Tentang LP Pelecehan Seksual di Kasus Kematian Brigadir J
tanjakNews.com, JEJAK KASUS --Kolumnis Agustinus Edy Kristianto menulis bahasannya atas kasus kematian Brigadir J dengan tersangka Bharada E dan Irjen Ferdy Sambo. AEK mengulas soal LP berkaitan dengan laporan pengacara PC (Putri Candrawathi) tentang kejahatan terhadap kesopanan (Perbuatan Cabul) dengan terlapor almarhum Brigadir J yang sudah tewas 7 jam sebelum mereka buat laporan.
Berikut ulasan AEK yang diposting di akun Facebooknya, Kamis 11 Agustus 2022:
Banyak orang yang semakin meragukan kebenaran adanya fakta terjadinya pelecehan seksual oleh Brigadir Y terhadap PC di rumah dinas FS di Duren Tiga, Jaksel, menyusul sejumlah pemberitaan terkini, seperti penetapan FS sebagai tersangka pembunuh Yosua hingga video eksklusif CCTV yang dilansir CNN TV.
Tapi, bagi saya, keraguan itu harus terwujud nyata dalam konteks proses hukum dan pers sepatutnya mengambil posisi untuk mendorong hal itu terjadi.
Hipotesis dan argumen saya begini:
1. PERISTIWA PELECEHAN SEKSUAL ITU TIDAK ADA
Peristiwa pelecehan seksual, dalam konteks seperti versi awal polisi yang berkelindan dengan peristiwa tembak menembak antara Y dan E, lenyap menyusul pengumuman Kapolri bahwa tembak-menembak antara Y dan E tidak ada.
Padahal tembak-menembak itulah yang diceritakan terjadi menyusul peristiwa dugaan pelecehan seksual.
"Peristiwa yang terjadi (sesungguhnya) adalah peristiwa penembakan terhadap Saudara J (Yosua), yang dilakukan Saudara RE (Eliezer) atas perintah Saudara FS (Ferdy Sambo)," kata Kapolri (Koran Tempo, 10/8/2022).
Bandingkan dengan Laporan Polisi (LP) No. 1630 xxx yang dibuat oleh PC dengan terlapor Yosua di Polres Jakarta Selatan. Saya sudah lihat isinya.
Apa yang dilaporkan PC? Waktu kejadian adalah Jumat, 8 Juli 2022, sekira Pukul 17.00 WIB. Tempat kejadian Komp. Polri Duren Tiga xxx. Apa yang terjadi: "Kejahatan terhadap kesopanan (Perbuatan Cabul) dan atau memaksa orang lain untuk melakukan, tiada melakukan, ataupun perbuatan yang tidak menyenangkan, atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang itu maupun orang lain." Waktu dilaporkan adalah Jumat, 8 Juli 2022 Pukul 23.00 WIB.
Kedua cerita itu (tembak menembak dan dugaan pelecehan seksual) adalah satu kesatuan. Satu gugur, yang lainnya pun gugur. Satu fakta penting yang merupakan konsekuensi dari pernyataan Kapolri dan dikuatkan dengan rekaman CCTV bahwa FS ada di TKP Duren Tiga (atau setidak-tidaknya di sekitarnya) dan diduga melakukan perbuatan pidana (menyuruh RE).
FS tidak sedang tes PCR di tempat lain seperti kisah awal. Itu mengubah banyak segi dari keseluruhan cerita yang sedang didalami penyidik.
Tapi, sebagai suatu perkara hukum, barang itu masih 'ada' karena belum dihentikan penyidikannya oleh Bareskrim Polri hingga saat ini.
Saya kutip keterangan pengacara PC pada Kamis, 4 Agustus 2022: Pasalnya adalah Pasal 289 KUHP dan Pasal 4 jo. Pasal 6 UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. PC sudah tiga kali diperiksa: pada 9 Juli 2022, 11 Juli 2022, dan 21 Juli 2022.
