News Breaking
Live
update

Breaking News

Sulit Berkelit, Magelang dan Motif Tak Penting!

Sulit Berkelit, Magelang dan Motif Tak Penting!




Oleh: Agustinus Edy Kristianto

SAYA dengar ada istilah menuju "soft landing" dalam kasus pembunuhan Y. Para elite, kabarnya, menghendaki kisah ini berakhir lembut sehingga tidak melebar menjadi sesuatu yang justru merugikan kredibilitas pemerintahan Jokowi. 

Cepat disidik, susun dakwaan, segera dituntut, putuskan di pengadilan. Ingat, Polri adalah lembaga di bawah presiden.

Tapi, tunggu dulu. Ada yang masih mengganjal.

Untuk FS, bagi saya, relatif sulit untuk menemukan alasan pembenar atau alasan pemaaf atas tuntutan pembunuhan berencana. Rangkaian perbuatannya sedemikian nyata mulai dari timbulnya niat untuk merampas nyawa Y, ada waktu yang cukup untuk memikirkan dengan cara bagaimana Y dihabisi, ada semacam diskusi dan persiapan, hingga pelaksanaan perbuatan itu. 

Keterangan saksi yang melihat, mendengar, mengalami langsung peristiwa itu di persidangan adalah kunci: RR, KM, E. 

PC, menurut laporan Majalah Tempo, ada di sebuah kamar ketika kejadian itu sehingga relatif tidak menyaksikan langsung---mungkin hanya mendengar suara tembakan.

Sementara motif tidaklah terlalu penting sepanjang perbuatan materiilnya terbukti. Jadi alasan FS marah karena peristiwa di Magelang atau di bulan sekalipun sebetulnya tidak berarti apa-apa untuk menghapus kesalahan FS, dalam posisinya baik sebagai pelaku sendiri (pleger) atau yang menyuruh melakukan (doen plegen). Ia sulit untuk lepas dari Pasal 340 yang ancaman maksimalnya hukuman mati itu.

Saya kutipkan satu yurisprudensi kasus pembunuhan berencana yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni Putusan Nomor 681 K/PID/2016 dengan terdakwa Harnoli Mamonto di Bolaang Mongondow. Dalam perkara ini, terdakwa terbukti membunuh seorang lelaki karena ia cemburu dan berpikir lelaki tersebut berzinah dengan istrinya. Pembunuhan dilakukan dengan membacok punggung, leher, dan bagian tubuh lain berkali-kali.

"Terdakwa sangat marah dan cemburu kepada korban karena berboncengan dengan istrinya yang terdakwa cintai tersebut. Secara hukum, sangat sulit dibuktikan melakukan pembunuhan tanpa ada perbuatan manusia itu sendiri kepada orang lain dan disebut sebagai objek melawan hukum yang dilakukan oleh korban itu sendiri," demikian pembelaan pihak terdakwa.

"...putusan Judex Facti telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu walaupun Terdakwa mencurigai istrinya telah berzinah dengan korban Suprianto Hasan, namun perbuatan materiil Terdakwa beberapa hari kemudian mencari dan mendatangi korban di rumahnya dengan menyiapkan parang yang diselipkan di pinggang, setelah meninju mata korban, Terdakwa langsung mengejar korban dan membacok punggung korban hingga terjatuh di halaman rumah tetangga korban, Terdakwa membacok lagi berkali-kali punggung, tubuh dan leher korban serta menggorok leher korban secara sadis sampai putus. Perbuatan materiil Terdakwa sedemikian itu telah memenuhi semua unsur tindak pidana Pasal 340 KUHP pada dakwaan Primair," demikian pertimbangan hakim.

Terdakwa akhirnya tetap dijatuhi hukuman seumur hidup!

Jadi peristiwa Magelang tidak akan berpengaruh besar bagi pembelaan FS untuk menghapus kesalahannya. 

Lagipula apa bedanya antara cerita pelecehan seksual di Duren Tiga dan di Magelang? Apakah yang satu lebih porno dari yang lain sehingga yang satu boleh dikonferensiperskan (seperti pada awal kejadian 11 Juli 2022) dan yang satunya tidak boleh diungkapkan karena konten dewasa? Esensi keduanya sama: tuduhan terhadap alm. Y melecehkan PC---kecuali terbukti ada jenis peristiwa seksual yang benar-benar porno atau menyimpang.

Isu itu tetap akan merugikan Y dan keluarga, karena label pelaku pelecehan seksual akan menempel---padahal kasus pelecehan yang sebelumnya dilaporkan PC terjadi di Duren Tiga sudah di-SP3. Apalagi, Kabareskrim sudah menyatakan peristiwa Magelang hanya Tuhan, PC, dan alm. Y yang tahu. Di pengadilan, saya duga, kelak juga ketika pemeriksaan tentang materi itu dilakukan, kelihatannya akan ditutup untuk umum dengan alasan terlalu sensitif, meskipun persidangan pembunuhan berencana adalah terbuka untuk umum sesuai aturan. 

