News Breaking
Live
update

Breaking News

Si Koebil, Tjerita Roman 1938

Si Koebil, Tjerita Roman 1938



๐’๐ˆ ๐Š๐Ž๐„๐๐ˆ๐‹
Ringkasan Kisah Bacaan Sastra “๐“๐ฃ๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐‘๐จ๐ฆ๐š๐ง” No. 109, Januari 1938. 
Oleh: ๐ƒ๐š๐ง๐ง๐ฒ ๐“๐ฃ๐ข๐š

“๐’๐ข ๐Š๐จ๐ž๐›๐ข๐ฅ”, demikian judul novel karya ๐ˆ๐ง๐ฃ๐จ ๐๐ข๐š๐ง ๐‡๐ข๐ž๐ง untuk bacaan sastra “๐“๐ฃ๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐‘๐จ๐ฆ๐š๐ง” yang terbit bulan Januari 1938. "Koebil" sendiri adalah julukan bagi Isao Oyama, seorang matroos (pelaut) Jepang yang bertubuh gagah dan berparas cakep, namun matanya agak tebal. Orang Batavia menjulukinya “si mata bandel” atau “Si Koebil”.     

Sebagai seorang pelaut sekaligus officier kapal perang Japan yang tengah bersandar di pelabuhan Tandjong Priok, Isao Oyama tergolong pemuda cerdas. Ia sangat fasih berbahasa Belanda dan Melayu, selain bahasa ibunya, yaitu bahasa Jepang. Namun, dibalik kecerdasan yang dimiliki, Isao Oyama mempunyai sifat buruk, suka berbohong dan mempermainkan perempuan.

Kisahnya diawali dari perkenalan Isao Oyama dengan Oey Kim-hwa alias Hilda Oey, putri almarhum Oey Tjeng-san, saudagar kain terbesar di Pasar Baroe, Batavia. Hilda Oey mempunyai kakak bernama Oey Kiem-seng alias John Oey. Perkenalan tak terduga itu bermula dari ajakan sang kakak dan seorang kawannya, Lauw Lip-ban, untuk mengunjungi Tandjong Priok karena ingin melihat kapal perang Japan yang konon mampu meruntuhkan pertahanan pantai negeri Tiongkok.

John Oey dan Lip-ban yang merasa senang bisa melihat-lihat peralatan kapal perang, lupa meninggalkan Hilda Oey di belakang, berjalan beriring dengan sang officier, Isao Oyama. Hilda yang belum berpengalaman dalam pergaulan begitu cepat terpesona oleh penampilan dan cara bertutur Isao Oyama, sehingga bagai terhipotis ia tidak keberatan saat “si koebil” meminta alamat tempat tinggalnya di Pasar Baroe.

Perkenalan tak terduga itu lalu berlanjut dengan kunjungan Isao Oyama ke rumah nyonya Tjeng-san untuk menemui Hilda Oey. Awalnya nyonya Tjeng-san tidak menaruh curiga pada maksud kedatangan “si koebil” dan perasaan hati anaknya. Justru Lip-ban yang merasa cemburu, karena diam-diam ia menaruh hati pada adik temannya yang berparas cantik dan lembut ini. Dalam hal merebut hati Hilda Oey, saingan Lip-ban sebenarnya adalah Gan Tiam-seng, pemuda Bandoeng yang berasal dari keluarga sederhana, tidak sekaya keluarga Lip-ban.

Nyonya Tjeng-san sejatinya sangat senang bila Hilda Oey kelak bisa berjodoh dengan Tiam-seng. Meski bukan berasal dari keluarga berpunya, teman John Oey ini berhati lembut dan sangat memegang adat kesopanan. Sementara Lip-ban, selain berpembawaan agak kasar juga sedikit sombong dan mengandalkan kekayaan orangtua. Tapi belakangan nyonya Tjeng-san merasa heran oleh perubahan sikap Hilda yang sering murung dan menyendiri dalam kamar. Saat ditanya, barulah Hilda mengaku bahwa dirinya telah jatuh cinta pada “si koebil”. Atas nasihat sang ibu, sebagai anak yang berbhakti pada orangtua, Hilda menjauhi “si koebil” dengan cara menolak menemui lelaki tersebut saat ia berkunjung ke rumahnya. 

