News Breaking
Live
update

Breaking News

Asfinawati Sesalkan Putusan MA Terkait Perkara Pelecehan Seksual Mantan Dekan Fisip Unri

Asfinawati Sesalkan Putusan MA Terkait Perkara Pelecehan Seksual Mantan Dekan Fisip Unri




tanjakNews.com, PEKANBARU – Berbagai pihak menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA), yang membebaskan mantan Dekan Fisip Unri, Syafri Harto, terkait putusan tidak terbukti bersalah atas dugaan pelecehan terhadap L mahasiswinya, di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Sejumlah koalisi gerakan anti kekerasan seksual menilai putusan MA tersebut menciderai upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Sebelumnya Mahkamah Agung Republik Indonesia, menolak permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum pada kasus kekerasan seksual dengan terdakwa mantan Dekan FISIP Unri, Syafri Harto. 

Mereka memandang putusan yang dilakukan Majelis Hakim Agung yakni Sri Murwahyuni, Gazalba Saleh, dan Prim Hariyadi ini, menjadi preseden buruk bagi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia.

Asfinawati selaku pemeriksa (eksaminator) kasus kekerasan seksual mantan Dekan Fisip tersebut, menyesalkan putusan yang diambil Hakim Agung. 

Hakim kata Asfinawati, secara tidak langsung hanya menganggap kejahatan dapat dipidana jika dibuktikan dengan saksi mata. Tanpa, mempertimbangkan hasil kajian terhadap putusan PN Pekanbaru dalam eksaminasi dan amicus curiae yang telah dikirimkan beberapa akademisi serta kelompok sipil lainnya. 

“Putusan ini membuat kelam nasib korban, tapi yang tidak disadari memberi pesan bahwa hanya kejahatan yang ada saksi mata langsung yang dapat dipidana. Suatu kemunduran,” sesal Asfinawati.

Rekannya sesama eksaminator Lidwina Inge Nurtjahyo, mendorong kehadiran negara melakukan re-edukasi bagi hakim yang bertugas.

Inge sapaan akrabnya berpendapat, hakim-hakim yang bertugas belum baik pemahamannya menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kemudian, berakibat buruk penanganan terhadap kasus tersebut.

"Penting bagi pemegang otoritas untuk mempertimbangkan ulang dan melakukan re-edukasi terhadap hakim-hakim yang tidak memiliki pemahaman terhadap kondisi korban kekerasan seksual. Putusan bebas bagi pelaku kekerasan seksual adalah bom waktu bagi masyarakat,” ujar Inge.

Pandangan tentang beratnya penegakan hukum kasus kekerasan seksual, disampaikan eksaminator lainnya bernama Nur Hasyim. Akademisi UIN Walisongo Semarang ini menyatakan, prihatin atas putusan MA yang membebaskan SH. Kendati telah ada Permendikbudrisetk No. 30 PPKS dan UU TPKS. 

“Ini membuktikan bahwa sistem hukum di Indonesia belum mampu berpihak terhadap korban kekerasan seksual. Putusan MA yang membebaskan SH, terjadi setelah UU TPKS diundangkan dan diberlakukannya Permendikdub tentang pencegahan kekerasan seksual di Kampus,” kata Nur Hasyim.

Menurutnya, putusan itu menunjukkan betapa sistem hukum kita belum berpihak kepada perempuan korban. 

“Artinya putusan ini mengindikasikan akan ada tantangan berat implementasi UU TPKS dan Permendikbud ke depan. Perjuangan masih panjang untuk memastikan UU TPKS dapat diimplementasikan di Indonesia,” ucap Hasyim.

Pakar hukum Ahmad Sofian, turut menyesalkan Hakim Agung yang tidak mempertimbangkan secara sungguh-sungguh penerapan pasal pencabulan terhadap terdakwa. Hakim Agung lanjut dia, tidak memperhatikan konteks relasi kuasa antara terdakwa dengan korban. 