Magelang akan terus menjadi misteri!

Masalah penting adalah E. Ia berpotensi menjadi terpidana karena 'peradilan sesat'. Apa betul ia menembak kawan sekamarnya itu? Apa buktinya?

Sejauh ini pengakuan E berubah-ubah. Bukan tidak mungkin ia mencabut BAP di persidangan dan menerangkan keadaan yang sebenarnya terjadi di muka hakim. 

Dari semua skenario yang ada (termasuk skenario awal), E selalu ditempatkan sebagai pihak yang menembak Y: mulai dari skenario tembak-menembak di tangga rumah Duren Tiga, skenario Y berlutut di hadapan FS, hingga skenario ia turun dari tangga dan melihat Y sudah bersimbah darah.

Pemberitaan tentang pengakuan E juga bersilangan satu sama lain di sejumlah media: 1) E menembak pistol Glock 17 tiga kali ke arah Yosua. FS mengakhiri eksekusi dengan dua tembakan ke belakang kepala Yosua (versi Majalah Tempo); 2) Inilah.com mengutip Jubir LPSK mengatakan FS adalah penembak pertama. 

Sejumlah pemberitaan menunjukkan ada perintah "Woi tembak woi" dari FS ke E. Sementara itu pengacara E cenderung menggunakan pembelaan E melakukan perintah jabatan.

Situasi makin tidak menentu ketika muncul pula berita pengakuan E yang sempat dijanjikan Rp1 miliar oleh FS dan PC. 

Mengenai indikasi adanya peristiwa seksual, menarik untuk melihat laporan Kompas (12/8/2022) tentang dokumen otopsi pertama Yosua: "Dalam pemeriksaan luar jenazah ini dokter juga sempat mengambil swab penis dan anus. Hasilnya tidak ditemukan sel sperma ataupun air mani. Ini untuk membuktikan tidak ada ejakulasi."

Posisi E yang mengaku melakukan atas perintah jabatan sebetulnya merugikan dirinya. Alasan perintah jabatan tidak semudah itu diterapkan (Pasal 51 KUHP). Harus dilihat syarat-syaratnya: 1) perintah harus dilakukan oleh kuasa yang berhak sementara FS dalam jabatannya sebagai Kadiv Propam tidak berhak dan berwenang untuk memerintahkan penembakan ke ajudan; 2) E akan dipandang seharusnya memahami bahwa FS tidak boleh menyuruh membunuh karena itu merupakan kejahatan apalagi E adalah sebagai anggota Polri; 3) E akan dipandang sebagai masih mampu untuk menolak perintah itu dengan perbandingan sikap RR yang ternyata bisa menolak perintah FS untuk menembak Y dan nyatanya RR masih segar-bugar sampai sekarang. Artinya kadar ancaman terhadap E bisa jadi ditafsirkan tidak terlalu besar, masih bisa ditolak.

Hakim tentunya akan melihat juga faktor dan keadaan-keadaan itu yang akan menentukan keyakinannya atas perkara ini sebelum memutus. 

Jadi, bagi saya, masih terbuka kemungkinan bahwa FS adalah pelaku sendiri (pleger) yang mewujudkan semua perbuatan membunuh Yosua tersebut. Ia yang memiliki maksud, ia yang melakukan perencanaan terlebih dahulu, ia yang merealisasikan rencana itu. 

Jika itu yang terjadi, peta dan konstruksi kasus akan berubah. Selain ribut soal 18+ bin konten dewasa, publik akan bisa mempertanyakan hal-hal seperti apa yang dilakukan FS sebelum (bisa beberapa hari, beberapa bulan), pada saat, dan setelah pembunuhan terjadi. Kondisi psikologis atau faktor-faktor lain yang terdapat dalam diri FS sehingga mendorongnya melakukan perbuatan itu. Tekanan-tekanan eksternal yang ia alami, beban-beban pekerjaan tertentu yang dihadapi sehingga berpengaruh pada kemarahan yang sedemikian rupa itu. 

Bisa jadi, di situ bisa terungkap hal-hal 'sensitif' selain masalah esek-esek yang dituduhkan terhadap alm. Y!

Kenapa semua yang saya tulis di atas itu penting, sebab ada adagium hukum yang menyatakan: lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah ketimbang menghukum 1 orang yang tidak bersalah.

Salam.


Judul oleh Redaksi.
Tulisan-tulisan Agustinus Edy Kristianto juga dapat disimak di Page AEK 



Tags