“Si koebil” yang penasaran akan perubahan sikap Hilda Oey berusaha mencari keterangan lewat asisten rumahtangga nyonya Tjeng-san, tapi tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Karena dorongan nafsu dan keinginan “menaklukkan” Hilda Oey, “si koebil” rela meninggalkan dinas militernya dan memutuskan tinggal sementara di Batavia untuk mencari jawab tentang penyebab penolakan cintanya pada Hilda. Ia berkemas dan melarikan diri sesaat sebelum kapal perang Japan bertolak meninggalkan pelabuhan Tandjong Priok.

Hilda Oey yang sangat menyukai ilmu ekonomi, dan sejak lama bercita-cita melanjutkan pendidikan di Jepang, bak gayung bersambut saat ia mengalami pertemuan tak terduga untuk kali kedua dengan “si koebil” di bilangan Glodok, Batavia. Kisahnya berawal dari keributan kecil saat Hilda Oey tanpa sengaja menabrak seorang lelaki Indo Belanda saat berjalan di trotoar. Kata-kata kasar meluncur dari mulut lelaki tersebut. Hilda Oey yang merasa terhina berusaha membela diri dan menjelaskan duduk perkaranya. Tapi si lelaki Indo Belanda tidak terima dan Hilda nyaris terkena tampar andai tidak ada tangan kuat yang sigap menangkap pergelangan tangan lelaki Indo Belanda tersebut. Sang penolong tidak lain adalah “si koebil” yang kebetulan sedang minum kopi di kedai bilangan Glodok.

Merasa telah ditolong, Hilda Oey tidak kuasa berbohong saat “si koebil” menanyakan alasan sesungguhnya ia menghindar dari kunjungannya. Setelah mengetahui bahwa nyonya Tjeng-san menolak “si koebil” karena alasan politik pemerintah Jepang terhadap negeri Tiongkok, Isao Oyama berusaha meyakinkan Hilda Oey bahwa dirinya tidak terlibat urusan politik pemerintah Jepang. Hal itu dibuktikan dengan keberadaannya di Batavia meski kapal perang Japan sudah bertolak meninggalkan pelabuhan Tandjong Priok. Dan setelah mengetahui bahwa Hilda Oey berminat melanjutkan pendidikan di Jepang, “si koebil” dengan ramah menawarkan jasa untuk membantu segala keperluan Hilda selama di Jepang, termasuk mengurus visa perjalanannya.

Karena tekad bulat Hilda Oey untuk melanjutkan pendidikan di Jepang, nyonya Tjeng-san yang tidak mengetahui persoalan sesungguhnya tak kuasa menolak keinginan putrinya tersebut. Apalagi bantuan “si koebil” tidak dilakukan secara berterang. Bahkan saat keluarga melepas kepergian Hilda Oey di atas kapal “Tjinegara” dari kongsi Java China Japan Lijn, “si koebil” bersembunyi di antara kerumunan penumpang yang lalu-lalang. 

Di tengah kisah, Injo Bian Hien menulis: “Tida semoea manis ada goela; Tida semoea pait ada obat; Apa jang manis bermoela; Bisa bikin kaoe kepaitan heibat.” Larik-larik kalimat puitis ini ada benarnya. Karena beberapa saat setelah tinggal di Jepang, dimana Hilda Oey dan “si koebil” sudah merasakan madunya cinta, perlahan Isao Oyama menghindar dari Hilda Oey. Ia semakin jarang berkunjung ke tempat mondok Hilda Oey selama melanjutkan pendidikan di Jepang. Kenyataan ini menggelisahkan hati Hilda Oey. Karena tak kuat menahan rasa penasaran, putri nyonya Tjeng-san ini akhirnya menceritakan permasalahan yang dihadapi pada kawan barunya yang cukup dipercaya, yaitu Nara Iyumi. 

Awalnya Hilda Oey tidak percaya dengan keterangan Nara Iyumi bahwa Isao Oyama yang ia kenal sebagai “si koebil” adalah lelaki yang gemar berlaku bohong dan suka mempermainkan perempuan, bahkan sudah beristri dan beranak dua. Meski hatinya menjadi gelisah, Hilda Oey tidak bisa menerima begitu saja informasi yang didapat sebelum membuktikan sendiri. Tetapi ia menolak ajakan Nara Iyumi untuk mengunjungi rumah “si koebil”, sebab jika informasi itu benar adanya, Hilda tidak ingin menyakiti hati istri Isao Oyama. Namun kebenaran selalu mengunjuk bukti. Saat mengunjungi sebuah perayaan di kota Tokyo, Hilda Oey melihat sendiri lelaki yang berjuluk “si koebil” itu memang sudah berkeluarga dan mempunyai anak dua.

