News Breaking
Live
update

Breaking News

Abdulkadir Widjojoatmodjo, Pengkhianat Republik Ketua Delegasi Belanda di Perjanjian Renville

Abdulkadir Widjojoatmodjo, Pengkhianat Republik Ketua Delegasi Belanda di Perjanjian Renville



tanjakNews.com -- Foto ini memperlihatkan Presiden Sukarno menerima kunjungan ketua delegasi Negeri Belanda pada perjanjian Renville akhir 1946, Kolonel (KNIL) Abdulkadir Widjojoatmodjo. Ya, Abdulkadir memang berada di pihak Belanda, meski ia berasal dari Indonesia.

Priyayi Jawa kelahiran Salatiga 18 Desember 1904 itu berpangkat kolonel tituler, karena oa aslinya orang sipil. Ia menjabat Direktur Jenderal Umum Urusan Negosiasi Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia.

Bahkan pada akhir tahun 1947, ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan menjadi utusan delegasi Belanda pada saat PBB memimpin perundingan kemerdekaan Indonesia.

Pemilihan Abdulkadir sebagai ketua delegasi Belanda pada Perundingan Renville merupakan sebuah siasat untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat itu hanyalah urusan domestik belaka. Dengan cara itu Belanda berharap dunia internasional tidak terlalu menaruh perhatian pada konflik di Indonesia.

Buku pelajaran sejarah di Indonesia mencatat nama Abdulkadir sebagai pemimpin delegasi Belanda dalam Perundingan Renville. Sedangkan Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Keduanya sama-sama mendapat cap pengkhianat. Abdulkadir berkhianat karena memihak Belanda, Amir berkhianat karena tersangkut kudeta PKI Madiun 1948 bersama Muso.

Amir Syarifuddin merupakan bekas Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab atas meletusnya pemberontakan PKI Madiun 1948. Dia akhirnya ditangkap dan ditembak mati.

Abdulkadir mendampingi van Mook (bertopi tropis) dan para petinggi militer Belanda di tempat yang sekarang bernama Lapangan Merdeka, Jakarta, 6 September 1948.



Abdulkadir menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mengikuti pelatihan Indologis di Universitas Leiden di bawah bimbingan Christiaan Snouck Hurgronje yang merekomendasikan dia ke Homegrown Council. Di sana dia bekerja sebagai administrator. Pada tahun 1919 ia menjadi sekretaris kedutaan Belanda di Jeddah di Kerajaan Hijaz. Pada tahun 1932 ia menjadi wakil konsul di Mekah, Arab Saudi dan karenanya menjadi wakil tertinggi Belanda. Tepat sebelum pecahnya Perang Dunia II dia adalah pejabat senior di New Guinea.

Sejak Maret 1944 menjadi konsultan pelayanan publik Wakil Gubernur Jenderal Hubertus van Mook yang coba dipulihkan oleh pemerintah Belanda dari luar Hindia Belanda dengan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), dari 1946 Cabang Urusan Sipil Administrasi Militer Sekutu (AMACAB) dan setelah kepergian pasukan Departemen Administrasi Sementara Inggris. Ia untuk sementara menjabat sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Brisbane. Abdulkadir ikut serta dalam pemulihan kekuasaan Belanda di Hindia Timur dan diangkat menjadi residen (sebagai kolonel di KNIL) dari Maluku.

Perlu waktu lebih dari dua minggu untuk Komisi Tiga Negara membujuk RI menerima perjanjian ini. Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Republik, dan eksesnya, kabinet Amir jatuh karena mendapat tantangan hebat dari Masyumi dan PNI.

Abdulkadir di Gedung PBB di New York, 31 Maret 1949



Abdulkadir Widjojoatmodjo adalah murid langsung Christiaan Snouck Hurgronje di Universitas Leiden.
Pernah menjabat residen Maluku dan Recomba (Regerings Commissaris Bestuur Aangelegenheden, alias komisaris administrasi setingkat gubernur) Jawa Barat di bawah Hubertus Van Mook dan inisiator berdirinya Negara Pasundan.

Di mata para nasionalis Indonesia, Abdulkadir tentu punya citra buruk karena berada di pihak Belanda. Ia lebih banyak dikenang sebagai seorang pengkhianat.
Ironisnya, anak angkatnya di masa perang kemerdekaan adalah intel yang bekerja untuk pihak Republik. Ia diperlakukan seperti paria karena berkolaborasi dengan Belanda. 

Setelah tentara Belanda angkat kaki dan mengembalikan kedaulatan Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949, Abdulkadir sempat beberapa tahun tinggal di negeri kelahirannya. Selama 17 tahun Abdulkadir bertahan di Indonesia. Ia pernah tinggal di Jalan Surabaya, Jakarta. Hoegeng pernah mampir ke rumahnya.




Setelah kesehatannya menurun, ia beremigrasi ke Belanda. Ia meninggal pada tahun 1992 di Den Haag dan kemudian dimakamkan di kuburan keluarga di Karanganyar.

Menurut Hoegeng, seperti ditulis Tirto.id, ketika dirinya hendak menjadi Kepala Reserse Kriminal di Medan, Abdulkadir yang makin menua menelponnya. Abdulkadir yang berkawan baik dengan Hoegeng memberitahu bagaimana kultur masyarakat Medan.

Koran Handelsblad 8 Januari 1993 mencatat, “Abdulkadir bukanlah seorang nasionalis dari tipe Republiken pascaperang. Namun, dia adalah seorang patriot, yang menganggap kepentingan negeri Indonesia akan lebih terjamin jika bergabung dengan Belanda atas dasar kesetaraan yang utuh.”

Menurut pengakuan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), Abdulkadir tak ragu mendatangi diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa muda yang kuliah di sekolah hukum Recht Hogeschool (RHS) Jakarta (hlm. 213).

Laki-laki bertubuh kecil, bersuara bariton, dan rendah hati ini, di mata Hoegeng cukup berwibawa. Awal 1942, Abdulkadir ikut serta dengan pejabat-pejabat Belanda yang kabur ke Australia ketika Hindia


Oce Satria 
Dari berbagai sumber

Tags