Pada 18 Juli 2022, status perkara dinaikkan ke penyidikan berdasarkan surat SP Sidik 1351/VII/2022 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Sehari setelahnya, 19 Juli 2022, Mabes Polri menarik perkara itu dari Polda Metro Jaya. Pihak pengacara PC mengatakan telah ada Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sebanyak tiga pucuk. Surat terakhir pada 25 Juli 2022.
Ini kita bahas di poin selanjutnya.
2. ALMARHUM YOSUA TIDAK BISA MENJADI TERSANGKA KASUS PELECEHAN SEKSUAL
Ia tidak bisa menjadi tersangka kasus pelecehan seksual yang dilaporkan oleh PC karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (karyawan Chevron).
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan BUKTI PERMULAAN patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Saya kutipkan pendapat MK:
"... frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan 'bukti yang cukup' harus ditafsirkan sekurang-kurangnya DUA ALAT BUKTI yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan PEMERIKSAAN CALON TERSANGKANYA..."
"...untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan KETERANGAN YANG SEIMBANG."
Yosua telah tiada. 'Calon tersangka' itu tidak ada lagi untuk diperiksa.
Laporan PC dibuat pada Jumat, 8 Juli 2022 Pukul 23.00 WIB. Kejadian Yosua tewas adalah pada hari yang sama Pukul 17.11 WIB. Terlapornya adalah---maaf---jenazah Yosua. Ia sudah meninggal sekira 7 jam sebelum laporan dibuat.
Dari mana saya tahu itu? Laporan Polisi (LP) No. 368/A/xxx di Polres Metro Jakarta Selatan, yang dilaporkan pada Jumat, 8 Juli 2022 Pukul 20.30 WIB. Apa yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (Pasal 338 Jo. Pasal 53 KUHP). Yang dilaporkan sebagai pelaku adalah Yosua, korban adalah RE. Waktu kejadian disebutkan Jumat, 8 Juli 2022 Pukul 17.11 WIB.
Yosua tidak bisa jadi tersangka karena terlapor/calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu. Jika---andai Yosua masih hidup---tanpa diperiksa lalu menjadi tersangka, itu pun bisa dipraperadilankan dan sangat mungkin dikabulkan seperti dalam perkara Bp. Budi Gunawan vs KPK.
Saya kutipkan putusan perkara BG: "Keputusan Termohon untuk menetapkan status Pemohon sebagai Tersangka tanpa pernah sama sekali memanggil dan atau meminta keterangan Pemohon secara resmi, adalah tindakan yang bertentangan dengan Azas Kepastian Hukum yang menjadi fundamental pelaksanaan wewenang Termohon berdasarkan Undang-Undang KPK (Hal 229 dari 244 Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel).
3. HENTIKAN PENYIDIKAN KASUS PELECEHAN SEKSUAL DAN KIRIM PEMBERITAHUAN KE KELUARGA
Penyidik Bareskrim Polri sebaiknya mengeluarkan SP3 (penghentian penyidikan) perkara pelecehan seksual dengan terlapor almarhum Yosua. Setelah itu mengirimkan pemberitahuan penghentian penyidikan itu kepada jaksa dan keluarga Yosua (ini akan sedikit mengobati luka).
Kenapa SP3, sebab kelihatannya pihak PC berkukuh melanjutkan perkara dan tidak berniat mencabut pengaduan/laporan itu.
UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memang semangatnya memberikan keadilan kepada korban kekerasan seksual dan itu bagus.
Tapi, sebenarnya, keadilan itu universal dan diperlakukan sama baik terhadap Saksi/Korban/Tersangka/Terdakwa. "... tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual." (Pasal 22)
Yang dikhawatirkan adalah ada pihak yang menjadikan UU TPKS dan aturan lain (KUHP dll) sebagai alibi untuk membenarkan suatu kesalahan yang tidak berhubungan dengan peristiwa kekerasan seksual itu sendiri. Itu justru akan menjauhkan kita semua mencapai tujuan keadilan.
Jika pun nanti urusan konten dewasa akan dibahas dan diperiksa, biarkanlah ia berlangsung dalam pemeriksaan sidang perkara pembunuhan Yosua.
Salam.