News Breaking
Live
update

Breaking News

Orang Baik dan Bengsin

Orang Baik dan Bengsin

SAYA sudah tebak, akan selalu ada yang serang balik/sinis karena petisi dan tetek bengek yang saya tulis soal kompensasi bagi direksi dan komisaris Pertamina. Standar saja: "Itu kan duit legal", "Itu kan sudah dari dulu ada", "Itu kan wajar sekelas Pertamina yang asetnya ratusan triliun", "Itu kan sah aja, namanya juga bisnis", "Itu kan buat jelek-jelekin Jokowi dan Ahok aja", "Itu kan kadrun aja", "Itu kan sudah diaudit", "Itu kan..."
Argumennya begini:
===

Sejak Indonesia berdiri, hanya Jokowi yang diklaim sebagai presiden baik. Orang baik berkawan dengan orang baik. Berarti pengurus BUMN---seperti Pertamina---harus orang baik. 

Contoh orang baik adalah BTP/Ahok, yang menjabat komisaris Pertamina sejak 2019. Ia peraih Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2013, ada yayasan menggunakan akronim BTP (Bersih, Transparan, dan Profesional), bahkan ada situs ahok.org
 yang diniatkan untuk transparansi kegiatan dan keuangannya. 

Alexander Lay, komisaris Pertamina sejak 2017 sampai sekarang juga orang baik. Ia anggota Tim Advokasi Jokowi-JK saat pilpres 2014, anggota Dewan Pengawas Transparency International Indonesia (TII), pernah staf khusus Seskab bersama bekas pendiri ICW Teten Masduki. 
Ahmad Fikri Assegaf yang sekarang komisaris juga orang baik. Saudara ipar Najwa Shihab itu pernah menjadi komisaris Telkom dan merupakan salah satu yang aktif di gerakan antikorupsi. Ia salah satu penggagas buku "KPK Berdiri untuk Negeri".

Karena mereka orang baik maka kita harus menggunakan batu uji berstandar tinggi---beda dengan saya dan kebanyakan dari kita di dinding ini yang dijuluki kadrun, jahat, antek teroris. Saya yang nonmuslim saja dikatai kadrun, bagaimana dengan Anda yang profile picture-nya bendera Palestina. 

Pertanyaannya, kalau orang baik jadi pejabat, apa yang berbeda dari kalau yang brengsek menjabat? Kalau orang baik merasuki BUMN, apa perubahan mendasar yang dirasakan masyarakat? Adakah perubahan yang mendasar dalam hal transparansi, melawan korupsi dari dalam, atau setidaknya memiliki solusi kreatif agar masyarakat tidak terbebani dengan kenaikan harga? Kalau orang baik dapat duit (kompensasi yang berupa gaji, imbalan, tunjangan, tantiem, bonus atau apalah) dari APBN/BUMN, apakah terima begitu saja atau setidaknya ada upaya untuk menolak/menyesuaikan jumlahnya sebagai bentuk empati kepada ojol yang sudah mabuk bensin mahal? Kepemimpinan orang baik bisa tidak menjamin duit kompensasi BBM Rp252,5 triliun (naik 1.000-an persen lebih dari alokasi sebelumnya) tidak bocor dengan membuat sistem pengawasan yang berlapis? 

Sekarang saatnya masyarakat tahu berapa pendapatan Anda semua. Diketahui saat perut masyarakat sedang lapar dan kepala pusing memikirkan beban ekonomi. Itu akan membangkitkan nurani ketidakadilan. Terserah Anda mau ngeles apa saja.

Faktanya, meskipun ada orang baik, masyarakat tetap tidak tahu berapa harga pokok produksi (HPP)/harga dasar BBM yang berjenis-jenis itu dan hitungannya sehingga bisa dikompensasi sekian, disubsidi sekian. Yang ada adalah berita harga keekonomian yang berbeda-beda sesuai dengan narasumber yang dimuat media. 

