Ikrar Perdana
Oleh: All Amin
SAYA salah. Mula, dikira akan berasa datar-datar saja. Rupanya tidak. Tetiba dari dalam ada getaran nan menjalar. Menyesakkan dada.
Bujur banar. Setiap kelaziman nan berlangsung lama. Terus berulang-ulang. Maka nikmatnya serasa berkurang. Tak lagi nendang.
Sepekan sebelum acara, saya sudah diberi tahu, bahwa akan ada prosesi pengislaman di masjid. Ada insan nan dilembutkan hatinya, nak jadi mualaf. Respons saya biasa saja. Terbayangnya itu sekadar aktifitas biasa. Ada orang mau pindah agama. Mungkin serupa orang pindah kendaraan. Kebebasan yang menjadi hak asasi warga negara. Dalam memilih agama dan kepercayaannya masing-masing.
Malam sebelumnya saya kembali dikabari, sekalian ditugasi menjadi pembawa acaranya. Siap, kalau itu amanlah. Bentuk penugasan paling acap saya terima. Spesialis juru tutur.
Sebab belum ada pengalaman dengan model acara serupa, menjelang mulai saya cari referensi dulu. Oo, ternyata formatnya mirip prosesi akad nikah. Ada pembimbing. Ada saksi. Dan ada calon mualafnya. Beda ikrarnya saja.
Kalau yang lafaz ikrarnya, "Saya terima nikahnya...." saya sudah sering lihat. Juga sudah pernah melakukan. Baru (berani) sekali. Ops, kok jadi ke situ.
Klimaksnya. Ketika pelafazan ikrar sedang berlangsung. Ustaz, calon mualaf, para saksi, telah berada di posisi.
Bagi yang muslim dari orok, mengucapkan syahadat rasanya biasa. Sebab sudah fasih. Kapan diperlukan akan keluar otomatis.
Kali ini--saya merasa--beda.
Ketika melihat seseorang menirukan lafaz syahadat dengan terbata-bata. Lisannya bak anak kecil yang baru pandai bicara. Artikulasinya samar. Saya teringat guru tahsin yang memukulkan tongkat rotan kecilnya ke lantai, bila makhraj huruf tak terucap dengan benar. "Salah ucap, salah arti" ujarnya.
Kalau guru tahsin saya turut mendengar. Pasti tongkat rotannya akan disimpan, menyaksikan ikhtiar lidah kelu itu berucap syahadat.
"Belum" jawabnya. Ketika Ustaz pembimbing menanyakan, apakah sebelumnya ia sudah pernah mencoba berlatih mengucapkan, pun mendengar orang lain berucap syahadat.
Mungkin ia juga menyadari kalau kalimat itu merupakan password yang tak boleh sembarang diucap.
"Ashaduawa..." ujarnya berusaha menirukan lisan Ustaz pembimbing yang gamblang menalkinkan kalimat syahadat.
Serupa si kecil cadel yang patut diapresiasi ketika diajarkan berucap "kelapa" ia tiru dengan "tewapa"
Namun, maksudnya sudah dapat dipahami. Sepertinya para malaikat yang turut menyaksikan pun akan maklum.
Ikrar syahadat itu diulang sampai tiga kali. Saat-saat pengulangan itulah golden momennya. Menyentuh rasa. Haru. Saya berusaha agar tak tampak menitikkan air mata.
Saya coba mengonfirmasi rasa yang mengalir di dada itu dengan sapuan ujung mata.
Kelompok di sisi kiri, para keluarga pengantar si muslimah tampak beberapa orang mengusap mata. Terutama calon suami. Nyata semburat rona bahagia di romannya.
Di sisi kanan dari pandangan depan pun demikian. Ada yang terlihat khusuk menyimak, juga sembari menerawang menatap langit-langit masjid.
Berarti gugahan rasanya sama. Saya tak sendiri. Tapi, nan menjadi asbabunrasa itu muncul, tentulah beda-beda.
Bagi sang calon suami mungkin haru sebab impiannya tercapai. Mungkin.
Bagi saya, yang terbayang, seandainya saat itu dibagikan catatan dosa, maka muslimah yang barusan terbata-bata berucap syahadat lah yang paling bersih catatannya.
Seketika ikrar itu ia ucapkan, seketika itu pula dosa masa lampaunya terhapus.
Bak siang dan malam dengan yang menulis, lembaran catatannya sudah penuh coretan, tipe-ex, dan warna warni segala rupa.
Pelafazan ikrar syahadat adalah pintu masuk, dengan mengucapkan dua kalimat pengakuan itu, mengesahkan seseorang menjadi muslim. Sejak saat itu, maka berlakukan empat rukun Islam berikutnya bagi yang bersangkutan.
Menurut tuntunan kaidah syariah, sejatinya muslim pendatang baru ini banyak mendapatkan privilege. Hak istimewa. Mereka disambut dengan karpet merah.
Dalam beberapa riwayat Rasulullah seringkali membagikan ghanimah lebih banyak kepada mereka dibandingkan sahabat-sahabat beliau lainnya. Sebagai hadiah guna makin menguatkan hati para newbie itu.
Mereka termasuk ke dalam delapan asnaf, klaster orang yang berhak menerima zakat sesuai dalil Surat At-Taubah ayat 60.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perngertian mualaf adalah orang yang baru masuk Islam. Imannya belum kukuh sebab baru masuk Islam.
Merujuk definisi dalam KBBI berarti penyebutan mualaf ada time limitnya. Dalil KBBI bersesuaian dengan kisah ketika Khalifah Umar bin Khattab menyetop bantuan kepada dua orang mualaf yang pada masa Khalifah Abu Bakar Shiddiq selama bertahun-tahun selalu mendapatkan pembagian zakat dari baitul mal. Menurut Umar mereka tak lagi berhak mendapatkan harta itu, sebab mereka bukan lagi mualaf.
Sebab model pengikraranya mirip-mirip dengan proses nikah, bisa jadi (mungkin) hadiah untuak mualaf ini juga serupa dengan hadiah untuk pengantin baru. Ada momentumnya, jua ada masa kedaluarsanya. Apakah ada orang yang bertahun-tahun terus menerima hadiah pengantin? (All Amin)