News Breaking
Live
update

Breaking News

Mengkritisi Penggunaan Teknologi untuk Beli Bensin

Mengkritisi Penggunaan Teknologi untuk Beli Bensin

 



Oleh: Aguatinus Edy Kristianto, Jurnalis


tanjakNews.com, PERSPEKTIF --- Penggunaan teknologi dalam penerapan kebijakan publik tidak masalah, tapi, sepanjang ia menyangkut keterlibatan pejabat dan keuangan negara, WAJIB kita kritisi. Ada potensi bisnis yang besar di situ, yang bisa menguntungkan segelintir pihak.

Jangan terkecoh dengan publikasi angka bombastis atau nama raksasa digital, tapi lihat dan telitilah segala sesuatunya. Selalu ragu terhadap yang diklaim oleh penguasa adalah vitamin sehat buat tubuh kita.

Liputan Kompas (Kamis, 30 Juni 2022) bagus sekali. Judul: Ledakan Informalisasi Kerja. Data BPS menunjukkan per Februari 2022, ada 81,33 juta pekerja informal, bertambah 3,19 juta orang dibandingkan setahun sebelumnya (Februari 2021). Jumlah mereka meningkat pesat selama pandemi. Bahkan, ketika pandemi mereda dan ekonomi mulai pulih, jumlahnya malah bertambah. Kata Kompas, “itu menunjukkan adanya PROBLEM struktural yang lebih mendasar.”

Pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang berada pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Contohnya, di sektor angkutan, adalah para mitra ojol itu. Mereka mitra jadi tak ada perjanjian kerja bersama (PKB), standar upah, dan mayoritas tanpa perlindungan jaminan nasional. Dalam Prospektus GOTO disebutkan, jika kebijakan pemerintah mewajibkan mitra berubah status menjadi karyawan maka akan sangat mempengaruhi bisnis GOTO. Kondisi ini masuk poin risiko.

Saya tak persoalkan teknologi dipakai untuk beli bensin, minyak goreng, dsb. Tapi masyarakat perlu tahu bagaimana cara main bisnis fintech, apa yang disasar oleh pemainnya, investor dapat untung darimana, sesuai tidak dengan karakteristik masyarakat yang berbeda-beda di berbagai daerah, membebani keuangan masyarakat atau tidak, ada duit negara yang diputar di situ atau tidak, belum lagi ada suap/korupsinya tidak…. Kita perlu waspada, apalagi bila sudah ada yang namanya Biaya Aplikasi, Biaya Top Up dan sejenisnya. Ada bau-bau duit di situ yang bisa memperkaya orang atau korporasi.

Prinsip kali banyak, kali sering adalah jantung bisnis mereka. Wujudnya adalah yang sering dipublikasikan oleh mereka, yakni Gross Merchandise Value/GMV atau Gross Transaction Value (GTV) yang nilainya ratusan triliun (GOTO, misalnya, Rp300-an triliun). GMW/GTV adalah total transaksi barang/jasa dikalikan total harga pada periode tertentu. Ini tidak menunjukkan pendapatan yang sebenarnya diterima aplikasi, sebab yang dia terima hanya bagian dari komisi/biaya aplikasi. Dalam kasus GOTO, proyeksi penerimaan dari komisi aplikasi sebesar US$50 juta dijaminkan untuk pinjaman di Bank Permata. 

Jadi, biaya aplikasi Rp1.000/transaksi di MyPertamina larinya buat siapa? Siapa pemegang saham yang akan diuntungkan? Bagi saya, cara mainnya tak akan jauh berbeda dari model fintech dan marketplace. Apalagi saya lihat bekas CEO Bukalapak yang kini menjadi Plt Deputi di Kemenko Marives adalah yang sering muncul di media menjelaskan soal ini. Keponakan menterinya juga pernah menjadi pemegang saham Bukalapak (LK BUKA 2021). 

BUKA dan GOTO, bagi saya, adalah contoh mereka yang diistimewakan selama Jokowi berkuasa—-selain Ruangguru yang mendapat bagian terbesar dari Rp5,6 triliun biaya pelatihan Kartu Prakerja. Pendiri BUKA didapuk jadi salah satu direktur Telkom sampai sekarang, bahkan komisaris utama Telkom dan BUKA adalah orang yang sama, bekas Menristek era Jokowi. GOTO jelas mendapat suntikan Rp6,4 triliun dari Telkom via Telkomsel.

