Menunggu Utopia Hatta dan Tjakrawerdaja Terwujud
![]() |
Menkop Subiakto Tjakrawerdaja saat rapat dengan Komisi VII DPR, dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII, Umbu Haramburu Kapita dari FKP, Rabu 16 Juni 1993 [TNCMedia/en.m.wikipedia.org] |
“Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang kuat selama kelompok terbesar masyarakat kita masih lemah.” - Martin Luther King
Oleh: Wirendra Tjakrawerdaja
SETELAH beberapa bulan vakum menulis, bulan Juli ini memaksa saya untuk menulis kembali dikarenakan dua hal: ulang tahun almarhum, Bapak saya yang jatuh pada tanggal 30 Juli dan Hari Koperasi Indonesia yang setiap tahun dirayakan pada tanggal 12 Juli.
Dua hal yang berkaitan erat dan wajib hukumnya bagi saya untuk menulis.
Almarhum, Bapak saya, Dr. HC Subiakto Tjakrawerdaja dikenal sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil di Kabinet Pembangunan zaman orde baru yang dikomandani oleh almarhum Presiden Soeharto. Beliau menjadi menteri setelah sekian lama berkarir di Departemen Koperasi.
Setelah pensiun dari kabinet, beliau tetap melanjutkan perjuangan memajukan koperasi Indonesia dan membangun perekonomian rakyat berdasarkan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar dari kehidupan berbangsa mempunyai landasan filosofis dari sistem perekonomian kita, falsafah dari asas kekeluargaan yang menjadi marwah perekonomian bangsa. Sejauh ini, tidak banyak pelaku ekonomi yang mengerti secara mendalam falsafah tersebut, termasuk para ahli-ahli ekonomi yang mengaku pancasilais, namun berkiblat pada paham neoliberal-kapitalis.
Para ekonom ini yang sekarang menahkodai perekonomian bangsa, sesuai dengan keinginan para investor dan lembaga keuangan dunia.
Koperasi adalah bentuk organisasi usaha terbaik dalam sebuah sistem ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi yang dirancang oleh proklamator kita, Bung Hatta, sejak sebelum bangsa Indonesia merdeka. Beliau merancang sistem tersebut setelah mempelajari dan mendalami seluruh mazhab ekonomi pada zaman itu. Selama hidup di kampungnya dan dalam pengasingan, beliau mempelajari juga tentang kondisi masyarakat di Nusantara dan mengambil intisari dari falsafah hidup masyarakat tersebut.
Bung Hatta memiliki pandangan berbeda dari seluruh mazhab sistem ekonomi yang berlaku waktu itu. Beliau berpikir jauh ke depan dan menciptakan sistem ekonomi yang lebih modern, tetapi tetap mengambil kebijaksanaan dari kearifan lokal masyarakat Nusantara. Terciptalah sistem ekonomi Pancasila yang tertuang dalam sila kelima Pancasila dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Bersama dengan tim kajian Pusat Studi Ekonomi Pancasila, almarhum Bapak bertahun-tahun mengkaji dan mendalami sistem ekonomi tersebut.
Pada tahun 2017, terbitlah buku hasil kajian studi tersebut dengan judul “Sistem Ekonomi Pancasila”, yang di dalamnya tertulis dengan jelas bagaimana sistem ekonomi tersebut merupakan sistem yang terbaik untuk diterapkan oleh masyarakat di bumi Nusantara ini. Sistem ekonomi yang diciptakan oleh Bung Hatta, tetapi tidak pernah merasa bahwa beliaulah penciptanya.
Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang pertama kali menerapkan konsep demokrasi ekonomi sebagai prinsip dasarnya. Bung Hatta mengatakan bahwa tidak mungkin akan terwujudnya demokrasi politik, apabila tidak terciptanya demokrasi ekonomi. Sebelum merdeka pun, beliau memperingatkan akan bahayanya pengaruh kaum kapitalis sebagai penggerak utama ekonomi dalam memengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah.
Dalam badan usaha berbentuk koperasi, sistem ini memungkinkan jalannya demokrasi ekonomi. D mana seluruh peserta ekonomi dapat bersama-sama berpartisipasi secara kolektif dalam menentukan arah koperasi. Prinsip kebersamaan menjadi nilai dasar dalam partisipasi tersebut. Hanya koperasi yang memungkinkan para anggotanya mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama dalam berusaha.
Tujuan utama dari demokrasi ekonomi adalah desentralisasi. Secara egaliter, seluruh anggota masyarakat turut menentukan kebijakan dan memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan konsep koperasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, Bung Hatta menetapkan koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa. Di mana dalam koperasi, demokrasi ekonomi dapat diaplikasikan secara bersama-sama. Dengan konsep ini kekuatan ekonomi para kaum kapitalis dapat diredam dan membentuk masyarakat yang dapat berdemokrasi secara partisipatif. Ekonomi yang tidak dikuasai oleh para kaum pemodal dan pemerintah, tetapi dikuasai oleh rakyat. Inilah inti dari kedaulatan bangsa.
Kedaulatan bangsa adalah hal yang paling penting dalam kemerdekaan suatu bangsa. Tanpa adanya kedaulatan maka mustahil terciptanya kemerdekaan dan kebebasan dalam suatu masyarakat. Rakyat yang merdeka dan damai adalah cita-cita luhur dari bangsa Indonesia, di mana seluruh suku bangsa di bumi Nusantara secara bersama-sama membangun masyarakat Pancasila tanpa adanya paksaan dan intimidasi dari pihak manapun.
Sebuah konsep utopia yang seharusnya bisa terwujud di surga dunia yang bernama Nusantara ini.
Bapak saya adalah anak ideologis Bung Hatta. Hampir seumur hidupnya berjuang dan bekerja untuk mewujudkan konsep sistem ekonomi Pancasila tersebut.
Kenyataannya saat ini setelah 77 tahun NKRI berdiri, mimpi itu masih jauh dari realita. Ketimpangan ekonomi dan sosial masih tinggi, tetapi justru menjadi isu yang jarang dibahas oleh petinggi bangsa ini.
Koperasi yang semestinya menjadi soko guru perekonomian bangsa dan landasan dari kemakmuran rakyat saat ini malah dalam kondisi termarginalkan. Saat ini ekonomi nasional dikuasai oleh segelintir orang yang mengendalikan elit politik dengan kaum oligarkinya. Rakyat sepertinya hanya menjadi penonton dan pelengkap penderita saja.
Sudah dua generasi berlalu, saatnya generasi kita dan yang akan datang meneruskan perjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa, di mana cita-cita tersebut adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan restu dari Tuhan yang Maha Esa semoga impian tersebut dapat menjadi kenyataan di tangan kita putra-putra terbaik Nusantara.
Wirendra Tjakrawerdaja, Cilacap 30 Juli 2022
Sumber:
SNC WAG,
judul oleh redaksi tanjaknews.com