Dalam kasus ini, jelas Ahmad Sofian, konteks relasi kuasa inilah yang menjadikan korban tidak berdaya dan mengalami tekanan psikologis.
Dia menilai Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan secara sungguh-sungguh tentang penerapan pasal perbuatan cabul yang dilakukan oleh terdakwa, karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara dekan dan juga dosen pembimbing dengan mahasiswa. 

“Relasi kuasa ini membuat seolah-olah tidak ada ancaman atau ancaman tidak bisa dibuktikan, padahal dengan ketimpangan relasi kuasa ini telah menyebabkan korban tidak berdaya,” lanjut Ahmad Sofian.

Menurut Noval Setiawan, putusan ini akan menjadi noda hitam yang selamanya dikenang publik, bahwa MA gagal memberikan rasa keadilan dan memastikan penanganan kekerasan seksual berpihak pada korban.

Pengacara Publik LBH Pekanbaru dan selaku pendamping hukum  mahasisiwi “L” menegaskan putusan MA ini, akan menjadi preseden buruk di kemudian hari bagi penuntasan kasus kekerasan seksual lainnya. 

Noval khawatir korban-korban yang telah banyak melapor paska UU TPKS disahkan, semakin ketakutan untuk bersuara.

“Putusan Majelis Hakim Agung ini, akan membuat banyak korban kekerasan seksual diluar sana menjadi ketakutan bila ingin melaporkan perbuatan kekerasan seksual yang mereka alami,” ujarnya.

Harapan adanya keadilan kini diharapkan kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim.

Khelvin Hardiansyah, Tim Advokasi KOMAHI FISIP UNRI, mengingatkan pernyataan publik Nadiem menyatakan akan berada di pihak korban dan sanksi etik yang dikeluarkan olehnya dipastikan memberikan rasa keadilan bagi korban.

“Kita menunggu hasil keputusan Kementerian (Dikbudristek). Kemarin pernyataan Nadiem sangat jelas untuk terus berada di sisi korban,” ujar Khelvin.

Merespon Putusan Mahkamah Agung Nomor: 786 K/Pid/2022, kami Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual dengan ini menyatakan sikap:

1. Putusan ini tidak memberikan rasa keadilan dan pelindungan terhadap korban;

2. Putusan ini menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual lainnya;

3. Mendesak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi agar segera mengeluarkan putusan etik dan administratif atas Syafri Harto.

Hormat Kami,
Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual 

YLBHI-LBH Pekanbaru, KOMAHI FISIP UNRI, Bahana Mahasiswa UNRI, BEM FISIP UNRI, BLM FISIP UNRI, Asfinawati-Akademisi STH Jentera, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR - Lampung, Bangsa Mahasiswa, DEMA UIN Antasari Banjarmasin, Narasi Perempuan, Blok Politik Pelajar, Daralead, BEM SI Kerakyatan, Gerpuan UNJ, Formujeres, Gender Research Student Center UPI, BEM UPN Veteran Jakarta, Lingkar Studi Feminis, Kepresma Trisakti, BEM-KM UNIDA Bogor, BEM Universitas Syiah Kuala, BEM FH UPN VETERAN JAKARTA, SEMA PARAMADINA, BEM KEMA FIP UPI, Jaringan Muda Setara, Anak-Anak Syariah UIN Antasari, BEM FH Undip, Youth Activism Rumah Cemara, Narasi Perempuan -Banjarmasin, HMI Koorkom Brawijaya, BEM KM Universitas Trilogi, BEM UI, BEM KM STIAMI, UNDIP Aman KS, LPM Gagasan UIN Suska Riau, FRI Kalsel, KD Arus Balik, BEM STIE Indonesia Banjarmasin, DPK GMNI FH USU, YLBHI-LBH Bandung, BEM UB, TRC PPA Provinsi Riau, BEM UPNVJ, Mahasiswa Bergerak, GERMATARA, BEM USM Semarang, Sarinah GMNI FH USU, Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas, Sekolah Gender Sumbar, YLBHI-LBH Padang.*

Tags