Koneksi politik memungkinkan semua itu terjadi. GMV/GTV yang besar, reputasi, sokongan negara, dan kesempatan melakukan berbagai aksi korporasi yang membuat valuasi mereka makin besar. Ingat, start up seperti mereka itu bisa melakukan valuasi dan revaluasi akibat adanya aksi korporasi (merger dsb). Metodenya beragam, dengan pihak penilai yang bisa mereka pilih sendiri, yang pada akhirnya memunculkan aset seperti Goodwill yang nilainya selangit (contoh Goodwill GOTO nilainya Rp98 triliun akibat merger dengan Tokopedia). Di dalam Laporan Ekuitas, barang itu masuk sebagai Tambahan Modal Disetor. Per 31 Maret 2022, Tambahan Modal Disetor GOTO Rp225,8 triliun padahal Modal Disetor (tunai) cuma Rp1,14 triliun.

Seorang asisten profesor di School of Business and Management (SBM) ITB bicara sebagai narasumber di rapat terbuka Panja Komisi VI DPR dan berkoar lantang: arus kas GOTO sangat kuat. Tanpa ada duit Rp6,4 triliun Telkomsel pun, GOTO bisa buyback saham pemilik lama. Cara buktikannya gampang, lihat saja Prospektur dan Laporan Keuangan GOTO.

Saya heran. Asisten Profesor kok bisa bicara yang bertentangan dengan fakta. Apa ITB tidak malu akademisinya seperti ini?

Anak saya yang baru mau naik Kelas IV SD pun bisa membaca apa yang tertera dalam Prospektus GOTO: “PERUSAHAAN TELAH MENCATATKAN RUGI BERSIH SEJAK DIDIRIKAN, DAN PERUSAHAAN MUNGKIN TIDAK DAPAT MENCAPAI PROFITABILITAS.” 

“PERUSAHAAN TIDAK MENJAMIN BAHWA PERUSAHAAN AKAN SEPENUHNYA MENDAPATKAN KEMBALI BIAYA INVESTASI DAN INVESTASI YANG TELAH DILAKUKAN AKAN MENGHASILKAN PENINGKATAN PENDAPATAN ATAU PERTUMBUHAN BISNIS DAN PROFITABILITAS DI MASA MENDATANG.”

Arus kas GOTO yang sangat kuat itu dari mana, Bu Asisten Profesor? Per 31 Maret 2022, arus kas operasi GOTO negatif Rp14,636 triliun, mana ada duit (likuid) kalau kas operasinya negatif. Yang positif hanya arus kas pendanaan Rp121,53 triliun. Tapi ingat itu bukan duit tunai, tapi berasal dari penerbitan saham baru yang berkonsekuensi revaluasi (selisih nilai wajar dengan nominal lama) yang dihitung oleh penilai yang mereka pilih sendiri.

Keputusan investasi yang tepat dari mananya? Telkom setor tunai Rp6,4 triliun untuk dapat saham GOTO dengan komposisi tidak sampai 3% di perusahaan rugi (artinya berat untuk dapat dividen). Sementara raksasa seperti Google pakai model ‘barter’. Google Maps dipakai GOTO, dibayar pakai saham yang dinilai Rp3 triliun. 

Satu-satunya cara profit adalah capital gain. Teknisnya berkoar-koar soal proyeksi masa depan, GTV dsb, supaya nanti ada investor lain yang mau beli di harga yang lebih tinggi dari nilai saat ini. Siapa yang mau? Ya, ndak tahu. Bisa jadi nanti konsorsium BUMN lagi….

GOTO menciptakan lapangan kerja buat rakyat juga tak sepenuhnya benar. Lapangan kerja macam apa kalau statusnya mitra (kerah biru bin pekerja sektor informal yang tak mendapat perlindungan negara sesuai UU). Yang benar adalah per 2021, beban gaji dan imbalan karyawan GOTO totalnya Rp8,73 triliun. Jumlah karyawannya 9.044 orang termasuk yang asing dan domisili luar negeri. Hitung saja sendiri rata-rata pendapatan jumbo para karyawan itu—-bukan mitra ojol satu aspal!

Jadi problem struktural yang mendasar itu ada. Kesuksesan GOTO yang terlihat mentereng adalah kesuksesan semu. Sokongan tunai negara/BUMN pada perusahaan semacam itu berpotensi penyimpangan yang membuka celah KKN. Sementara masyarakat ojol tetap banting tulang yang bahkan lebih miris lagi untuk menutupi beban cicilan kendaraan yang mereka pakai untuk bekerja, yang mereka beli di dealer dan leasing milik pemegang saham GOTO juga!

Ini tidak sejalan dengan amanat Konstitusi bahwa Negara menjamin pekerjaan dan penghidupan layak bagi warga negaranya. 

Yang untung besar adalah investor asing yang saat ini menguasai 81% saham GOTO secara modal disetor. Yang bakal rugi adalah negara/BUMN yang akan terus dipaksa top up (di harga lebih tinggi lagi) di perusahaan itu agar nilai sahamya terjaga, dengan bungkus atas nama kedaulatan digital dan karya anak bangsa.

Salam.


Catatan: judul dari Redaksi

Tags