Salah Benar Saksi Ahli
tanjakNews.com, KUPAS HUKUM --Dalam menyelesaikan perkara baik perdata maupun pidana, pihak yang menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menjelaskan secara gamblang apa yang dialami, demikian juga dalam sengketa pajak.
Dalam melakukan pembuktian ini, maka akan diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti ini bisa terdiri dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, dan sebagainya.
Alat bukti yang sering disebut juga adalah saksi ahli. Demikian juga rumusan dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Berdasarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang alat bukti, tidak lazim disebutkan adanya saksi ahli, yang lazim adalah keterangan ahli. Sebaiknya rumusan saksi ahli dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a Undang-Undang KUP disesuaikan menjadi ahli.
Mungkin masih ada yang ingat kejadian di awal tahun 2010, di mana banyak media menyuguhkan berita perdebatan antara Gayus Lumbuun dengan Benny K. Harman dalam rapat Pansus Hak Angket Bank Century mengenai penyebutan saksi ahli.
Perdebatan terjadi saat Benny K. Harman menyebut Hendri Saparini (pengamat ekonomi) sebagai saksi ahli. Menurut Gayus, penyebutan tersebut bertentangan dengan undang-undang karena yang ada hanyalah saksi dan ahli. Namun, Benny K. Harman tetap ngotot menggunakan istilah saksi ahli kepada Hendri Saparini. Karena hal inilah, Gayus kemudian mengusir Benny K. Harman keluar dari ruang sidang. (sumber: detik.com tanggal 21 Januari 2010)
Memang sebagian besar pemberitaan dalam media atau dalam pembicaraan sering mencantumkan atau mempergunakan kata saksi ahli. Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang KUP pun juga mempergunakan istilah saksi ahli dalam rumusannya sebagai berikut:
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
1. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
2. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Yang menjadi pertanyaan, apakah penyebutan istilah saksi ahli untuk menunjuk ahli sudah tepat?
Macam-Macam Alat Bukti
Penyebutan saksi atau ahli dikenal dalam tahap pembuktian di persidangan. Pembuktian adalah tahapan pemeriksaan alat-alat bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang diajukan ke persidangan apa, karena alat bukti diatur berbeda antara masing-masing hukum acara. Untuk lebih jelasnya, ketentuan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Pengadilan Pajak, dan Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) sebagai berikut.
Dari peraturan perundang-undangan di atas, dapat kita lihat baik dalam KUHAP, Undang-Undang Pengadilan Pajak maupun Undang-Undang PTUN, tidak mengenal saksi ahli sebagai alat bukti, yang dikenal hanyalah keterangan saksi atau keterangan ahli. Pengertian antara saksi (keterangan saksi) dan ahli (keterangan ahli) sangatlah berbeda.
Pengertian saksi dan ahli
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan secara jelas bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 27 KUHAP diberikan juga pengertian keterangan saksi yaitu salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perisitiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian keterangan ahli diberikan dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP sebagai keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Tidak jauh berbeda dengan KUHAP, Pasal 73 Undang-Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, atau didengar sendiri oleh saksi. Sedangkan ketentuan mengenai keterangan ahli dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 72 sebagai berikut
Pasal 71:
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2)
Pasal 72:
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Pengertian yang sama juga diberikan oleh UU PTUN terkait keterangan saksi yaitu keterangan yang diberikan berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri. Keterangan ahli yaitu pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Pasal 103 UU PTUN juga mengatur bahwa:
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Berdasarkan ketentuan-ketantuan di atas, dapat dilihat bahwa peraturan perundang-undangan tidak mengenal kata ?saksi ahli? melainkan kata ?ahli?. Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli pun disebut keterangan ahli bukan keterangan saksi ahli.
Perbedaan Keterangan Ahli dengan Keterangan Saksi
Penyebutan saksi dengan ahli memang tidak dapat dicampur aduk karena perkataan saksi mengandung pengertian yang berbeda dengan ahli. Saksi menerangkan fakta-fakta berdasarkan penglihatan, pengalaman, dan atau pendengaran secara langsung. Ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri melainkan menerangkan pendapat berdasarkan kompetensi keahliannya dalam suatu perkara atau untuk memperjelas duduk perkara yang tidak dipahami oleh penegak hukum. Misal, Andi melihat Heru memukul Tono. Tono divisum oleh dokter Rudi. Andi adalah saksi, sedangkan dokter Rudi yang menjelaskan hasil visum tersebut adalah ahli.
Perbedaan yang lain adalah saksi harus memberikan keterangan dengan lisan. Apabila saksi memberikan keterangan tertulis, keterangan saksi yang ditulis tersebut termasuk dalam alat bukti tertulis (surat atau tulisan) bukan keterangan saksi. Lain halnya dengan ahli, ia dapat memberi keterangan lisan maupun tulisan sehingga keterangan ahli yang ditulis bukan merupakan alat bukti tertulis tetap merupakan keterangan ahli.
Di samping itu pula, pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis (seorang saksi bukanlah saksi) yaitu keterangan seorang saksi saja tanpa adanya alat bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain. Berbeda dengan ahli, asas unus testis nullus testis tidak dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja hakim membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain. (Andi Hamzah, 2010)
Saksi Ahli Dalam Pasal 34 Undang-Undang KUP
Sebagaimana telah diuraikan di muka, Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang KUP masih mempergunakan istilah saksi ahli bukan ahli dalam rumusannya. Oleh karena, baik dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak maupun Undang-Undang PTUN tidak mengenal adanya saksi ahli, maka penulisan saksi ahli dalam Pasal 34 Undang-Undang KUP tidaklah tepat. Apalagi pengertian saksi ahli yang dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang KUP tidak diberikan penjelasan lebih lanjut. Dengan demikian, untuk menghindari penafsiran yang keliru dan penulisan yang tepat dan benar, sebaiknya istilah ?saksi ahli? disesuaikan menjadi ahli.
Istilah saksi ahli dengan ahli dalam hukum berbeda, namun seorang ahli yang dimintai keterangan di persidangan sering dipersepsikan juga sebagai saksi sehingga jamak disebut dengan istilah saksi ahli. Saksi harus memberikan kesaksian dari apa yang yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri. Sebaliknya ahli memberikan keterangan berdasarkan keahliannya tanpa harus melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. Demikian juga untuk rumusan Pasal 34 Undang-Undang KUP, agar pencantuman istilah "saksi ahli" dibetulkan menjadi "ahli".
Referensi:
1.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
5. Dr. Andi Hamzah, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010
6. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003.
Sumber artikel dari BPPK Kemenkeu