Ini daftar kompensasi yang diterima komisaris dan direksi Pertamina selama Jokowi memerintah---sejauh ini, sumber Laporan Keuangan Audited. Kalikan saja dengan nilai USD selama kurun tersebut antara Rp12.380-Rp14.800. Dibagi jumlah direksi dan komisaris (rata-rata 6-7 direksi/komisaris). Saya ambil kurs tengah Rp13.500 maka selama kurun 2015-2021, total kompensasi untuk direksi dan komisaris Pertamina sebesar Rp3,83 triliun atau rata-rata Rp639 miliar/tahun.

KOMPENSASI (dalam US$)
 +  21,917,000 (2015)
 +  42,469,000 (2016)
 +  52,781,000 (2017)
 +  47,273,000 (2018)
 +  49,921,000 (2019)
 +  38,892,000 (2020)
 +  30,821,000 (2021)
 ------------- 
 + 284,074,000 
===


Betul bahwa merem saja Pertamina untung. Makanya omongan Dirut Pertamina kalau mereka jual rugi Pertamax tidak ada artinya. Mau jual rugi atau jual apapun, ujungnya untung di buku. Karena untung itulah makanya mereka merasa berhak dapat kompensasi. 
LABA (dalam US$)
 +1,143,629,000 (2015)
 +3,098,778,000 (2016)
 +2,407,012,000 (2017)
 +2,659,328,000 (2018)
 +2,416,642,000 (2019)
 + 731,446,000 (2020)
 +2,354,815,000 (2021)
 ------------- 
 +14,811,650,000 


Tapi Pertamina bisa begitu karena faktor perusahaan negara. 100% sahamnya punya Negara. 90% lebih SPBU mendominasi Indonesia. Kalau perusahaan swasta biasa mana bisa begitu!

Selain pendapatan dari penjualan dalam negeri (minyak mentah, gas bumi, panas bumi) dan ekspor, ingat Pertamina juga mendapat penggantian biaya subsidi dan kompensasi berupa selisih kekurangan penerimaan harga jual eceran dan harga---sebut saja keekonomian. Di situ sudah ada hitungan marginnya. 

Kalau di Pupuk Indonesia, saya dengar, HPP + margin 10%. Kalau subsidi Rp25 triliun maka marginnya Rp2,5 triliun. 

Masalahnya adalah kita tidak tahu apa-apa saja yang diklaim oleh Pertamina ke negara. Apakah biaya-biaya yang diklaim sebagai penggantian subsidi dan kompensasi itu sudah patut? Apakah auditornya bersih? Jangan-jangan biaya kondangan juga diklaim masuk penggantian subsidi atau kompensasi. 

Kita tidak tahu karena orang baik belum mampu mendorong transparansi dan tata kelola yang baik berkaitan dengan hal tersebut. 
===
Kenapa perlu terus dibicarakan di medsos, bahkan hingga petisi? Sebab ruang publikasi di media arus utama sempit akibat blocking yang terlalu sempurna dari tetangga sebelah. Mau bicara di mana lagi tentang hal-hal yang kritis dan sensitif?

Jika tidak dibicarakan, tidak fair. Sebab tetangga sebelah mendapatkan dua hal sekaligus: nama baik dan uang. Nama baik karena terberitakan sebagai yang peduli masyarakat miskin dengan isu bantalan-bantalan sosial, dapat duit, ya duit miliaran itu tadi kompensasi.

Cap orang baik tetap menempel! Jika hasrat berkuasa tetap berkobar, bisa dipakai sebagai modal sosial untuk pemilu mendatang.

Tidak adil dibandingkan orang-orang yang sudah namanya jelek (dituduh teroris, kadrun, oposisi nyinyir, miskin, gak kebagian jatah dsb), tidak dapat duit pula!

Namun, di atas semua itu, apapun alasannya, sebagai orang-orang yang duduk manis dibiayai negara triliunan rupiah begitu, Anda harusnya punya empati dan berdiri membela kepentingan masyarakat banyak. 

Apalagi buat yang sudah terima Bung Hatta Anti Corruption Award (termasuk Jokowi juga pernah menerima), seharusnya meneladani kata Bung Hatta, yang sepanjang hidup tak pernah berhenti melawan setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, meskipun dengan itu harus menanggung risiko yang tidak ringan. 
Apa risiko yang tidak ringan itu? 
Ya, godaan duit lah!
Salam.






Penulis: Agustinus Edy Kristianto

judul oleh redaksi

Tags