Karena rasa kecewa yang teramat berat, Hilda Oey berkirim surat ke ibunya untuk meminta sejumlah uang karena ia telah memutuskan tidak lagi melanjutkan pendidikan di Jepang. John Oey yang khawatir diperdaya oleh sang adik, mengusulkan kepada ibunya untuk mengirim sedikit uang saja dan tiket kapal pulang melalui agen perjalanan. Sementara Hilda yang gelisah menanti hari kepulangannya ke Batavia jadi teringat akan kawan-kawan John Oey yang agaknya menaruh hati padanya. Ia mulai membandingkan sifat dan tabiat Lip-ban dan Tiam-seng. Dalam hati ia mulai membenarkan nasihat ibunya bahwa Tiam-seng adalah jodoh yang tepat baginya. Selain berhati lembut dan memegang adat kesopanan, sifat rajin Tiam-seng sangat cocok bila kelak mengelola usaha dagang bersama.

“Tjinta bisa bikin orang djadi goembira; Djoega tjinta bisa bikin orang sengsara; Dengan tjinta orang bisa hati patah; Dengen tjinta djoega orang bisa nekat memboeta.” Itulah yang dialami oleh Hilda Oey sekembali ke Batavia. Setelah ada kesepakatan antara keluarga nyonya Oey Tjeng-san dan keluarga entjim Gan Liong-koen untuk menjodohkan kedua anak mereka, maka Hilda Oey menikah dengan Gan Tiam-seng. Pernikahan berlangsung cukup meriah, tapi tidak terlalu bermewah. Namun pernikahan mereka membuat hati Lauw Lip-ban membara, karena ia yang merasa lebih kaya dan lebih terhormat telah dipandang sebelah mata oleh keluarga nyonya Oey Tjeng-san, terlebih oleh Hilda Oey sendiri. Maka Lip-ban mulai merancang upaya untuk balas dendam.

Dengan alasan ikut bersuka atas keberhasilan Tiam-seng merebut hati Hilda, sebagai sahabat lama Lip-ban menjamu Tiam-seng makan siang di sebuah rumah makan mewah. Alih-alih ingin menyenangkan sahabat, Lip-ban ternyata berniat meracun Tiam-seng dengan menaburkan bubuk racun ke gelas minuman Tiam-seng saat sahabatnya berpamit ke belakang. Saat kembali ke tempat duduk, muncullah Hilda Oey yang secara mendadak datang menyusul sang suami setelah mendapat informasi menghadiri jamuan dari Lip-ban. Karena merasa haus, ia segera mengambil gelas yang tersaji di hadapan sang suami dan meminumnya. Lip-ban tidak berani mencegah, karena ia khawatir perbuatan kejinya terbongkar. Tiam-seng yang melihat istrinya mengeluh sakit perut setelah minum dan sempat muntah-muntah segera membawanya pulang karena khawatir Hilda Oey masuk angin dan tidak biasa minum minuman yang tersaji. Tapi sesampai di rumah kondisi Hilda semakin parah dan dokter yang dipanggil tak kuasa mengobati karena racun sudah bercampur dengan darah. Nyawa Hilda tidak dapat diselamatkan dan hati Tiam-seng menjadi hancur karena ditinggal istri yang baru dinikahi. 

Dalam kehancuran dan keputusasaan, Gan Tiam-seng berangkat menuju Shanghai menjadi sukarelawan untuk menghalau invasi militer Jepang ke kota tersebut. Di Shanghai ia bertemu Isao Oyama yang ditugaskan kembali oleh negerinya untuk menjadi serdadu di kapal perang Izumo. Saat membaca lembaran suratkabar “Shi Pao”, “si koebil” menemukan foto pernikahan Gan Tiam-seng dengan Hilda Oey berikut keterangan bahwa Gan Tiam-seng saat itu telah menjadi sukarelawan pasukan udara Tiongkok yang ditempatkan di kota Shanghai. Amarah “si koebil” membuncah karena ia berkesimpulan pulangnya Hilda dari Tokyo ke Batavia tidak lain karena alasan menikah dengan pria yang kini menjadi musuh negerinya tersebut. Ia memaksa masuk barak militer pasukan udara untuk menemui Tiam-seng. Karena tidak ada surat ijin dari pembesar yang berwenang, maka upaya paksa “si koebil” berakhir dengan kematian. Kebetulan Tiam-seng sendiri yang memerintahkan prajurit bawahannya untuk melepaskan tembakan pada “si koebil” yang tetap nekat memaksakan kehendak.


Dari Mawar Merah (Fb)


Tags