tanpa suara. Publik bisa saja fokus atas satu daerah saja, namun masing-masing partai memegang data di seluruh daerah. Tidak terjadi pola koalisi mirip pilpres 2019 sama sekali.
Nah, klaster ketiga justru banyak meletupkan konflik atau minimal gesekan. Baik di internal partai sendiri, atau antar partai. Sedikit manusia, kaya sumberdaya alam, adalah “kutukan” yang setiap saat bisa berubah menjadi blood diamond. Darah di daerah penghasil berlian. Hanya saja, terjadi semacam “kesepakatan buta” di kalangan pengelola media massa, guna mengacuhkan gesekan-gesekan yang terjadi. Hanya media-media lokal yang memuat, terutama online.
Tentu saja gesekan-gesekan itu tak meluas. Tokoh-tokoh daerah tak memiliki jejaring dukungan yang kuat. Merekapun terpecah, terbelah, dan terserak. Sumbu api terlalu pendek. Mudah dipadamkan dengan bangunan kesepakatan baru.
Klaster keempat adalah daerah yang paling sedikit mendapat perhatian. Tidak ada yang perlu diperhatikan dalam teropong elite Jakarta. Bisa jadi, malah abaikan saja. Upaya memperhatikan daerah-daerah yang masuk klaster keempat ini hanya menambah beban biaya bagi elite-elite politik sendiri. Bukan saja dari sekarang, namun terus menerus nanti setelah tokoh-tokoh lokal yang didukung mendapatkan posisi. Salah-satunya, dalam bentuk alokasi dana ataupun proyek pembangunan vital.
Padahal, dalam kerangka manajemen strategik, keempat klaster itu adalah modal dasar Indonesia. Tak heran, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan China dalam mendidik para politisi untuk mendapatkan jabatan publik. Sosok-sosok terunggul, justru dikirim ka daerah-daerah yang termiskin atau terkebelakang. Sulit bagi penulis menyebut nama. Sebab konduite mereka sama sekali sulit dibuka dalam jenis pendidikan politik dan pemerintahan yang pernah ditempuh. Berbeda dengan mereka yang menempuh pendidikan di kepolisian atau militer.
Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, manajemen sumberdaya manusia dalam klaster-klaster kepemimpinan masih saja amburadul. Betul, kemenangan adalah tujuan yang wajib diraih oleh setiap partai politik. Tapi bukankah siapapun tahu bahwa sistem multipartai di Indonesia sama sekali tak bakal menghasilkan satu partai politik mayoritas di parlemen nasional atau daerah? Tak banyak partai yang mampu meraih kursi lebih dari 50% di daerah. Dan makin seikit lagi jika dicari data daerahnya.
Baik, sebelum telinga para dewa politik memerah, penulis berhenti di sini. Pandemi Covid 19 ternyata sudah lama terjadi di dalam ranah politik kita…
*Penukil The Yellow Teratai dan Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara